#19 Bersenyawa

131 11 0
                                    

sediain bibirnya buat senyum-senyum sendiri😂
--


Hai senja, senyawaku kembali berkumpul bilaku melihatmu. Namun hanya jika melihatmu, selanjutnya tidak.

Senja terus mengurung hari yang terus ku lewati, rasa kebingungan, rasa sakit, rasa ingin berhenti mengejar, namun tak mengerti bagaimana berlakon dengan baik.

Rasanya ingin berhenti jika setiap hari melihat rasa ketidaksukaan dirinya terhadapku. Dia tidak menunjukan tapi aku merasakan.

Siapa aku yang sangat mengenal dirinya lebih dari aku mengenal diriku sendiri.

Aku terus menatap senja itu, sampai telpon ku berdering untuk ketiga kalinya tak ku angkat.

Satu menit yang pertama, satu menit kedua aku masih ingin menikmati menit yang indah bersama senja.

Ku lihat terdapat nama azhar yang kutulis dirinya azhar subuh, sedetik aku tersenyum mengingat saat kami masih bisa bercanda seperti dulu.

"Hallo, assalamualaikum." Kalimatku mengawali.

"Waalikumussalam, mau kerumah sakit?" tanyanya dengan nada sedikit canggung menurutku.

"untuk apa?" tanyaku.

"sudah sembuh?" tanyanya balik.

"Aku gak papa." Jawabku sedikit memerah pipiku saat dirinya menanyai keadaan ku. Ah sudahlah, sudah sewajarnya azhar kan seorang dokter yang pastinya mempunyai jiwa penolong.

"Oh-ya sudah. Asaalamualaykum." Sambungan telpon langsung terputus sebelum aku menjawabnya.

Apa ini rasa bahagia? Apa aku masih bisa berbahagia.

Ya allah sang pemilik kebahagiaan, aku bahagia jika engkau mengasih ku kebahagiaan dengan takaranmu bukan takaranku. Jadikanlah aku jiwa yang selalu banyak bersyukur di setiap keadaan.

Segala puji bagi allah di setiap keadaan.

--

Malam ini fahri akan pergi meninggalkan rumah azhar. Ayah sudah sibuk membantu fahri menaikkan barang-barangnya ke dalam bagasi taksi. Sedangkan aku dan ibu hanya menjadi penonton.

Azhar belum pulang, sepertinya jadwal pulangnya malam ini akan sedikit ngaret.

"Om, tante, windara, saya banyak mengucapkan terimakasih ya. Udah ngerepotin-" ucapan Fahri terputus akibat mobil azhar yang sudah terparkir.

Azhar lalu keluar dari mobil, dan memuluk temannya itu.

"Bro, lu udah mau pulang aja."


Sambil melepaskan pelukannya fahri mengatakan, "Wetss, iya lah gue harus balik,bro. Makasih banget ya tumpangannya."

"Ya elah pake makasih segala." Fahri hanya tersenyum.

"Buat om, tante makasih banyak yah sekali lagi saya makasih banget banget deh, apalagi windara selalu buat kopi saya, makasih yah windara." Fahri tersenyum kearahku.

Aku membalas senyumnya, "Sama-sama mas."

Fahri pun segera menaiki taksi dan pergi meninggalkan kami.

Menurutku fahri orang yang sangat baik dan dewasa, yah walaupun dari dandanannya sangat bertolak belakang. Waktu pertama kali ia datang ke rumah, ia memakai anting di telinganya seperti preman pasar. Namun ayah menasihatinya, dan lihatlah memang jurus ayah kalo menasihati paling jago.

Kini ada sepasang mata yang terus menatapku, entah apa alasannya. Namun tatapannya membuatku salah tingkah sendiri.

"Bunda makanan udah diangetin?" tanyaku kepada bunda agar tidak terlalu canggung.

"Belum, kamu angetin yah buat azhar makan."

"siap, bunda." Aku memberikan jempolku.

Aku berjalan ke arah dapur, tanpa kusadari azhar ternyata berada di belakangku.

"Mau makan?" tanyaku ragu serta canggung.

Azhar hanya menaikan kedua alisnya bertanda iya.


"Mesti diangetin dulu, tunggu sebentar mau? Eh kalau enggak mandi aja dulu. Nanti kalau udah siap aku panggil."

"Nanti saja." ucapnya singkat. Dan sekian kalinya aku bertanya kepada diriku sendiri, mengapa dia menatapku terus?

Satu menit, dua menit, sampai lima menit tak ada obrolan diantara kita. Aku yang masih serius dengan masakan tak terlalu risih sebenarnya namun lama-lama menjadi risih dan canggung.

"Siapa yang masak?" tanyanya mencairkan suasana.

"Bunda." Jawabku sambil menaruh makanan yang sudah selesai ku panaskan.

"Oh bunda, kirain kamu." Jawabnya tanpa memandangku lagi.


Aku melangkahkan kakiku ingin berangkat ke kamar. Aku takut mengganggu azhar. Namun saat kakiku ingin melangkah ke empat kalinya azhar justru memanggilku.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Ke kamar." Ucapku grogi sedikit.

"Sini aja, emang kamu udah makan. Temenin aku." Ya Allah apa doa ku kembali kau wujudku, itu siapa yang tadi berkata seperti itu? Azhar atau hanya ilusiku?

"Aku udah makan." Jawabku terbata bata.

"Yaudah temenin aja."

Aku beranjak kembali menuju ruang makan dan menemaninya. Aku duduk di hadapannya, dia memakan makanannya sangat lahap seperti habis tempur seharian.

Aku sangat canggung sekali berhadapan dengannya, aku hanya mengetuk ngetuk meja dengan jariku sambil bersiul siul tidak mengeluarkan suara.

"Yakin udah sembuh?" di sela suapannya ia bertanya kembali tentang keadaanku.

"Alhamdulillah."

"Syukur deh, nanti jangan tidur di lantai lagi." Aku hanya mengangguk dan rasanya jantungku ingin meledek saat ia berkata seperti itu.

Senyawa ku kembali berkumpul saat kau sendiri yang ingin mengumpulkannya, terimakasih, banyak banyak terimakasih.

--

Simpan senyummu di part selanjutnya, tapi jangan umpat senyummu di kehidupan nyata, Ok bye🖤

[WIND's 2] MUHASABAH CINTA WINDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang