LS.19

13.7K 741 38
                                    

Pagi ini, Aurora bangun sendiri. Tidak seperti biasanya yang harus di gedor dulu oleh Nathan. Selesai berpakaian, dia turun ke meja makan.

Nathan yang melihat Aurora sudah bangun, tampak kaget. Mimpi apa dia hingga bisa bangun sendiri!

"Pagi, Pa." Sapa gadis itu. Dia duduk di kursi yang biasa dia duduki.

Nathan memberikan sepiring nasi goreng pada Aurora. "Pagi juga. Tumben kamu bangun sendiri? Biasanya tunggu Papa gedor dulu baru bangun." Kata dia heran.

Aurora nyengir. "Bagus dong, Pa. Berarti, Aurora ada kemajuan." Ujarnya. Dia memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Dalam rangka apa nih?" tanya Nathan menyelidik. "Kalo Papa dulu, datang cepet karena mau ketemu doi. Jangan bilang kamu juga sama?" katanya.

Pipi Aurora sudah merah sekarang. Papanya ini pandai sekali merayunya! "Bisa aja, Papa. Ya, enggak, lah. Aku cuma pengen datang cepet aja, Pa." Kilahnya.

Nathan tertawa. Putrinya ini begitu malu-malu. Tidak sepertinya dulu.

"Oh, iya. Kata guru kamu, kamu sudah tidak mencari masalah lagi belakangan ini? Papa sih suka. Tapi-" Nathan memperhatikan wajah Putrinya itu. "Apa ada alasan khusus?"

Aurora meminum susu yang ada di sebelah kirinya. Lalu menatap Nathan lekat. "Papa kepo." Katanya.

Nathan tertawa. "Emang iya. Papa kepo banget nih. Ayo buruan!" desaknya.

"Ish! Papa kayak anak muda aja deh, pake kepo segala!" Aurora menyilangkan tangannya di depan dada lalu menoleh ke arah lain.

"Oh. Jadi, menurut kamu Papa ini udah tua?" kata Nathan.

"Ya, enggak. Papa aku, kan, masih muda. Masih ganteng." Puji Aurora semangat. Nathan jadi curiga. "Ngapain muji-muji? Pasti ada maunya. Iya kan?" tuduhnya.

"Curigaan amat, Pa. Gak baik loh." Kata Aurora. "Yaudah deh, aku kasih tau. Tapi Papa jangan ketawain ya," Nathan mengangguk. "Ada dua sih, Pa. Pertama, karena ada guru yang jadi favorit aku. Dia gak suka kalo aku buat salah. Trus,"

Aurora melirik Nathan sekilas. Pipinya memanas. "Aku gak mau terlihat buruk di depan dia." Ucapnya pelan.

Nathan bertopang dagu. Ada kegelian di matanya. "Namanya dong?"

"Dylan Davis."

Detik itu juga Nathan terbahak! Ujung matanya berair saking hebatnya tertawa. Aurora mencebik kesal. "Papa!" tegurnya.

Tawa Nathan mereda. Dia mengusap ujung matanya yang berair. "Kamu dan Mama-mu sepertinya tidak bisa lepas dari Davis. Kalian seperti punya ikatan dengan keluarga itu. Papa jadi heran. Seperti apa Dylan itu? Apa Papa boleh mengujinya?" Dia menarik turunkan alisnya. Berniat menggoda.

"Papa mah, jahat! Lagian, dia itu anak polisi, loh. Emang Papa berani ngapa-ngapain dia?" tantang Aurora.

Nathan tertawa geli. "Sekalian Ethan juga boleh." Katanya santai.

"Iiih!! Papa nyebelin!!!" rengek Aurora.

"Kalo Papa ngapa-ngapain dia, kamu mau apa?" tantang Nathan. Bibirnya bergetar karena menahan tawa.

"Kalo yang lakuin Papa sih, aku diem aja. Soalnya aku gak bisa marah sama Papa. Tapi kalo orang lain, baru aku bunuh orang itu." Ujar gadis itu santai.

"Emang, kamu gak takut bunuh orang? Biasanya orang yang melakukan pembunuhan itu keringat dingin loh."

Aurora menggeleng. "Biasa aja. Yang mulai kan dia. Berani ganggu milik aku! Tanggung sendiri lah akibatnya!" balasnya enteng.

Lussy Smith [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang