LS.3

20.7K 1K 22
                                    

Aurora duduk di pinggiran rooftop. Sambil menjuntaikan kakinya ke bawah, menatap lapangan sekolah.

Dia sungguh kesal tadi. Jika saja Ayahnya tidak berpesan, dia pasti sudah menghajar Joya habis-habisan.

Dania duduk di sebelahnya. "Lo seharusnya jangan lakuin itu, tadi. Kasian kan kak Joya. Pasti sakit, nyungsep di lantai." Kata dia tidak tega.

"Gak papa kali. Sesekali biar tau rasa. Jadi gak semena-mena." Balas Aurora santai.

"Kan, gue yang salah. Wajar dong kalo dia marah." Kata Dania mengaku. "Dan juga, Kak Joya pasti gak akan tinggal diam di gituin. Dia pasti bakal bales lo dan gue. Gak akan ada ujungnya." Ujarnya.

"Ya, lawan lah. Gitu aja ribet." Sahut Aurora santai. Bahkan terlalu santai.

Dania mengerucutkan bibirnya kesal. "Lo sih iya, tinggal lawan. Nah gue. Gue kan gak berani. Mereka pasti bakal bully gue nanti deh. Lo kan gak sekelas sama gue. Aaaa!! Gue takut ra!!"

Untung saja di rooftop sunyi. Jadi tidak akan ada masalah jika Dania berteriak seperti di hutan.

"Untung aja, temen gue yang kayak lo, cuma satu. Kalo sampek banyak, mati berdiri gue ngadepinnya." Celetuk Aurora.

Dania kembali mengerucutkan bibirnya kesal. "Emang lo punya temen selain gue?" Tanya dia.

"Punya dong. Kucing gue banyak di rumah." Ujar Aurora membuat Dania semakin kesal.

"Boleh gabung gak?" Tanya seseorang.

Aurora dan Dania menoleh ke belakang. Terlihat Dylan sedang membawa nampan yang berisi dua mangkuk bakso, dan juga es jeruk.

"Nih, buat kalian. Tadi kalian kan gak jadi makan karena cewek tadi. Jadi, gue bawain aja." Jelasnya.

Aurora menatap Dylan menyelidik. Apa ada maksud tertentu dari cowok itu. Tapi dia tidak menangkap maksud apa-apa.

Sedangkan Dania sudah makan baksonya dengan lahap.

Dasar rakus!! Batinnya menggerutu.

Melihat itu dia juga ikut makan. Toh, dia juga lapar.

Setelah selesai makan, mereka minum jus jeruk yang di belikan Dylan tadi.

"Thanks ya. Btw, nama lo siapa?" Tanya Dania pada Dylan.

"Nama gue Dylan." Sahut Dylan sambil menyambut tangan cewek itu yang terulur.

"Dania. Dan lo udah tau kan dia siapa. Aurora Alexander S." Kata Dania memperkenalkan nama Aurora.

"Iya."

"Mau modusin temen gue lo?" Tanya Aurora ketus.

"Ketus amat lo. Amat aja kagak ketus kayak lo." Kata Dylan.

"Bodo amat." Balas Aurora.

Dania tersenyum melihat pertengkaran kecil mereka berdua. Dia jadi punya ide untuk menjodohkan Aurora dan Dylan.

"Masuk yuk. Udah bel ni." Ajaknya sambil menggandeng tangan dua sejoli itu.

Mereka yang di tarik hanya pasrah.

☆★☆

Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua berlarian keluar. Tak terkecuali Aurora dan Dania.

"Ra, anterin gue ya. Gue lagi males naik angkot. Soalnya lama. Gue lagi buru-buru ni." Kata Dania.

"Yaudah. Ni, helm, pake." Aurora menyerahkan helm pada cewek itu. "Pegangan ya." Katanya setelah Dania naik.

"Lo jangan ngebut-ngebut ya. Rumah gue gak akan lari kok." Jelas Dania sebelum berangkat.

Aurora hanya mengangguk. Lalu mulai melajukan motornya meninggalkan halaman sekolah.

Setelah mengantar Dania pulang, dia mampir ke kafe untuk minum. Tapi dia merasa ada yang memperhatikannya.

Dia hendak menoleh kebelakang. Tapi pelayan tiba-tiba datang membawa pesanannya.

Pelayan itu meletakkan kopi yang ia pesan di atas meja.

Aurora melihat kiri-kanan. Tidak ada yang memperhatikannya. Lalu sebuah pil kecil ia masukkan ke dalam kopi itu.

30 detik berikutnya dia baru meminum kopi pesanannya.

"Dasar Papa. Kalo aja bukan karena dia. Gak mungkin gue masukin obat di dalam minuman gue. Emang siapa juga yang mau racunin anaknya ini. Ada-ada aja." Gerutunya.

Diam-diam, seorang wanita tersenyum melihatnya. Senyum tulus yang ia berikan hanya kepada orang yang ia sayang saja.

☆★☆

"Hufh!! Capeknya. Padahal gak ngapa-ngapain." Keluh Aurora sambil berbaring. "Mandi ah. Gerah."

Dia bangun dan berjalan menuju kamar mandi.

20 menit ia berendam. Ia rasa itu sudah cukup.

Setelah berpakaian, ia turun dari kamar menuju dapur. Dia membuka kulkas dan mengambil beberapa buah dan minuman soda. Lalu membawa semua itu ke depan tv.

Dia makan sambil menonton tv. Sampai sampahnya berserakan di lantai.

"Papa lama banget pulangnya. Bosen gue sendiri di rumah. Coba ada Mama. Pasti gue ada temennya." Kata dia berharap.

"Udah ah. Dari pada gue sedih, mending gue tidur aja." Ucapnya bersemangat.

Dia mematikan tv lalu pergi ke kamarnya. Tubuhnya, ia hempaskan ke ranjang king size nya itu.

"Gue pengen ketemu Mama suatu hari nanti. Andai itu bisa terwujud, gue gak akan nakal lagi di sekolah. Gue akan jadi anak yang baik dan gak ngelawan guru lagi. Tapi itu semua gak mungkin terjadi. Mama udah pergi ninggalin gue dan Papa untuk selamanya.

Gue selalu iri sama temen gue yang lain. Mereka punya Ibu. Sedangkan gue, gak. Hal yang gue tau tentang Mama pun cuma dikit. Papa gak mau cerita. Yang pasti, wajahnya mirip gue. Mirip, seperti berdiri di depan cermin." Ucapnya sedih. Dia benar - benar berharap Ibunya akan kembali suatu hari nanti.

"Aku juga merindukanmu sayang." Lirih seorang wanita di balik pohon. Tak terasa air matanya jatuh.

"Kita pasti akan bertemu. Tapi dengan tampilan yang berbeda. Aku harap, kau bisa merasakan aku ada." Kata dia penuh harap.

Lalu dia pergi saat suara mobil memasuki halaman.

☆★☆

#Liza

Lussy Smith [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang