×7°

3.3K 526 41
                                    

Hari ini seusai jam pelajaran habis, Jeongin langsung diseret oleh Jisung menuju ke ruang khusus tim proyek game. Changbin dan Felix pasti sudah menunggu mereka di sana. Jisung tampak bersemangat dengan bergabungnya Jeongin di timnya.

"Ayo, cepetan, Jeong!" Jisung menarik lengan Jeongin.

"I-iya, Kak Jisung. Aduh! Pelan-pelan!" Jeongin sedikit kewalahan diseret paksa oleh Jisung.

Jeongin bisa pasrah diseret oleh Jisung. Tetapi belum sampai mereka tiba di ruang tim proyek game, ada seseorang yang menginterupsi.

"Wah, wah, tidak aku sangka kalian memaksa si anak pertukaran pelajar untuk bergabung dengan tim proyek sampah kalian," sindir seseorang yang tidak lain adalah Hwang Hyunjin. Dia baru saja dari perpustakaan yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang tim proyek game.

Jisung menghentikan langkahnya. Menatap tajam ke arah Hyunjin. Sepertinya dia punya dendam kesumat pada pemuda kelebihan volume bibir tersebut. Hyunjin selalu mempersulit tim proyek game Jisung.

"Apa urusanmu?!" Tanya Jisung sengit.

Hyunjin malah terkekeh, "Bukan apa-apa, sih. Hanya saja, apa kalian sebegitu kurangnya personil hingga memaksa si anak pertukaran pelajar itu? Kasihan sekali dirimu, Lee Felix, dan pimpinan kalian yang pendek itu, siapa namanya? Seo... Seo... Seo Changbin sunbaenim."

"Heh! Jaga bicaramu! Kulaporkan kau pada Kak Changbin!" Hardik Jisung terbakar emosi. Dia muak pada Hyunjin yang seenak jidatnya mengatai seniornya.

Jeongin kebingungan. Tapi dia ingat, itu adalah siswa yang menabraknya kemarin saat pulang sekolah. Seperti yang diceritakan Felix, Hyunjin sangat menyebalkan. Jeongin tidak suka.

"Kalau Kakak tidak suka, tidak usah banyak komentar," ujar Jeongin menengahi, "Kakak tidak tahu usaha yang dilakukan Kak Changbin, Kak Jisung, dan Kak Felix. Jadi sebaiknya Kakak diam saja, tidak usah banyak berkomentar, komentar Kakak tidak ada gunanya."

Hyunjin tersentak mendengar balasan pedas dari Jeongin. Dia tidak terima dilawan oleh si anak pertukaran pelajar dari Busan itu.

"Apa katamu tadi? Kau bisa ulangi?" Hyunjin mendekati Jeongin, mencengkeram dasi seragam Jeongin. "Beraninya kau berkata begitu padaku, dasar anak baru!"

Jisung panik luar biasa, tapi dia tidak mampu berbuat banyak. Bagaimanapun, dirinya masih kalah jika disuruh adu fisik melawan Hyunjin. Bisa-bisa Jisung dikeroyok gengnya Hyunjin sepulang sekolah nanti.

"Aku hanya menegakkan keadilan, Kakak masih tidak paham?" Jeongin masih berusaha melawan, mencengkeram tangan Hyunjin yang masih mencengkeram erat dasi Jeongin, mencekik Jeongin.

"Hah! Omong kosong!" Hyunjin tertawa renyah. Apa yang Jeongin katakan terdengar seperti lelucon di telinganya. Aish, pemuda manis itu membuat humor Hyunjin bermasalah. "Kau tahu? Aku--"

Hyunjin berhenti berucap ketika melihat mata Jeongin. Mata itu, penuh akan binar kesungguhan dan keberanian. Hyunjin melepaskan cengkeramannya, namun matanya tak mampu berpaling dari mata indah Jeongin. Seolah mata itu menarik seluruh atensinya untuk fokus kepada sepasang netra indah tersebut.

Waktu terasa berhenti.

"Sekarang Kakak mau bicara apa lagi?" Tanya Jeongin menatap serius Hyunjin. Dia heran, kenapa Hyunjin sebegitu bencinya hingga mencela Jisung dan teman-temannya.

Hyunjin mendengus, "Lupakan!" Dan berlalu begitu saja.

Jeongin dan Jisung saling berpandangan, selanjutnya menghela napas bersamaan.

"Kamu sebenarnya enggak perlu mengurusi dia, Jeong," ucap Jisung akhirnya setelah diam beberapa detik.

Jeongin tersenyum, menepuk pelan bahu Jisung, "Tidak apa-apa kok, Kak. Mungkin itu bisa jadi pelajaran untuk Kak Hyunjin, agar dia bisa berubah."

"Begitu, ya? Ya sudah, kita cepetan ke sana. Kak Changbin dan Felix sudah menunggu."

"Iya, Kak."

***

"Kenapa wajahmu kusut sekali seperti itu, kawan?" Tanya Jeno pada Hyunjin ketika Hyunjin tiba di tempat biasa geng mereka berkumpul bersama.

"Seharusnya kau tak perlu pikirkan soal tim basket, kita bisa urus Guanlin dan Seonho untuk itu," sahut Jaemin. Kata 'urus' yang dimaksud memiliki makna negatif.

Hyunjin menghela napas gusar. Emosinya naik turun tak tentu, semenjak perdebatannya dengan Jeongin di koridor dekat perpustakaan. Hyunjin tidak percaya kalau si anak pertukaran pelajar itu berani berkata seperti itu, bahkan tidak memandang siapa Hyunjin. Jisung saja takut pada Hyunjin, tapi Jeongin sama sekali tidak takut dan membela Jisung dari hinaan Hyunjin.

"Akhir-akhir ini kau banyak marah-marah, ada masalah, bro?" Tanya Lucas.

"Iya, kau semakin lama semakin emosional," tambah Haechan.

Hyunjin lagi-lagi hanya menghela napas kasar, namun akhirnya dia berbicara tentang Jeongin, "Kalian tahu anak pertukaran pelajar dari Busan itu?"

Jeno dan Jaemin saling berpandangan kemudian mengangguk bersama Lucas dan juga Haechan.

"Tahu, si manis itu, 'kan? Dia sangat imut dengan behelnya," jawab Lucas membayangkan senyuman manis Jeongin.

"Memangnya ada apa?" Jaemin penasaran.

"Dia berani menentangku, tadi dia membela Han Jisung saat aku mengatai tim proyeknya itu sampah," cerita Hyunjin mengungkit semua keberanian Jeongin, "dia membalas semua perkataanku dengan pedas, tidak takut sama sekali. Tapi... ketika aku melihat matanya, ada sesuatu yang berbeda darinya."

Hyunjin menurunkan volume bicaranya untuk kalimat terakhir yang diucapkan. Kepalanya menunduk. Kejadian tadi terekam nyata di benaknya. Mata Jeongin. Mata itu. Hyunjin merasakan getaran yang berbeda kala menatapnya. Intinya, dia tidak tahu apa yang dia rasakan ketika melihat sepasang mata bak permata indah itu.

"Kau kenapa, hey!" Jeno mengguncang bahu Hyunjin. "Seperti bukan dirimu jika memikirkan tentang si anak baru itu."

Hyunjin menutup matanya, merasakan hembusan angin sore yang terasa agak dingin. "Aku tidak tahu, kenapa aku memikirkan anak pertukaran pelajar itu?"

***

"Apakah kalian ada ide untuk konsep game yang akan kita buat?" Tanya Changbin membuka rapat kecil-kecilan tim proyek game miliknya. Sudah banyak waktu yang terbuang, karena sibuk merekrut anggota baru. Tim proyek mereka bahkan belum membuat kemajuan apapun.

"Konsep. Konsep. Ah, konsep ini membunuhku." Felix berpikir keras, namun hasilnya nihil.

"Jeongin, apakah kamu punya usulan? Mungkin bisa kita jadikan referensi," tanya Jisung pasa Jeongin.

Pikiran Jeongin mengarah pada video game yang dulu pernah dia mainkan. Game dengan konsep visual novel. Mungkin akan memakan waktu untuk menciptakan game seperti itu, tapi mungkin boleh dicoba.

"Apakah ada yang bisa menggambar dengan bagus di sini?" Jeongin berbalik bertanya.

"Felix dan Jisung sama-sama pandai menggambar, mungkin mereka bisa merancang karakter game kita," jawab Changbin.

Jeongin berpikir lagi. Game visual novel tentu saja butuh alur cerita seperti novel. Untuk hal itu, Jeongin bisa mengurusnya, menjadi seorang penulis adalah mimpinya. Dan untuk sistematika pengkodean komputer dalam membuat game, hal itu pasti dengan mudah diurus oleh Changbin.

"Bagaimana kita membuat game dengan konsep visual novel?" Jeongin mengeluarkan usulannya.

"Visual novel?"

~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang