#20 Mengubah Berubah

154 12 1
                                    


"Windara bangun!!" azhar membangunkan isterinya yang masih bersikukuh untuk tidur di lantai yang beralaskan karpet. Cukup terjadi keributan panjang tadi malam saat windara tak ingin tidur di atas kasur.

"Aku udah sholat subuh." Ucap windara dengan suara serak karena bangun tidur.

"Iya aku tau, orang kita sholat bareng." Windara menatap azhar, dia lupa kalau tadi shubuh azhar juga membangunkannya untuk sholat berjamaah.

"Lalu?" ucap windara bingung.

"Kamu minum obat dulu, ada obat yang harus diminum sebelum makan. Takutnya nanti kamu lupa."

"Ya, nanti saja." Ucap windara dengan menutup mukanya kembali bersama selimut.

"Hey, sekarang." Azhar menarik selimut.

"Nanti aja jam 7."

"Sekarang!"ucapnya tegas.

Sedari dulu memang windara orang yang pantang terhadap obat, dia sangat tidak bisa bertoleransi dengan hal pahit.

"Cepat bangun, minum obatnya dulu agar cepat sembuh." Azhar berkata seperti merayu anak berusia lima tahun.

"Aku bisa ngelakuinnya sendiri zhar, tapi nanti perutku eneg." Tegas windara.

Azhar menatap mata windara dalam, detik berikutnya piring yang berisi obat yang sudah azhar siapkan serta air di gelas ia taruh dengan rasa kesal sampai air itu berantarakan di atas meja.

"Terserah." Ucap azhar dan melenggangkan kaki keluar kamar.

Windara hanya terpaku dengan sikap azhar, apa dia marah?

Saat windara ingin menyusul azhar, ternyata azhar juga berada di depan pintu. Ia menatap windara sebentar dan tidak memperdulikannya berikutnya.

"Kamu udah sarapan?" tanya windara.

Tidak ada jawaban dari bibir azhar.


"Zhar, udah sarapan belom. Aku siapin yah."

"Udah minum obat?" tanyanya balik. Windara hanya menggeleng.

"Minum obat windara, biar sembuh." Ucap azhar manis memperlakukan istrinya.

"Aku gak suka obat."

"Rasanya akan pahit sedikit selanjutnya tidak." Tegasnya.

"Aku udah sembuh!" tegasku.


Sepertinya azhar sudah tak mau berdebat dengan windara, ia memutuskan untuk cepat ke rumah sakit.

--

Aku bahagia, namun tidak dirinya. Dirinya sangat berduka, kehilangan orang yang ia cinta dan sungguh aku juga terluka melihatnya terluka.


Tak seharusnya rasa ini ada, bila ada seharusnya aku cepat-cepat menghilangkannya namun aku makin menyuburkannya.


Apa yang harus ku lakukan tuhan? Berhenti atau terus melangkah dengan peta orang lain.

-Windara-


--

Entah ada angin dari bagian mana, sikap azhar kini berubah sekali. Ia lebih memperhatikanku, ya walaupun hanya dengan kondisi badanku saja bukan hatiku.

Sudah tiga kali hari ini azhar menelponku hanya untuk bertanya sudah sembuh atau belum? Sudah minum obat belum? Sudah makan belum?

Aku merasa dirinya sudah hadir kembali di kehidupanku, ya walaupun kurasa itu hanya profesional entah sebagai seorang suami atau seorang dokter yang merawat pasiennya.

Malam pun cepat datang, Azhar pun sudah pulang. Hari ini terlihat sangat lelah, tapi ia tetap bertanya bagaimana kondisiku.

"Kamu tidur di kasur yah nanti. jangan di lantai lagi." Ucapku mencairkan suasana.

"Kamu juga tidur di kasur." kata azhar. Aku tidak mengerti dengan ucapannya dia bertanya atau menyuruh.

"Pokonya kamu nanti tidur di kasur." Azhar terus fokus pada meja belajarnya dengan laptop yang selalu ia tatap sedari tadi.

"Iya kamu juga." Kali ini ia berbalik menghadapku.

"Kita tidur bareng?" entah mengapa aku mengutuk diriku sendiri dengan pertanyaan itu. Apa jawaban azhar nantinya.

Azhar hanya menggigit bibir bawahnya dan matanya tak lagi melihatku. Ia seperti terlihat berpikir untuk tidur bersamaku.

"Kita udah ijab kabul kan? Ya berarti boleh lah tidur bareng." Ucapnya santai. Kini aktifitasnya merapihkan barang barang kerjaannya dan berjalan mengarahku yang berada di pojok kasur.

Jantungku berdebar sangat kencang, pikiranku tak bisa ku artikan.


"Udah cepet tidur, kalo gak mau minum obat harus istirahat yang cukup." Dia membantuku merebahkan badanku di kasur dan kali ini tubuhnya dia rebahkan di sampingku.

"Sorry." Kalimat itu membuatku mengerutkan keningku sendiri.

"Maaf kalau aku tidur di sampingmu, pasti risih kan?" tanyanya.

Aku takut zhar, saat aku menaruh hatiku semakin dalam aku takut tak akan bisa bangkit lagi. Mengapa disaat aku ingin menyerah, kau malah berusaha berjuang.

Aku kembali tersadar saat azhar memanggil namaku, aku bengong melihat kelakuan azhar yang berubah 180 derajat.

"E--nggak risih kok, eh risih, eh gak juga. Ah gak tau deh." Aku terlalu gugup menjawab pertanyaan itu.

Azhar hanya tertawa melihatku.


Ia menyentuh pucuk kepalaku dan mengusap rambutku.


"Good night."

Mengapa manis sekali sikapmu sampai aku tak mengerti apa arti ini semua. Belas kasihan atau memang mungkin hanya belas kasihan.

--
Jadi gimana nih gengs, belas kasihan atau memang cinta yang udah mulai tumbuh.

cinta itu tumbuh bukan datang.


[WIND's 2] MUHASABAH CINTA WINDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang