×37°

2K 392 58
                                    

Hyunjin menatap kosong rintik-rintik air hujan yang mulai menghujam deras, mengguyur kota Seoul ini. Ekspresinya masih datar, rasa marah masih membekas sempurna dalam benaknya.

Setengah tidak percaya pada kenyataan bahwa keberadaannya hanya sebagai alat bagi Jisung agar Jeongin menjauh dari Minho. Mendengarnya saja membuat Hyunjin kesal, bagaimana jika Minho tahu soal hal ini? Pastilah lelaki bermarga Lee itu marah besar pada Jisung.

Bukan. Hyunjin bukan marah soal Minho pada Jisung. Hyunjin marah karena Jisung tega melakukan hal seperti itu pada Jeongin, teman baiknya sendiri.

"Huh? Tumben kau sudah pulang? Tidak mengerjakan proyek game-mu?" Jinyoung yang baru saja tiba di rumah dengan keadaan basah kuyup, sedikit terkesiap mendapati Hyunjin sudah berada di teras rumah memandang kosong rintik-rintik hujan.

"Aku sudah keluar," balas Hyunjin masih tetap dalam ekspresi datarnya.

Jinyoung diam beberapa jenak, memproses apa yang dikatakan saudara tirinya barusan. "Tunggu. Kau sudah keluar? Kenapa?"

"Panjang sekali ceritanya dan kau pasti akan sulit mempercayainya, Young."

Jinyoung menghela napas. Otaknya masih bingung memikirkan kira-kira apa yang terjadi pada Hyunjin sehingga dia memutuskan keluar dari tim proyek game. Pastilah penyebabnya tidak dapat jauh dari sosok Yang Jeongin, seseorang yang membuat Hyunjin berubah.

***

Minho bingung. Kenapa tiba-tiba Jeongin memintanya untuk bertemu di taman yang tidak jauh dari kafe Dè Amour. Tumben sekali Jeongin mengajak bertemu. Perasaan Minho jadi tidak enak.

Sesekali Minho menggoyangkan ayunan yang sedang didudukinya seraya sedikit bersenandung agar menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan menanti kedatangan Jeongin.

"Sebenarnya apa yang ingin dia bicarakan, ya? Sepertinya terlihat sangat penting," monolog Minho memandang langit senja yang perlahan diwarnai warna kelabu, bahkan lampu-lampu jalanan sudah mulai dinyalakan dan orang-orang menyudahi aktifitas mereka.

"Kak Minho."

Jantung Minho hampir copot ketika mendengar namanya dipanggil oleh suara manis yang dia yakini sebagai suara Jeongin, orang yang ditunggunya.

"J-jeongin."

Entah mengapa atmosfer di antara mereka mendadak aneh ketika Jeongin duduk tepat di ayunan samping ayunan yang ditempati oleh Minho.

Netra Minho sedikit melebar menyadari bahwa ekspresi Jeongin terlihat sendu dan suram. Apa yang terjadi padanya?

"Kak, aku ingin bicara serius," kata Jeongin kini menatap intens ke arah Minho.

Kini Minho merasa ada hal yang benar-benar tidak beres pada Jeongin. Dari raut wajah Jeongin pun sesuatu yang akan ia bicarakan terlihat tidak mengenakkan hati. Otak Minho kini sibuk menerka-nerka apa kesalahan yang ia perbuat pada Jeongin.

"Kak, bisakah Kakak berhenti mencintaiku?"

Jantung Minho mencelos. Ia tidak salah dengar bukan? Jeongin memintanya untuk berhenti mencintainya. Kenapa? Bukankah Jeongin selalu nyaman ketika berada di dekat Minho? Bukankah Jeongin bahagia bersama Minho?

"Kenapa?" Hanya satu pertanyaan tersebut yang keluar dari mulut Lee Minho.

Jeongin menarik napas sebelum berbicara, "Kak, aku tahu ini memang agak aneh, tapi kumohon dengarkan. Aku ingin Kakak berhenti mencintaiku, ada seseorang yang lebih baik dan lebih pantas untuk dicintai Kakak daripada aku. Aku tidak mau menyakiti Kakak maupun orang yang mencintai Kakak jika Kakak terus bertahan dengan rasa cinta sepihak Kakak."

Sekarang Minho merasa ada jutaan jarum tak kasat mata menghujam hatinya. Menusuk relung hati terdalamnya, menyakiti batinnya.

"J-jisung, ya? Kau pasti seperti ini karena Jisung, bukan?" Tebak Minho dengan napas tidak beraturan. Dia yakin seratus persen bahwa orang yang dimaksud Jeongin ialah Han Jisung, orang yang selalu mencintai Minho.

Jeongin menunduk. "Kak Jisung jauh lebih baik dan pantas menerima cinta dari Kakak! Kenapa Kakak malah jatuh cinta padaku?! Aku tidak mau menyakiti Kak Jisung jika kita terus seperti ini!" Jeongin sudah tidak tahan. Dadanya begitu sesak menahan rasa sakit ini.

"Tapi hanya kamu yang aku cintai, Jeong!"

"Cukup, Kak! Aku tidak mau lagi menyakiti siapapun! Kalau Kakak tetap mencintaiku maka Kakak juga akan merasa tersakiti dan aku tidak mau Kakak tersakiti!"

Minho membisu. Dalam hati dia berpikir, kenapa dia harus merasa tersakiti ketika mencintai Jeongin?

"Aku sudah memiliki seseorang yang membuatku jatuh cinta."

Hening. Setelah Jeongin berujar seperti itu, keduanya sama-sama membisu. Hanya semilir angin petang yang menemani keduanya.

Jarum-jarum khayalan tak kasat mata itu menggores hati Minho. Sakit. Sangat sakit. Ia ingat sebuah pepatah bahwa jika kau jatuh cinta, maka kau harus siap merasakan rasa sakit. Dan kini Minho sudah merasakannya. Jatuh cinta itu menyakitkan, itulah mengapa ia disebut 'jatuh'.

"Terimakasih sudah menjadi kakak yang baik bagiku," kata Jeongin sebelum beranjak pergi.

Minho mengepalkan tangannya sebelum kemudian berdiri dan mengikuti langkah Jeongin. Ia mengunci gerakan Jeongin dengan menggenggam kedua bahu pemuda asal Busan tersebut.

"Jeongin," ujarnya dengan nada bergetar, "dengarkan aku, tolong."

Jeongin menjawabnya dengan anggukan kepala, tidak ada salahnya dia mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Minho.

"Baiklah, aku akan menuruti apa yang kau inginkan, aku akan berhenti mencintaimu. Aku akan berhenti mempertahankan cinta sepihak ini. Tapi, kumohon ini untuk terakhir kalinya izinkan aku untuk mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Aku sangat menyayangimu. Kau itu lebih dari sekadar adik bagiku, kau sudah seperti segalanya dalam hidupku. Hujan telah menjadi saksi bagaimana aku jatuh cinta kepadamu. Ini yang terakhir kalinya, biarkan aku memelukmu."

Mata Jeongin memanas mendengar kalimat-kalimat tersebut terlontar dari mulut Minho. Minho sangat baik dan dia tentu lebih pantas memiliki orang yang lebih baik dari Jeongin. Pemuda manis itu menangis dalam diam. Menangis sebab dia telah menyakiti sekeping hati yang tulus mencintainya.

"Terimakasih, karena telah mencintaiku, Kak."

Genggaman tangan Minho pada bahu Jeongin perlahan melemas, hingga ia melepaskan sepenuhnya pemuda yang dicintainya tersebut. Jeongin segera berlalu, meninggalkan Minho yang masih diam dalam luka.

Gerimis mulai turun di hari yang mulai beranjak malam ini. Minho merutuki takdir dimana hujan yang mempertemukannya dengan Jeongin dan juga hujan yang telah memisahkannya dengan Jeongin.












~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang