×12°

2.7K 467 6
                                    

"Uhhh."

Jeongin membuka matanya perlahan. Rasanya ada yang berat, menindih kepalanya. Melirik ke arah samping, Jeongin terkesiap menyadari posisinya dan Hyunjin saat ini. Refleks dia langsung menyingkirkan kepala Hyunjin dan menjauhi pemuda rupawan tersebut.

Hyunjin yang terusik pun bangun dari tidurnya. "Apa sih?!" Dia tidak suka diusik. Namun selanjutnya Hyunjin bungkam. Ingat bagaimana posisi tidurnya dan Jeongin tadi seperti di drama-drama yang tayang di televisi. Drama tentang anak sekolahan yang tengah dimabuk cinta. Hyunjin bergidik ngeri membayangkan dirinya berada dalam naskah drama seperti itu.

"Kok aku... kok Kak Hyunjin..." Jeongin bicara tidak jelas sambil menunjuk dirinya dan Hyunjin secara bergantian. Entah apa maksudnya.

"Udah sampai!" Hyunjin tak mengindahkan Jeongin dan meminta sopir untuk memberhentikan busnya di halte terdekat. Tanpa Hyunjin sadari, Jeongin juga ikut turun mengikutinya.

Hujan masih belum berhenti, meskipun tak sederas tadi. Hyunjin membasahi bibir bawahnya, matanya sibuk menatap ke sekitar halte.

"Kau mengikutiku?" Tanya Hyunjin tanpa menoleh ke arah Jeongin yang berdiri di dekatnya.

Jeongin memasang ekspresi bingung. "Lho? Aku kan memang mau turun di halte ini, Kak Hyunjin ini percaya diri sekali."

Hyunjin membuang mukanya. Malu sekali rasanya bersikap sok percaya diri di depan Jeongin. Jujur, dia tidak tahu kalau Jeongin juga akan turun di halte ini. Hyunjin menghembuskan napas kasar. Hujan masih belum reda, meski tak sederas tadi, tapi ini tetap mengganggunya.

"Ini."

Hyunjin memiringkan kepalanya, bingung kenapa Jeongin menyodorkan sebuah payung padanya. Sebenarnya itu adalah payung pemberian Minho saat pertemuan pertama Jeongin dengan Minho.

"Untuk apa?" Tanya Hyunjin.

"Kupikir Kak Hyunjin lebih butuh ini, jadi kupinjamkan ini untuk Kak Hyunjin," jelas Jeongin.

"Enggak perlu. Aku enggak butuh."

"Udah, Kak. Jangan malu-malu." Jeongin tetap memaksa.

Hyunjin menggeram, namun akhirnya mau tak mau dia harus menerimanya. Daripada Jeongin terus berucap dan memaksanya.

"Kukembalikan kalau ingat," kata Hyunjin membuka payung itu dan berlari menerobos hujan, memasuki gang perumahan tak jauh dari halte.

Jeongin mengulum senyuman. Benar, Hyunjin itu baik, hanya saja dia terlalu gengsi untuk menunjukkannya. Mungkin Hyunjin memang kesepian, makanya dia bersikap seperti itu. Yang dia butuhkan hanyalah teman. Kalau bisa, Jeongin mau-mau saja menjadi teman Hyunjin.

***

"Darimana saja kau?!" Tanya Chan dengan volume yang cukup keras, bahkan sampai membuat seisi kafe menoleh ke arah si manajer kafe tersebut. Chan menatap serius Jeongin yang baru saja tiba di kafenya dengan baju yang basah. "Kau tidak tahu kalau aku sangat mengkhawatirkanmu?!"

"Maaf, Kak," cicit Jeongin dengan wajah dibuat memelas.

Chan melunak, tak jadi mengomeli adik sepupunya tersebut. Tampang Jeongin terlalu manis untuk diomeli. Chan memang tidak pernah bisa marah pada Jeongin, tapi dia akan marah pada siapapun yang melukai Jeongin. Nalurinya sebagai kakak memang sangat kental dan mendarah daging dalam tubuhnya.

"Ya sudah kamu duduk dan istirahat dulu, biar aku carikan baju ganti," kata Chan akhirnya.

"Terimakasih, Kak."

Usai Chan meninggalkan Jeongin, giliran Minho yang buru-buru mendekatinya. Menatap si imut itu dengan penuh kekhawatiran.

"Jeongin, kamu enggak apa-apa, 'kan?" Tanya Minho memperhatikan Jeongin dari atas hingga bawah. Begitu seterusnya.

"Aku enggak apa, Kak. Enggak perlu khawatir deh," balas Jeongin.

"Baju kamu basah, ayo ikut kakak ke ruang ganti baju." Minho menarik Jeongin menuju ke ruang ganti baju.

"Eh, eh! Kak Minho apa-apaan sih?!" Jeongin kewalahan ditarik paksa oleh Minho.

Minho tidak menjawab dan malah sibuk mencari sesuatu di loker yang bertuliskan namanya. Ia mengambil pakaiannya dan memberikannya pada Jeongin. "Ini, pakailah supaya kamu tidak sakit. Pakai baju basah itu bisa bikin kamu masuk angin."

Jeongin awalnya ragu menerimanya, namun akhirnya tetap ia terima dengan alasan tidak enak hati pada Minho yang sudah mau berbaik hati meminjamkannya pakaian ganti.

"Terimakasih, Kak Minho," ucap Jeongin sebelum Minho keluar dari ruangan tersebut.

Mau tak mau Jeongin harus mengenakan pakaian milik Minho. Mungkin akan sedikit kebesaran, hanya sedikit sebab ukuran tubuh Minho dan Jeongin tak terlalu berbeda jauh.

Beberapa menit kemudian, Jeongin keluar ruangan dengan balutan pakaian milik Minho. Sebuah kaos putih sedikit kebesaran dan celana berwarna gelap, sebenarnya masih ada kemeja kotak-kotak milik Minho, namun Jeongin tidak memakainya. Mungkin di mata sebagian orang, Jeongin terlihat sangat menggemaskan saat ini, Minho dan Chan pasti setuju akan hal tersebut.

"Jeongin, uh wow!" Chan terkejut melihat penampilan Jeongin. "Kau terlihat... imut!"

Jeongin meringis. Ah, kenapa semuanya jadi memuji kalau Jeongin itu imut, menggemaskan, dan semacamnya. Padahal Jeongin merasa dia tidak seperti itu.

"Bagaima--"

Minho tidak jadi meneruskan kalimatnya. Jeongin di depannya berbeda dengan yang tadi. Jeongin terlihat imut, manis, menggemaskan, Minho jadi ingin memeluknya kalau tidak ada Chan di dekat mereka saat ini. Sebab Chan adalah pelindung nomor satu Yang Jeongin.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Tanya Jeongin kebingungan.

Woojin yang melihat kedua temannya tenggelam dalam pesona Jeongin pun buru-buru menyadarkan mereka. "Jangan banyak berkhayal! Kembali bekerja!"

Chan dan Minho cemberut setelah tersadar dari daydream mereka. Terpaksa mereka pun melaksanakan ucapan Woojin, daripada si koki andalan kafe mereka itu marah-marah.

Kepada Jeongin, pandangan Woojin melunak, "Jeongin istirahat saja dulu, aku buatkan cokelat panas kesukaanmu."

Jeongin membalasnya dengan senyuman, "Iya, terimakasih banyak, Kak Woojin."

"Sama-sama."

Jeongin duduk di salah satu kursi. Pikirannya kembali teringat pada kejadian tadi. Hyunjin ternyata tak seburuk yang ada di pikirannya sebelumnya. Meskipun masih enggan didekati, Hyunjin masih menerima kehadiran Jeongin di sampingnya tadi. Bahkan mereka duduk berdampingan di bus, dan tidur saling bersandar seperti yang ada dalam drama-drama yang sering ditonton Woojin dan Minho di televisi kafe. Dan tadi, Jeongin juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Minho saat pertama kali mereka bertemu. Yaitu, meminjamkan payung di kala hujan masih turun.

Jeongin menegakkan badannya. Sebuah ide terlintas dalam benaknya. Ide sebuah cerita tentang hujan dan payung serta kejadian tadi. Mungkin bisa menjadi referensi alur cerita visual novelnya.


~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang