×40°

2.2K 393 33
                                    

Hyunjin menghela napas kasar ketika membaca rentetan kalimat yang dikirimkan oleh Jeongin. Hatinya jadi gundah. Jeongin mencintainya. Jeongin masih berharap akan kehadirannya di kala waktu-waktu terakhirnya di Seoul.

Hyunjin baru membaca pesan Jeongin sekarang, waktu istirahat. Sedangkan pesan tersebut dikirim Jeongin tadi malam. Awalnya Hyunjin ingin mengabaikan pesan tersebut, namun entah kenapa dia tidak bisa melakukan hal tersebut.

Hyunjin merasa bersalah sekarang. Hati kecilnya menginginkan Jeongin tidak pergi jauh darinya. Dia ingin Jeongin terus berada di sampingnya selamanya. Tetapi Hyunjin tak mampu mewujudkan hal tersebut. Ia pun tak bisa memberikan apa yang terbaik pada Jeongin, seperti apa yang Minho lakukan.

Tidak. Kali ini Hyunjin tidak akan tinggal diam. Dia akan memberikan kenangan yang indah pada Jeongin, yang tidak akan pernah Jeongin lupakan seumur hidupnya. Hyunjin akan melakukannya, dengan caranya sendiri. Dengan cara Hwang Hyunjin.

Pemuda tampan itu kemudian berlanjut menuju ke kelasnya, sebab bel masuk sudah berbunyi.

Sejuta rencana sudah tersusun rapi dalam otak cerdas Hyunjin, hanya tinggal melaksanakannya saja dan tinggu jadwal mainnya saja.

***

Jeongin melangkah dengan lesu memasuki ruang kelas khusus yang diperuntukkan untuk siswa pertukaran pelajar. Lagi-lagi dia harus terjebak dalam ruangan dimana dia harus menghabiskan waktu bersama buku-buku dalam kegiatan yang disebut belajar.

Ya, dalam hari-hari terakhirnya di kota Seoul, Jeongin malah justru disibukkan dengan jam-jam pelajaran tambahan dan kegiatan yang diperuntukkan untuk siswa pertukaran pelajar.

Bukan kenangan indah yang dia dapatkan selama di kota Seoul, melainkan kenangan menyesakkan dada. Jeongin sedikit menyesali takdir yang mempertemukannya dengan Minho. Andai dia bisa memutar waktu dan mengubah takdir, Jeongin tidak ingin bertemu dengan pemuda Lee itu di kala hujan deras di halte dekat stasiun.

Sekarang Jeongin tak memiliki waktu untuk bertemu Hyunjin dan memperbaiki hubungan mereka yang sekarang sejauh matahari dengan bulan. Seolah takdir sengaja menjebaknya dalam situasi seperti ini dimana ia akan sulit bertemu Hyunjin dan mencoba meluruskan semuanya.

"Jeongin," sapa Jinyoung yang kebetulan melintas di koridor.

"Kak Jinyoung, apa kabar?" Jeongin balas menyapa.

Jinyoung tersenyum tipis, seraya mendekat beberapa langkah pada Jeongin, "Baik. Yah, setidaknya begitu. Kau sendiri?"

Jeongin menggigit bibir bawahnya. "Tidak terlalu baik, kurasa." Nadanya bicaranya bergetar seperti menahan sesuatu.

"Oh, maaf. Ini pasti karena saudara tiriku yang brengsek itu, tenang saja cepat atau lambat dia pasti akan--"

"Tidak," tukas Jeongin memotong omongan Jinyoung, "sudah cukup seperti ini saja. Aku dan Kak Hyunjin tak perlu lagi saling terhubung. Kami orang asing sekarang, setidaknya itulah yang kusimpulkan melihat caranya berperilaku padaku," lanjutnya dengan senyum tipis. Senyum yang memilukan.

"Oke..." kepala Jinyoung tertunduk. Dalam hati ia merutuki Hyunjin yang bahkan tidak melakukan apapun untuk mengembalikan hubungannya dengan Jeongin.

Sungguh, jika bisa Jinyoung ingin membantu memperbaikinya. Andaikan dia bisa. Andai saja. Jinyoung tak mampu, sebab yang mampu memperbaikinya hanyalah Hyunjin dan Jeongin sendiri. Mereka yang memiliki masalah, mereka yang harus menyelesaikannya.

"Kurasa cukup sampai di sini saja," lirih Jeongin memainkan ujung dasinya. Sesak kini mulai memenuhi dadanya. Rasa sakit itu kembali.

"Andaikata aku mampu membantu, aku pasti akan membantumu. Sayangnya, tak ada yang mampu kuperbuat untuk membantu kalian untuk saat ini. Aku bahkan bingung apa ynag terjadi di antara kalian." Jinyoung kembali bersuara, sambil mendongakkan kepalanya memandang langit-langit koridor kelas. "Tapi aku yakin, Hyunjin pasti selalu memikirkanmu. Anak itu, dia sangat peduli padamu tak mungkin baginya untuk menghindar darimu. Kalaupun dia menghindar, suatu saat nanti dia pasti akan kembali."

Jeongin tidak menjawab. Pemuda manis asal Busan tersebut hanya diam, menikmati sesak yang mulai memenuhi dadanya, bak ada ribuan jarum tak kasat mata yang munghujam hati terdalamnya.

"Aku duluan, ya," ucap Jinyoung sebelum beranjak pergi dari hadapan Jeongin. "Dengar ya, jangan jadikan kejadian selama enam bulanmu di Seoul ini sebagai kenangan buruk. Kuharap kau selalu mengingat kami yang pernah hadir dalam hidupmu di rekaman memori riwayatmu di kota Seoul."

Jeongin mengerjapkan matanya sebentar, kemudian tersenyum tipis. "Tidak. Aku tidak akan melupakan kalian."

Meskipun ada orang yang hadir awalnya membawa suka, namun nyatanya dia juga membawakan luka.

Begitu si pemuda Bae hilang dari pandangan Jeongin, segera siswa berbehel itu memasuki ruang pembelajaran.

Sibuk belajar dan melupakan sejenak masalahnya dengan Hwang Hyunjin.

***


"Bagaimana, Kak?" Tanya Jisung berharap usaha mereka akan berhasil.

Changbin membuang napas kasar, "Sia-sia. Tidak ada perubahan, sebanyak aku memperbaiki ataupun memodifikasinya. Kecacatan dalam video game kita tidak dapat dihilangkan."

Felix dan Jisung saling berpandangan kecewa. Mereka sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki kecacatan dalam video game buatan mereka, namun hingga detik ini mereka belum menemukan titik cerah.

Changbin benar-benar sangat panik jikalau masalah ini tidak dapat diselesaikan, apalagi hari dimana video game mereka akan di-launching secara resmi semakin dekat, lima hari lagi lebih tepatnya.

"Aku belum menguasai kode pemrograman untuk memperbaiki kecacatan dalam video game kita, setahuku sejauh ini hanya Seungmin yang menguasainya," lanjut Changbin menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya. Lelah sudah menjalat di pikirannya. Semalam dia juga harus bergadang untuk memperbaiki kecacatan game visual novel mereka. "Rasanya hampir mustahil aku mampu memperbaikinya sebelum launching video game kita."

"Lalu kita harus bagaimana? Hari dimana kita meresmikan video game ini juga merupakan hari dimana Jeongin kembali ke Busan. Kita tidak mungkin memberikan kenangan buruk baginya dengan kegagalan video game ini bukan?" Kata Felix. Air mukanya tampak begitu khawatir.

Hening. Ketiganya hanyut dalam pikiran masing-masing. Ah, tentu saja, hari dimana launch video game mereka juga merupakan hari dimana Jeongin kembali ke Busan. Biar bagaimanapun seharusnya mereka mampu melakukan yang terbaik agar mampu membuat Jeongin senang.

"Bagaimana ini? Aku benar-benar sudah buntu ide." Jisung terduduk lemas.

"Aku juga tidak tahu, Ji," sahut Felix.

"Apa aku bisa membantu kalian?"

Atensi ketiganya kini tertuju pada seorang pemuda tampan yang berdiri di ambang pintu ruang khusus tim proyek game.

"Hwang Hyunjin?"

Lagi-lagi dia datang bak pahlawan.











~TBC~






a/n:

Special update for Jeongin birthday 🎉🎉

Special update for Jeongin birthday 🎉🎉

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cloudburst | hyunjeong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang