#19

61 9 23
                                    

"Danke für alles"
-
Sunday, May 6 2018
-
Masih Bogor,
4.30 WIB

Status :(still) broke & trauma

Adzan subuh telah berkumandang. Aku bersiap untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Shalat. Semoga dengan aku menghadap-Mu perasaan ini lebih bisa terkontrol.

Teman sekamarku masih terlelap, segera aku mengambil air wudhu di kamar mandi. Entah mengapa durasi wudhu ku berubah, seperti lebih menghayati air yang menyentuh setiap kulitku. Selesai berwudhu aku menggelar sajadah dan memakai mukena. Aku memulai komunikasiku dengan-Mu.

Ya Allah, Jangan buat perasaan patahku ini semakin larut, aku takut perasaanku ini akan menjauhkanku dari-Mu. Jika memang benar bukan dia yang Engkau tulis di Lauh Mahfuz, tolong buat aku bisa mengikhlaskannya untuk yang lain. Aku yakin ini adalah takdir terbaikmu untukku.

Semoga kau menemukan bahagiamu di dalam dirinya.

Bismillahirrahmanirrahim. aku mengikhlaskanmu,
Aksara Labrisam Agara Putra

Doa dan harapan itu yang aku panjatkan kepada Tuhanku setelah kejadian semalam. Aku harap tangisanku ini dapat berubah menjadi tangis bahagia. Bahagia melihatmu bersamanya.

Kalau ditanya keadaanku semalam bagaimana. Buruk.

[Semalam]

Setelah meninggalkan taman itu aku pergi entah kemana dan ternyata sampailah aku di lapangan tennis yang ada di hotel itu. Aku duduk di bangku penonton dan menelungkupkan tanganku di depan wajahku. Aku tidak ingin air mata ini jatuh lebih banyak lagi. Setelah itu aku berteriak sekencang-kencangnya. Lalu tiba-tiba ada yang menginterupsi teriakanku.

"Kalo cara lo ngelepas semua rasa sakit hati dengan kayak gini, lo pengecut!"

Aku menoleh ke sumber suara. Terkejut. Aku sudah tidak melihatnya lagi semenjak kejadian itu. Si 182. Dia berada di sebelahku sekarang. Kejadian itu. Gaya bicaranya padaku telah berubah. Dari Saya-Kamu kini menjadi Lo-Gue. Tak masalah.

"Gak usah tersinggung sama kata-kata gue tadi. Inget satu hal, lo gak sendiri disini. Ada Allah."

"Lo nggak cukup paham sama masalah gue... lo tahu, Siklus itu terulang"

"Masalah apa?. Sakit hati?. Cinta yang nggak terbalas?. Untuk ukuran gue semua itu udah terlalu sering dan soal siklus, gue udah pasrah sama Allah untuk gimana akhir dari siklus itu. Jangan gara-gara masalah ini lo jadi  desperate"

"Sebegitu menyerahkah lo dengan siklus itu? Sampai sampai menyerahkan semua ke Allah. "

"Bisa dibilang iya, gue udah muak sama siklus itu sebenernya. Kita suka orang itu, orang itu suka sama orang lain, kita jadi patah hati, terus kita bikin trauma healing sendiri buat bikin rasa patah hati itu pergi, dan balik lagi ke awal. Gitu aja terus."

"Menurut lo, apakah ada akhir dari siklus itu?"

"Gue juga gatau, menurut gue balik ke diri kita masing masing aja. Mungkin ada, tapi dengan cara yang berbeda."

"Kayak menikah misalnya?"

"Iya, tapi nggak seratus persen siklus itu akan berakhir kalo kita menikah. Pas menikah kita masih bisa suka sama orang lain selain pasangan kita. Entah itu karena bosan atau alasan lain. Tapi kalo kita menikah masalahnya bakal lebih rumit."

"Hmm, gitu ya. By the way, Siklus itu pasti kejadian, pas lo bilang lo jatuh sama gue dan secara langsung gue nolak lo kan? Terus trauma healing lo apa?, butuh berapa lama untuk ngilangin patah hati lo itu?, Apa lo sampe desperate kayak gue?. Dan gue masih nggak ngerti kenapa tiba-tiba lo bilang itu ke gue terus lo ngerasa ke siksa ngeliat gue 'sakit' terus dan darimana lo tahu kalo gue suka sama Aksara. Gue butuh penjelasan, tolong."

182 menarik nafas panjang sebelum mejawab rentetan pertanyaanku.

"Iya, trauma healing gue cuma cukup menjaga lo dalam diam gue dan mengesampingkan perasaan dan harapan gue untuk bisa dapetin lo. Kalo untuk waktu gue masih gak tau, sampai sekarang pun gue masih berusaha. Tapi dengan gue ngobrol sama lo kayak gini gue jadi lebih lega dan mungkin secepatnya patah hati ini bakal hilang. Gue lebih desperate daripada lo. Setelah kejadian itu gue jadi manusia nggak bertuhan. Gue melampiaskan semua itu ke hal negatif. kayak rokok, taruhan yg sampe harus setor nyawa dan hal semacemnya. Itu sebelum gue ketemu sama seseorang yang nyadarin gue dari ke-desperate-an gue, dan saat denger nasihat dia gue ngilang dari keramaian untuk sementara. Waktu itu gue mutusin untuk ngasingin diri ke Sukabumi. Ke rumah tante gue. Ya selama itu gue bisa lebih deket sama Tuhan gue dan disana gue banyak dapet positive vibe. Kayak hiking terus ngeliat sunrise, ke sungai mancing ikan, terus gue puas-puasin teriak di tebing deket sungai yg buat mancing tadi. Rasanya itu. Mantep jiwa."

Aku sama sekali tak menduga akan kejadian seperti ini karena kata- kataku. Membuat orang putus asa sampai sebegitunya.

"Kalo ditanya kenapa tiba-tiba gue bilang itu, ya karena gue udah suka lo semenjak dari Workshop pendidikan itu. Pas itu lo nanya gimana pemerintah menangani masalah pemerataan pembangunan kembali sekolah sekolah yang nggak layak pakai. Disitu gue langsung percaya kalo lo ini​ beda dari yang lain dan gue suka sama lo saat itu juga."

"Tunggu dulu, lo ikut Workshop pendidikan itu juga?"

"Iya, masih mau dilanjut nggak?"

"Maulah, lanjutin"

"Gue tahu darimana itu sebenernya gak penting penting amat. Gerak gerik lo terlalu keliatan buat gue."

"Keren juga lo, padahal ya kamuflase gue udah berhasil"

"Lo jangan kayak gini lagi ya"

"Iya Insya Allah dan... Uhmm, maaf udah ngebuat lo se-desperate itu."

"Bukan maaf yang dibutuhin sekarang. Ini, temen lo yang nyuruh gue nyari lo. Katanya buat jaga-jaga kalo mereka udah tidur " 182 mengulurkan sebuah kunci bernomor. 2210. Kamarku. Temanku pasti cemas.

"terima kasih". Aku menerima kunci itu

182 bangkit dari duduknya. Dan berkata.

"Mushola ada disana". 182 menepuk pundakku dan jari telujuknya megarah ke sebuah bangunan yang ada di kanan lapangan ini.

Itu kalimat terakhir 182 sebelum pergi meninggalkanku sendirian di lapangan ini. Aku terdiam sesaat memikirkan kata-kata 182 tadi.

Benar juga apa yang dikatakan 182 tadi. Batinku

Segera aku pergi menuju mushola yang di beri tahu 182. Mungkin dengan Tahajjud aku bisa menjadi lebih tenang.

Benar. Saat ini aku merasa lebih tenang. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Mungkin temanku sedikit cemas karena aku belum kembali. Sekarang jam menujukkan pukul 02.00 dini hari.

2210. Ceklek.

Aku membuka pintu bernomor 2210 dengan perlahan, takut temanku terbangun. Ya, kamarku.

"Lo darimana aja?". Tanya 12. Oh ternyata 12 masih terjaga. Mungkin menungguku.

"Uhmm, dari bawah"

"Jujur, lo darimana?" 

"Ada hal yang nggak perlu lo tahu untuk saat ini."

Aku berlalu meninggalkan 12 yang mematung di depan pintu. Aku berniat untuk menyegarkan diri dengan mandi air hangat, karena aku sudah terlalu lelah. Setelah selesai mandi aku segera tidur untuk menghindari pertanyaan dari 12.

Jika mengikhlaskan semudah membalikkan telapak tangan. Menyukaimu bukanlah sebuah penyesalan.

rendezvouz [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang