xxiv : hancur kemudian

9.6K 1.7K 73
                                    

berdiri di indonesia lagi, beruntung hidup sampai sini. capek jelas, tapi jungkook lebih pilih pesan ojek online ke rumah taehyung modal tanya jimin.

persis sama. rumah taehyung dulu juga selalu sepi, gak ada beda sama sekarang. tapi sepi kali ini bukan sepi yang pernah jungkook dapati setelah terakhir kali dia berdiri di rumah lama taehyung dengan raut kecewa.

bel ditekan, tapi gak ada buka pintu sama sekali. dua. tiga. empat. lima. tetap nihil respon.

taehyung sendirian, dengan kebiasaan stress berlebihnya. gak tutup kemungkinan buat taehyung lakuin hal-hal yang gak pernah mampir di kepalanya.

masih di depan gerbang cat hitam, raut panik dengan ponsel di telinga. berkali-kali telpon taehyung tapi gak ada jawaban, jawaban operator bukan yang jungkook mau.

"jungkook?"

dirinya diam. kaku. karena suara berat di belakang buat jungkook total abai sama suara operator di sebrang.

"jungkookie, kamu oke? brutal telfon lima puluh kali aku kira kamu ada apa-apa."

jungkook, dengan pakaian warna halus peluk taehyung yang pakai pakaian serba hitam. matanya mata sembab dan suasana berkabung luar biasa kental. taehyung kelabu.

"adek, kenapa?"

"cuma mau peluk, gak mau denger kamu ngomong."

yah, siapa yang siapa. harusnya taehyung yang nangis, bukan lelaki dipelukannya sekarang. seharusnya.




















"aku gak pernah tau rasanya hilang bunda, aku gak deket sama papa, tapi pasti rasanya tetep gak oke kalau mereka pergi. tapi kamu—kenapa gak nangis, atau apapun?"

taehyung yang duduk dan sandar di kepala ranjang dengan kostum yang ganti jadi sedikit berwarna di bagian hoodie, tatap jungkook di sofa kamarnya yang ngomong panjang lebar. "udah?"

"aku serius, taehyung. sepi sekali disini, nangis gak bakal buat kamu dicap bukan lelaki."

"gak semua harus pake air mata, jungkook." taehyung jawab slengean sambil lempar kulit kacang bawangnya ke arah jungkook.

"HSHSHSHS. kakak."

bahkan lihat taehyung yang ketawa sambil sesekali kunyah kacang di mulut buat jungkook hela napas, "kak taehyung,"

"iya, gimana?"

"please. stop."

"kita belum mulai, kamu langsung mau behenti?"

mereka diam, beberapa menit kemudian taehyung taruh toples kacang di nakas lalu dekati jungkook yang duduk di sofa, taehyung jongkok di depannya. "dek, kenapa?"

jungkook makin mau nangis. entah karena seberapa kuatnya topeng taehyung atau panggilan sederhana yang larut dikonvo serius mereka dulu, sekarang bisa jungkook dengar lagi.

"hei, kok nangis?"

makin deras, bahkan sesegukan.

ternyata, taehyung masih sama, masih taehyung-nya; yang panik setiap jungkook nangis, yang pintar sembunyi di topengnya sendiri.

"kenapa, jungkookie? mana yang sakit?"

yang peluk jungkook setiap lelaki itu nangis.

"aku sakit liat kakak pura-pura kaya gini."

dan jungkook masih sama; adalah jungkook yang cengeng setiap taehyung terlalu pura-pura sama perasaannya.

"kabulin permintaan aku yang pertama,"

"sure. apa?"

"udahan, copot topeng kakak. aku perlu tau sehancur apa kakak kali ini."

taehyung diam, jungkook tatap lelaki di depannya telak di mata. "kuat sendirian itu capek, nata."

taehyung menyerah.




































notes.

still read this, anyone?
so sorry bout long late update :(
fortunately, i found my mood
for continuing this one, aye!






















ᝰ. direvisi

ex › tk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang