×41°

2K 397 20
                                    

Mata Jeongin memandang kosong langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih lewat jendela kelas. Ia tak mampu berkonsentrasi dan mendengarkan penjelasan dari guru yang mengajar di kelas.

Raganya berada di sini, namun pikirannya sudah menjelajah kemana-mana.

Ah, hanya tinggal menghitung hari lagi ia akan pulang ke Busan. Rasanya Jeongin ingin memperlambat waktu agar ia bisa menikmati setiap detik waktu yang berharga di kota ini.

Setidaknya apa yang telah terjadi selama enam bulan ia berada di kota ini, menjadi kepingan memori indah dalam kehidupannya. Jeongin tidak perlu menyesalinya, meskipun ada kepingan memori yang terasa begitu menyakitkan.

"Baiklah, saya akhiri pelajaran pada hari ini, sampai jumpa besok ketika penyerahan sertifikat," ucap Guru Jeon seraya keluar dari ruang kelas tambahan.

Beberapa siswa pertukaran pelajar dari sekolah lain satu per satu keluar dari ruangan, menyisakan Jeongin seorang diri.

Jeongin memang sengaja pulang paling akhir. Dia mengemasi buku-buku dan alat tulisnya sebelum keluar dari ruang kelas. Otaknya kemudian memberi perintah agar ia pergi ke ruang khusus tim proyek game. Jeongin sudah sangat jarang pergi ke sana. Semoga Changbin dan yang lainnya masih ada di sana.

Namun, begitu Jeongin tiba di sana, yang ia dapati hanyalah Changbin yang sedang mengunci ruangan tersebut. Sepertinya dia hendak pulang. Wajar sebab ini sudah pukul setengah tujuh malam.

"Kak Changbin," panggilnya pada pemuda beraura dark tersebut.

Si pemilik nama menoleh ke arah Jeongin dan mengulas senyum tipis, "Jeongin, ada apa?"

"Apa yang lain sudah pulang?" Tanya Jeongin mengedarkan pandangan, mencari keberadaan anggota tim proyek game yang lain, barangkali ada yang masih berada di sini selain Changbin.

"Sudah, Jisung dan Felix sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Aku baru saja menyelesaikan beberapa masalah, jadi pulang paling akhir," jelas Changbin menarik kunci ruangan dari lubang kuncinya sebelum memasukkannya ke dalam saku blazer-nya, "Kau sendiri? Apa ada jam pelajaran tambahan untuk siswa pertukaran pelajar?"

Jeongin mengangguk, "Iya, juga ada pengarahan dari pihak sekolah. Kau tahu? Aku akan segera kembali ke Busan dalam waktu dekat ini dan aku..."

Napasnya tercekat, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Sesak kembali memenuhi dada Jeongin, menciptakan sensasi menyakitkan.

"Aku mengerti," Changbin mengulas sebuah senyum tipis dan tangannya terulur untuk menepuk bahu Jeongin, "pasti berat meninggalkan sesuatu yang sudah sangat berarti bagimu, bukan? Apalagi jika kau belum memperbaiki sesuatu yang telah rusak sebelum pergi dari sini."

Jeongin membisu. Tangannya bergetar dan matanya terasa panas. Air matanya rasanya bisa jatuh kapan saja jika Changbin terus mengatakan hal yang membuat Jeongin tertusuk 'tombak' realita.

Tanpa sadar air mata Jeongin meleleh, tak tahan menampung perih di hatinya yang kembali muncul tiap kali teringat ini adalah hari-hari terakhirnya di kota ini, dimana hari-hari ini malah ia habiskan dengan luka-luka di hati.

"Jeongin?" Changbin tertegun ketika menyadari Jeongin menitikkan air mata.

"Sejujurnya... hiks... aku masih ingin bersama kalian." Pemuda manis itu sesenggukan. "Aku... aku... aku sangat bahagia bisa bertemu dengan kalian."

Mata Changbin menatap sendu Jeongin yang masih menangis sesenggukan. Ia paham. Ia sangat memahami Jeongin. Orang yang pendiam dan tidak pandai bergaul seperti Changbin, justru malah menjadi orang yang pandai memahami perasaan orang lain.

"Hanya saja... hiks... aku... aku... aku masih belum b-bisa..."

"Hey, berhentilah menangis," hibur Changbin, "aku yakin Hyunjin itu peduli padamu, dia pasti akan melakukan sesuatu sebelum kau pergi, yang pasti dengan caranya sendiri. Aku yakin itu."

***

"Menurutmu, apa yang aku lakukan selama ini salah?"

Hyunjin menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu sebenarnya ia menemui Minho sekarang. Apalagi hubungan persahabatan mereka sempat renggang dan mereka tak pernah bertemu hampir sekitar dua bulan.

Hyunjin merasa tak enak hati pada Minho menyadari realita bahwa mereka mencintai orang yang sama. Sayangnya orang yang mereka cintai jauh memilih Hyunjin daripada Minho.

"Lakukan apa?" Minho malah balik bertanya.

"Apa yang telah terjadi di antara aku dan... Jeongin, apa semua itu salah?"

"Tidak. Tidak ada yang salah. Semua memang sudah di susun dalam skenario yang telah Tuhan buat," tukas Minho cepat, Skenario yang tanpa sadar telah membuatku merasakan seperti apa sakitnya jatuh cinta. "Memangnya ada apa lagi? Apa kalian belum berbaikan? Padahal dalam waktu dekat Jeongin sudah harus kembali ke Busan."

Hyunjin membuang napas kasar. "Itulah yang membuatku pusing sekarang, kami belum berbaikan dan dia akan pulang dalam waktu dekat. Aku harus bagaimana?"

Minho memejamkan matanya. Dia juga harus merasakan apa yang Hyunjin rasakan, dia tidak boleh membenci Hyunjin karena Hyunjin adalah orang yang dicintai Jeongin. Tidak boleh. Minho harus tetap menjadi dirinya sendiri dan melupakan soal perasaannya pada Jeongin. Kali ini ia harus membantu Hyunjin, ini juga demi kebaikan Jeongin.

"Lakukan apa yang harus kau lakukan," katanya datar.

Hyunjin melengos. Percuma saja dia meminta saran pada Minho yang terkadang otaknya tidak beres. "Kalau itu aku sudah ta--"

"Lakukan! Dengan caramu sendiri! Dengan cara Hwang Hyunjin."

Hyunjin tertegun beberapa jenak. Kalimat Minho barusan secara tidak langsung membangkitkan kembali tekad terpendam Hyunjin untuk membantu tim proyek game dan membuat kenangan yang berharga untuk Jeongin. Lakukan sesuatu yang ia anggap benar. Lakukan dengan caranya. Lakukan dengan cara Hwang Hyunjin. Ya, Hyunjin harus melakukannya.

"Kau sudah menemukan apa yang kau cari dalam hidupmu, sekarang adalah waktu untuk mempertahankannya," lanjut Minho dengan seulas senyuman tipis. Senyum yang hanya akan mendatangkan lara bagi hatinya sendiri. Ah, andai dirinyalah orang yang dicintai Jeongin, tetapi tak ada gunanya berandai-andai jikalau 'andai' yang diinginkan tidak dapat tercapai. Jatuh cinta pada Jeongin mengajarkan banyak hal pada Minho yang juga secara tidak langsung pula mengubah perlahan pribadi Hwang Hyunjin.

"Aku mengerti dan aku sudah tahu hal yang harus kulakukan. Aku yakin, aku memang harus melakukannya."

Yang Jeongin. Seorang siswa pertukaran pelajar dari Busan yang kehadirannya telah mewarnai kisah hidup dua orang pemuda tampan di kota Seoul. Bersama hujan, ia menuliskan bait-bait memori yang menjadi kepingan riwayat dengan berbagai perasaan bercampur di dalamnya.










~TBC~




A/n:

Thanks for 20k reads nya😊🎉 cerita ini hampir mendekati ending, so ikuti terus ya 😊😊😊

Thanks for 20k reads nya😊🎉 cerita ini hampir mendekati ending, so ikuti terus ya 😊😊😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang