×18°

2.5K 435 31
                                    

"Kak Hyunjin!"

Hyunjin terlonjak kaget mendengar suara yang familier di telinganya. Siapa lagi si pemilik suara tersebut jika bukan Yang Jeongin. Ini masih pagi, tapi dia sudah disambut oleh laki-laki manis berkawat gigi tersebut. Bukan keberuntungan bagi Hwang Hyunjin di pagi yang cerah ini.

Tanpa Hyunjin sadari, kini Jeongin sudah berdiri di sampingnya dengan senyuman cerah. Ah, dia manis. Minho pasti sangat bahagia jika melihat senyuman manis Jeongin.

"Apa?!" Tanya Hyunjin galak. Tanpa bertanya pun sebenarnya Hyunjin tahu apa maksud kehadiran Jeongin. Tak lain tak bukan adalah untuk mengajaknya bergabung dengan tim proyek game.

"Hehe, tidak apa-apa." Jeongin mengembangkan senyumannya, meringis memamerkan kawat giginya. "Kak Hyunjin harus mau ya bergab--"

"Tidak," potong Hyunjin cepat dan langsung mempercepat langkah kakinya menuju ke kelas.

Jeongin cemberut, namun dia tetap mengejar Hyunjin. "Kak Hyunjin tunggu! Aku kan belum selesai ngomong!"

Hyunjin mendengus, kemudian memutar tubuhnya menghadap Jeongin. "Apa lagi sih?! Enggak bosan ya maksa aku masuk ke tim proyek sampahmu itu?!"

Kesal. Pasti. Hyunjin kesal pada Jeongin.

"Kumohon, Kak. Aku butuh kemampuan kakak dalam pemrograman," pinta Jeongin dengan suara dibuat memelas.

Hyunjin ingin membentak, namun dia urungkan niatnya. Tidak tega. Hatinya mendadak tidak tega melihat tampang memelas Jeongin yang sangat menggemaskan tersebut. Dalam hati Hyunjin mengutuk dirinya yang tak mampu melawan Jeongin.

Si manis itu masih memasang tampang memelas, sesekali menggerakkan badannya seperti anak kecil. Dia itu anak SMA atau anak TK, sih?! Sok imut banget! gerutu Hyunjin dalam hati. Dalam hati pun dia enggan mengakui bahwasanya Jeongin itu imut dan manis.

Jeongin merogoh saku blazer-nya, mengambil secarik kertas kecil. Dia menyodorkannya pada Hyunjin. "Ini nomorku, hubungi aku kalau Kakak ingin berteman denganku atau ingin bergabung dengan tim proyek." Setelahnya Jeongin berlalu menuju kelasnya.

Anehnya, Hyunjin menerimanya. Bak dihipnotis, dia menerima pemberian Jeongin. Ditatapnya nomor yang diberikan Jeongin.

"Anak itu. Aneh sekali."

***

"Kak Felix!" Panggil Jeongin menemukan Felix bersama Changbin dan Jisung sedang makan siang di kafeteria. Jeongin tersenyum, kebetulan mereka semua sedang berkumpul.

Ketiganya menoleh ke arah si anak pertukaran pelajar itu.

"Jeongin? Ada apa?" Tanya Felix merasa namanya dipanggil oleh Jeongin.

"Kebetulan kalian semua ada di sini." Dengan senyuman cerahnya, Jeongin duduk di samping Jisung. Dia mengeluarkan stof map berisi banyak lembar kertas. "Ini alur untuk bab satu hingga bab empat, sudah kulengkapi dengan opsi-opsi dan juga alur alternatif setiap heroine-nya. Aku juga udah buat data khusus buat karakternya, Kak Felix bisa buat rancangan karakternya. Aku berikan hari ini, soalnya nanti aku enggak bisa datang."

Changbin menerima stof map tersebut. Memeriksanya sebentar. "Hm. Kerja bagus. Aku juga menyukai alur cerita yang kamu buat, Jeong."

"Hehe, terimakasih."

"Felix, nanti kau bisa membuat desain karakternya, aku dan Jisung akan berkutat dengan kode-kode pemrograman," kata Changbin.

"Dimengerti." Dibalas dengan anggukan oleh Felix.

Jeongin menatap Jisung yang sedari tadi tidak bicara. Akhir-akhir ini Jisung jarang berinteraksi dengan Jeongin, terkesan seperti menjauhi Jeongin. Tapi Jeongin tidak ingin berburuk sangka pada teman sekelasnya itu, Jeongin pikir Jisung pasti ada masalah atau sesuatu yang mungkin tidak bisa diceritakan pada Jeongin.

Jisung masih diam, bahkan ketika Changbin dan Jeongin tertawa karena lelucon Felix pun, Jisung tidak tertawa. Cowok berpipi tembam itu hanya diam sambil menatap kosong gelas berisi milkshake melon yang isinya tinggal setengah. Dalam pikirannya sangat abstrak. Memikirkan tentang Minho, Jeongin, dan juga Hyunjin.

***

Hyunjin tidak bisa untuk tidak memikirkan perihal Yang Jeongin. Tak henti-hentinya pula dia memandangi secarik kertas yang bertuliskan nomor telepon Jeongin. Lucu sekali. Padahal Hyunjin menolak apapun tentang siswa pertukaran pelajar dari Busan tersebut, namun kini dia malah memikirkannya.

Hyunjin ingin tertawa. Tanpa sadar dia memang tertawa tidak jelas.

"Kenapa kau tertawa seperti itu? Mulai tidak waras?" Tanya Minho sarkas. Pasalnya Hyunjin tertawa tak kenal tempat. Ya, dia sedang berada di kafe Dè Amour sepulang sekolah. Dan Minho merasa otak Hyunjin sedikit geser sebab terus-terusan membuat masalah dengan orang lain.


Hyunjin berhenti tertawa ketika menyadari keberadaan Minho di dekatnya. Sejak kapan Minho ada di sini?

"Kau tidak sadar, hah? Kafe ini ramai dan kau tertawa sendirian seperti orang gila, untung saja tidak ada orang yang menelpon rumah sakit jiwa dan memberitahukan ada orang gila berkeliaran sembarangan di kafe," omel Minho melipat kedua tangannya di depan dada.

Hyunjin melengos. "Hah. Iya, iya. Berisik banget sih, Ho."

Minho geleng-geleng kepala. Kalau tidak ingat ayah Hyunjin adalah penyelamat bagi kedua orang tuanya, Minho pasti sudah menghajar anak kurang ajar itu. Berani sekali dia dengan orang yang lebih tua.

Minho melirik secarik kertas yang dipegang Hyunjin. Dia penasaran dengan kertas yang dipegang Hyunjin.

"Itu apa?"

"Bukan apa-apa," balas Hyunjin cepat dan segera mengamankan kertas tersebut dari Minho.

Sayangnya bukan Lee Minho namanya jika dia tidak memaksa Hyunjin untuk berterus terang kepadanya. "Apa itu? Cepat katakan atau kau kulaporkan pada ayahmu bahwa kau telah memerawani seorang gadis di klub malam lima bulan yang lalu."

Hyunjin mendelik. Ancaman ini sungguh mengerikan dari ancaman-ancaman yang biasanya Minho keluarkan. Jika ayahnya tahu dirinya pernah memerawani anak gadis orang lima bulan yang lalu, bisa-bisa Hyunjin diminta menikahi si gadis atau lebih parah dari itu dia bisa dibunuh oleh ayahnya.

Terpaksa Hyunjin harus jujur, daripada Minho berbicara yang tidak-tidak pada Tuan Hwang dan Hyunjin terkena imbas buruknya.

"Ini nomor milik si anak baru, dia memaksaku untuk mau berteman dengannya," jawab Hyunjin asal.

"Terus?"

"Aku sebenarnya tidak mau, tapi dia terus memaksaku. Bagaimana menurutmu?"

Minho mengangguk mengerti. "Sekali-kali, kamu menerima orang lain dalam hidupmu. Mungkin dia punya tujuan baik dan mungkin pula dia bisa membantumu untuk berubah. Coba saja berteman dengannya. Kau tahu? Kau itu kesepian, Jin."

Kesepian?

Meskipun Hyunjin enggan mengakuinya, tapi dia benar kesepian. Kesepian, sebab tidak ada orang yang bisa diajaknya berbagi cerita, selain Minho tentunya. Teman. Sejak awal dia tidak percaya pada teman, termasuk Jeno dan Jaemin. Nyatanya mereka meninggalkan Hyunjin usai pertengkaran mereka hari itu. Meninggalkan Hyunjin dalam rasa sepi yang tak kunjung hilang ini.

Apa yang bisa dia lakukan sekarang? Menerima Jeongin? Ah, iya Jeongin. Siswa manis dari Busan yang terus mendekati Hyunjin, memaksanya untuk berteman dan ikut dalam tim proyek game.

Bagaimana jika Hyunjin mau menerima Jeongin?






~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang