×38°

1.9K 377 12
                                    

Felix berjalan-jalan di sekitar lapangan basket sekolah. Netranya menangkap sosok Hyunjin yang sedang duduk di pinggir lapangan basket. Lelaki bermarga Hwang tersebut tampak sedang merenung.

Segera, Felix menghampirinya. Ada banyak hal yang ingin Felix bicarakan dengannya.

"Hyunjin," panggilnya seraya duduk di samping Hyunjin.

"Hm?" Si pemilik nama hanya melirik Felix sekilas, kemudian kembali menatap kosong lurus ke arah depan. Entah apa yang dia perhatikan dan juga pikirkan.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Felix hati-hati.

"Apa aku terlihat seperti orang yang baik-baik saja?"

Kepala Felix tertunduk. Ia turut merasa bersalah pada Hyunjin. Harusnya saat itu dia menghentikan Jisung, sebelum akhirnya malah seperti ini. Sekarang sudah terlambat, baik Hyunjin dan Jeongin sudah tahu, tinggal menunggu Minho mengetahui hal ini.

"Kau pasti sangat marah pada Jisung," kata Felix lirih.

Hyunjin diam beberapa detik sebelum merespons perkataan Felix, "Sedikit. Aku marah padanya, karena dia memiliki niat yang buruk pada Jeongin. Kau tahu? Jeongin tidak tahu apa-apa, kenapa dia malah menyangkut pautkan Jeongin soal urusan cintanya pada Minho? Seharusnya dia bisa bilang sendiri pada Minho," katanya kini beralih menatap langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih.

"Aku tahu, seharusnya aku menghentikannya."

"Sekarang sudah terlambat untuk menyesalinya, Lix."

Benar. Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang telah terjadi. Felix memang agak menyesal mengapa dirinya tidak menghentikan Jisung dan malah justru membiarkannya begitu saja.

Kedua lelaki itu diam seribu bahasa, tidak ada satupun yang ingin membuka topik pembicaraan. Sudah sangat lama sejak terakhir kali mereka duduk bersama dan mengobrol sedekat ini. Canggung rasanya bagi Felix untuk mengobrol dengan Hyunjin seakrab ini, padahal mereka pernah berteman baik saat SMP.

"Lix."

"Hm?"

"Apa kau masih mau jadi temanku setelah apa yang terjadi selama ini?" Tanya Hyunjin tanpa menatap Felix.

Felix tersenyum tipis. "Aku selalu menjadi temanmu, sampai kapanpun."

"Syukurlah kalau begitu, maafkan aku yang selalu negatif ini."

"Tidak masalah, semua orang pasti punya alasan tersendiri kenapa bisa berubah. Aku yakin kau juga punya alasan pribadi." Felix menepuk bahu Hyunjin, bermaksud menenangkannya.

"Hm, iya terimakasih."

"Bagaimana dengan hubunganmu dengan Jeongin setelah ini?" Tanya Felix yang tiba-tiba teringat akan Jeongin.

Hyunjin berpikir sejenak. Ah, iya benar Jeongin, bagaimana hubungannya dengan Jeongin setelah ini? "Aku tidak tahu."

"Huh? Kenapa kau tidak tahu?" Felix mengernyitkan dahi.

Jujur, Hyunjin memang tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Dia tidak mau bertemu dengan Minho, dia juga belum mampu untuk bertemu dengan Jeongin. Sebentar lagi Jeongin juga akan kembali ke Busan, hanya tinggal menghitung hari-hari dalam satu bulan ini.

Semuanya jadi terasa amat berat bagi Hyunjin. Baru sekejap dia merasakan kebahagiaan, kemudian takdir dengan kejamnya merenggut kebahagiaan tersebut.

***

Hari-hari di tim proyek game berjalan seperti biasanya, Jisung juga telah kembali dan meminta maaf sebesar-besarnya pada Jeongin, namun dia masih belum mampu menemui Minho. Kinerja tim proyek game sedikit menurun, padahal ini sudah mendekati deadline yang sudah mereka tetapkan bersama.

Video game mereka memang sudah jadi, namun masih banyak terdapat kecacatan dan glitch dalam video game. Changbin berusaha memperbaikinya, namun hasilnya tetap sama tak ada perubahan.

Jeongin pribadi sudah sangat jarang berkumpul dengan tim proyek game. Dai sudah disibukkan dengan kegiatan belajar dan pelajaran tambahan untuk siswa pertukaran pelajar. Tak ada waktu untuk berbaur dengan tim proyek game lagi. Lagipula dia yakin Changbin, Jisung, dan Felix tetap mampu melakukan yang terbaik tanpa Jeongin.

Hanya saja, Jeongin merasa hari-harinya sekarang terasa amat hambar. Hyunjin tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di hadapan Jeongin, paling Jeongin hanya sebatas melihat Hyunjin sekilas, mereka sudah tidak benar-benar berbicara ataupun bertemu. Jangankan bertemu, chat dari Jeongin saja tidak dibalas oleh Hyunjin.

Sejak hari itu semuanya berubah, bahkan Minho dan Hyunjin sekalipun. Minho, dia memang masih perhatian pada Jeongin, tetapi sekarang dia terkesan menjaga jarak. Sedangkan Hyunjin, Jeongin tidak tahu menahu kenapa pemuda itu terkesan ingin menghilang dari hidup Jeongin. Apa dia tidak ingin menikmati waktu sebelum Jeongin pergi kembali ke Busan?

Hingga detik ini, ketika Jeongin menyapanya di kafeteria, pemuda bermarga Hwang itu hanya berjalan melewatinya, tanpa berniat membalas sapaan Jeongin.

"Maaf, gara-gara aku, kau dan Hyunjin jadi seperti ini," ujar Jisung merasa bersalah. Sejak hari itu, dia selalu dihantui rasa bersalah pada Jeongin, Hyunjin, dan juga Minho.

"Tidak apa, toh ini juga bukan sepenuhnya salah Kak Jisung. Ini salahku yang tiba-tiba datang dan mengacaukan segalanya." Jeongin tersenyum tipis, namun ada secerca rasa perih dalam hatinya.

"Tidak, tentu ini bukanlah salahmu. Aku yang punya niat jahat padamu, akulah orang yang patut kau salahkan, Jeong."

Jeongin menunduk, "sayangnya aku tidak punya hak untuk menyalahkan Kak Jisung."

"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu," sahut Felix menengahi. "Oh, iya. Nanti sore kamu bisa datang, Jeong?"

"Entahlah, Kak. Aku akan disibukkan dengan belajar dan belajar untuk mengakhiri program pertukaran pelajar ini, belum lagi aku juga harus membuat makalah dan juga laporan hasil pertukaran pelajar. Aku tidak yakin akan sering berbaur dengan kalian tempo bulan ini," jelas Jeongin dengan nada sendu.

"Begitu..."

Ketiganya diam menikmati keramaian kafeteria. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing, terutama pikiran bahwa Jeongin sebentar lagi akan pergi kembali ke kota asalnya.












~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang