×21°

2.4K 439 23
                                    

"Jisung!"

Jisung berhenti melangkah ketika telinganya menangkap suara berat Felix yang memanggil namanya. Pemuda berpipi tembam tersebut menoleh ke arah siswa dengan fitur freckles di wajahnya itu.

"Ada apa?" Tanya Jisung ketika Felix sudah menyamai langkah kakinya.

"Ada yang ingin aku tanyakan," ucap Felix dengan nada serius.

"Tentang apa?"

"Serius." Felix menarik Jisung menuju ke kafeteria. Di jam pulang sekolah begini, kafeteria pasti sepi, walau tidak sepi sepenuhnya. Dan Felix merasa kafeteria adalah tempat yang cocok untuk membicarakan hal ini, mengingat hari ini juga turun hujan. Mengobrol sambil memesan susu hangat pasti sangat menyenangkan.

Jisung sih tidak masalah. Lagipula dia tidak ada kegiatan setelah pulang sekolah, paling yang dilakukannya di rumah hanya main game dan belajar pemrograman. Terlalu monoton memang bagi siswa yang gemar main video game seperti Jisung.

"Nah, apa yang ingin kau bicarakan? Kenapa tidak bilang dari tadi saja?" Tanya Jisung usai dia dan Felix memesan susu hangat dan makanan ringan yang dijual di kafeteria.

"Mana bisa aku bilang, ini kan privasi." Felix membenarkan posisi duduknya. "Ini soal Jeongin."

Dahi Jisung berkerut. "Jeongin?"

"Kau pasti punya maksud lain menyuruh Jeongin memaksa Hyunjin untuk masuk ke dalam tim proyek kita," kata Felix langsung pada poin pentingnya. Dia lelah bertele-tele. Dia ingin Jisung jujur.

Jisung terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan Felix. Bodohnya Jisung, cepat atau lambat Felix memang akan mengetahui apa maksud terselubung Jisung. Semua ini karena Minho yang memenuhi pikiran Jisung.

Melihat perubahan ekspresi Jisung, Felix dapat menebak isi pikirannya. "Kak Minho, ya? Kamu ingin Kak Minho? Kak Minho suka Jeongin, makanya kamu berniat menjauhkannya dari Jeongin lewat keberadaan Hyunjin, begitu?"

Diluar dugaan, Felix tahu semua sedetail itu. Memangnya Jisung bisa apa menyembunyikannya dari orang yang peka terhadap lingkungan dan kondisi sekitar seperti Lee Felix?

"Lix, kumohon jangan katakan ini pada Kak Changbin, dia bisa marah kalau aku punya alibi lain untuk memasukkan Hyunjin ke tim proyek game kita," ucap Jisung akhirnya, tidak ada gunanya dia menutupi hal ini dari Felix, toh Felix pasti akan tahu semuanya.

"Kenapa kamu melakukan hal ini? Apa cinta membuatmu buta? Tunggu... aku tidak yakin kalau itu cinta, apa itu obsesi? Kau terobsesi pada Kak Minho." Felix menatap Jisung dengan tatapan menyelidik.

"Felix, stop! Berhentilah berburuk sangka padaku. Aku tahu, aku memang salah. Kesalahan terbesar yang pernah kubuat adalah keegoisanku untuk memiliki Kak Minho. Aku ingin sesekali serakah, aku ingin Kak Minho melihatku sama seperti dia melihat Jeongin. Apa itu salah, Felix?"

Felix tidak menjawab. Dia tidak tahu. Felix tidak pernah jatuh cinta, makanya dia tidak tahu. Meskipun tidak pernah merasakan indah dan sakitnya jatuh cinta, tetapi Felix mempelajarinya agar dia bisa menuntun teman-temannya yang sedang dimabuk asmara. Dia pandai memberikan nasehat dan saran-saran untuk temannya yang curhat padanya. Jisung adalah salah satu orang yang gemar curhat pada Felix, hingga Felix hafal betul tetek bengek kisah cinta Han Jisung.

Felix ingin bilang apa yang dilakukan Jisung kali ini memang salah, namun dia juga tak mampu menyalahkan Jisung. Semua orang punya perasaan masing-masing yang tentu saja berbeda dan hal itu tak dapat dibantah.

Susu hangat pesanan mereka akhirnya datang. Felix menyesap minumannya itu perlahan, menikmati kehangatan yang menjalar ke tubuhnya kala menikmati minuman tersebut. Dia masih tak menjawab Jisung yang kini sibuk dengan ponsel pintarnya,  membiarkan keheningan menyelimuti keduanya.

"Ji, tak bisakah kamu tidak melibatkan Jeongin? Maksudku, dia tidak tahu apapun." Felix mulai bersuara.

"Mana mungkin aku tidak melibatkan Jeongin? Dia orang yang dielu-elukan Kak Minho."

"Oke. Tapi bagaimana soal Hyunjin? Sungguh tidak masuk akal melibatkan Hyunjin pada kisah cinta anehmu itu!"

Jisung menyeringai. "Aku percaya kalau Hyunjin itu punya ketertarikan pada Jeongin."

Felix diam lagi. Berpikir. Ya, akhir-akhir ini Hyunjin jadi agak mendingan, meskipun tetap menyebalkan, tapi apakah semua itu karena keberadaan Jeongin.

"Dan lagi, mungkin ini adalah salah satu cara mengembalikan Hwang Hyunjin yang dulu, sahabat baikmu di masa lalu, Lee Felix."

***

"Jeong."

Jeongin merasa terusik dengan suara yang membangunkannya dari tidur. Ia menggeliat pelan, menyamankan posisinya.

"Yang Jeongin! Bangun!" Pekik suara itu dan ajaibnya Jeongin langsung bangun, karena terkejut.

"K-kak Hyunjin?!" Jeongin terbata-bata menyadari posisinya dan Hyunjin seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu. Memalukan, tetapi sangat manis.

Hyunjin memutar bola matanya, "kita hampir sampai, kau juga turun di halte yang waktu itu, 'kan?"

Jeongin mengangguk.

Sebuah seringai muncul di bibir Hyunjin, "Hey, kau kenapa? Apa kau jadi gila karena keenakan bersandar di bahuku?"

"Tidak!" Jeongin memalingkan wajahnya ke arah lain. Hyunjin ini bisa-bisanya bersikap percaya diri seperti itu. Jeongin tidak suka.

Hyunjin terkekeh. Cowok imut di sampingnya itu memang sangat lucu, membuat selera humor Hyunjin menjadi aneh sejak kedatangannya.

Bus berhenti di depan halte tempat mereka berdua seharusnya turun. Keduanya turun setelah membayar. Ketika menginjakkan kaki di halte, Jeongin menatap langit. Sepertinya hujan sudah berhenti, namun rintik-rintik samar masih bisa Jeongin rasakan, tapi itu bukan masalah. Dia hanya tinggal berjalan melewati pertigaan dan tiba di kafe milik Chan.

"Aku duluan ya, Kak Hyunjin!" Jeongin buru-buru pergi.

Hyunjin yang sedang mengecek ponselnya hanya mengangguk. Dia sedang menghubungi Minho, memastikan Minho ada di kafe sebelum Hyunjin pergi ke sana. Hyunjin tidak tahu saja kalau Jeongin juga punya destinasi yang sama dengan dirinya.

"Bagus, dia ada di sana. Aku harus ke sana," kata Hyunjin memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya sebelum berlanjut melangkah menuju ke kafe Dè Amour yang ada di dekat pertigaan.

***

"Minho--loh? Jeongin?" Hyunjin terkejut menemukan Jeongin sedang berbincang dengan Minho dan Woojin. Dari pengamatan sekilas Hyunjin, sepertinya mereka sudah saling kenal.

"Hai, Kak Hyunjin!" Sapa Jeongin ceria.

Hyunjin masih terpaku tidak percaya. Apa lagi melihat ekspresi sumringah Minho ketika menatap Jeongin berbicara. Ada yang aneh. Hyunjin bisa merasakannya. Biasanya Minho akan terlihat sarkas, sok kalem, padahal aslinya astaga, Hyunjin tak mampu menjabarkannya dan tak ingin pula menjabarkan kebodohan Lee Minho.

"Kamu kenal sama si kutil kuda itu?" Tanya Minho pada Jeongin.

Jeongin mengangguk. "Iya, walau enggak dekat-dekat banget sih."

Minho menatap Hyunjin dengan tatapan menyelidik. Dia seperti baru saja menyadari sesuatu.

"Apa sih, Ho?!" Tanya Hyunjin merasa risi diperhatikan sampai seperti itu oleh satu-satunya sahabatnya itu.

Minho tersenyum miring. "Tidak ada apa-apa." Dia merangkul Hyunjin, kemudian memutar tubuh mereka. "Anak baru yang kau maksud itu, Jeongin ya?"

Seketika Hyunjin ingin membenturkan kepala Lee Minho ke tembok kafe.










~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang