Ranu meninggal.
—————————
"Astaghfirullah." Gue terbangun dengan nafas tersengal-sengal."Ranu?. Kok lo disini?, Mimpi apa gue tadi. Gue mimpi lo meninggal gila!. Lo relain badan lo buat kena tembakan yang seharusnya ke gue, Ran. Ran, gue takut Ran." Gue bangun dengan keadaan panik dan keringat bercucuran di wajah gue.
"Rin, lo tenang. Itu cuma bunga tidur. Nggak ada yang perlu lo takutin. Udah ya. Minum dulu."
"Kalo lo gini mending nggak jadi pergi"
"Nggak. Gue nggak mau merusak rencana lo, Kuylah" gue langsung turun dari ranjang dan segera bersiap. Sementara Ranu menunggu di sofa.
-
Ranu mengajak gue ke danau tapi bukan danau yang biasa masuk ke foto yang ada di internet. Berhentilah kami disebuah jalan pembatas antara danau dan pemukiman.
"Eh, btw selain lo baca jurnal gue yang isinya gua mau ke Hallstatt. Apalagi yang lo baca??" Tanya gua skeptis. "Hayo ngaku lo".
"Gue nggak baca apa-apa selain halaman dimana lo nulis lo mau ke Hallstatt. Suer deh."
"Percaya deh gue". Suara lalu lalang kapal penumpang seketika menyeruak ketika kami berdua sama-sama diam menikmati pemandangan yang di ciptakan tuhan ini.
"Kalo gue udah mulai tugas dari dosen kupret itu, gua gaakan bisa liat pemandabgan begini dalam beberapa waktu." Protes gue karena di Indonesia tidak ada pemandangan semenakjubkan ini.
"Lo itu harus inget disini nggak se- Wonderful Indonesia sebenarnya. Ya, walaupun Wonderful-nya tiap negara berbeda. Lo aja yang sibuk di kota tersayang lo, Jakarta. Hiruk pikuk kendaraan, Polusi, kriminalitas disana ngebikin Indonesia nggak kelihatan Wonderful lagi."
"Kalo gitu, kenapa lo disini. Kenapa lo nggak mencoba membantu memulihkan keadaan?."
"Itu karena prodi yang gue mau dan gue pengin, belum ada di Indonesia. Kalo masalah memulihkan itu diluar kuasa gue kali, Rin."
"Oke oke. Mau kemana lagi kita hari ini, Kapten?"
Ranu mengacungkan jari telunjuknya dan di letakannya jari itu ke batang hidungnya ke arah jam 3. "Kesana.". Gue menyipitkan mata sambil mengira-ngira apa yang ditunjuk oleh Ranu. Setelah gue telaah ternyata itu bukit.
Selama perjalan tidak ada pembicaraan sama sekali antara gue dan Ranu. Gue asik dengan tengak tengok kanan kiri buat ngelihat pemandangan yang nggak pernah bosen untuk dilihat. Dan Ranu tetap fokus menyusuri jalan setapak menuju puncak bukit tersebut.
'Ah, bukit lagi'
Ketika kami sampai di bukit ini matahari mulai sembunyi, perlahan digantikan oleh bulan. Angin di bukit ini enak sekali. Dingin tapi tidak menyakitkan. Ranu langsung mengeluarkan kain sebagai alas untuk tidur.
"Mau ngapain sih kita kesini?" Ucap gue sambil menyedapkan tangan.
Ranu hanya menepuk-nepuk bagian kanan tempatnya tiduran. "Sini."
"Udah sini sih,Rin!" Ranu menarik tangan gue untuk segera duduk di tempat yang ia tunjukkan tadi. "Nanti juga lo tau. Tunggu aja dulu. Sabarin."
"Iya iya, Sok misterius lo". Dengan legowo gua menuruti perintah si Kutu ini alias Ranu.
Tak selang lama ketika pangit sudah gelap gulita, satu cahaya dari langit jatuh menukik cepat. Semakin lama semakin banyak. Ternyata hari ini hujan Meteor disini. Gue melongo sambil mengerjapkan mata karena sudah lama nggak melihat hujan meteor. Terakhir kali gua ngelihat hujan meteor geminid di Bogor.
"Masa ya, Ran". Ranu menoleh sambil mengedikan kepala.
"Apa?"
"Masa gue seneng banget. Thanks ya Ran" Dengan cengar-cengir gue ngomong ke Ranu.
"Anytime"
–––—————————————
Hari terakhir di Hallstatt. Gue dan Ranu segera berangkat menuju pelabuhan untuk menaiki kapal paling pagi hari itu. Kenapa paling pagi, karena malamnya gue akan terbang ke Indonesia. Hari hari setelah perjalanan di Bukit cuma kami habiskan di sekitaran pusat kota Hallstatt. Sumpah makanan disana ternyata enak-enak. Thanks a lot Ranu!.
Tak lama kapal kami pun tiba dan Ranu segera mengambil mobil di parkiran inap.
"Ran, terima kasih banget buat tiga harinya di Hallstatt. You make make dream come true. Makin sayang sama lo deh kalo kayak gini. Dan yang penting gratis hahaha..." Ucap gue memecahkan suasana yang lumayan canggung barusan.
"Dasar mental gratisan. Sayang?, Kenapa ditolak waktu itu?." Balas Ranu sambil melirik ke arah gue.
"Alasan waktu itu nggak cukup buat lo,Ran?". Raut wajah gue berubah datar.
"Et et, bercanda kali, Rin"
"Sial lo"
Sekitar 1 jam perjalanan dari Hallstatt ke Salzburg. Tak memakan waktu untuk orang berisik seperti kami berdua. Setelah sampai rumah, gue segera ke kamar dan temu kangen sama kasur gue, eh kasur rumah Ranu maksud gue. Oh, iya Kak Lia lagi keluar ke bridal shower temannya.
Flight gue jam 21:00 waktu Salzburg. Sekarang jam menunjukkan pukul 18:47 waktu Salzburg. Gue bakal di antar Ranu sesuai janjinya waktu itu. Dengan membawa Brick Kanken kesayangan dan koper gue yang udah banyak tempelan segala macem biar ga ketuker ,gue keluar dari kamar.
"Im ready. Lets go!" Ucap gue ke Ranu yang sebenarnya sudah siap sejak 30 menit yang lalu. Ranu menganggukan kepalanya dan gue segera berpamitan dengan Kak Lia yang ternyata sudah pulang.
"Kak, aku pulang ya!. Assalamualaikum"
"Iya, Waalaikumsalam. Dek, kamu jangan ngebut ya ingat yang kamu bawa itu nyawa bukan barang." Balas Kak Lia.
"Pasti kak, yuk Rin."
Tiba lah kami di Bandara Internasional Salzburg.
"Pulang dulu gue, demi tugas dosen tercinta. Love yourself first. Balik lagi kok gue kesini, ketemu tahun depan kita,OK. assalamualaikum" pamit gue menjauh menuju gate.
"Waalaikumsalam, BAWAAIN GUE OLEH OLEH YA RIN!". Gue cuma menjawab dengan tangan kanan dan jari membentuk huruf O. Gue harap tahun depan Ranu sudah menemukan tambatan hatinya yang baru. Sesaat sebelum Handphone gue jadikan mode pesawat, ada pesan masuk.
+628129028xxxx
Apa kabar?
'deg'
KAMU SEDANG MEMBACA
rendezvouz [SELESAI]
General FictionHarus berhati-hati dengan pikiran logis dan perasaan hati. Itu yang harus dijalani Rinjani Satyarana Kinnas dalam proses melupakan seorang laki-laki, Aksara L. Agara Putra yang merupakan cinta lama dan pertama Rinjani. Di sisi lain ada seorang laki...