#30. Kamu Jahat

141 8 2
                                    

Tadi pagi windara dapat telpon dari Amerika. Ternyata itu papah dan mamah, mereka akan pulang hari ini.

Windara telah bercerita kalau Ia telah mengandung, sontak Papah dan mamahnya kembali ke Jakarta walaupun kerjaan disana belum selesai.

Windara sangat senang sekali, dia juga berniat Ja sendiri yang akan menjemput mamah dan papahnya di bandara nanti sore.

"Windara, nanti wijaya sama sukma mau datang ke jakarta?" Tanya Bunda.

"Iya bunda, papah mamah nanti siang datang." Windara menjawab dengan senyum sumringah. Ternyata azhar memperhatikan senyuman itu, sedikit bahagia Azhar melihatnya.

"Siapa yang akan jemput? Kamu zhar?" tanya Ayah kepada Azhar.

"Emm, Aku sendiri ko ayah." Windara dengan cepat menjawab.

"Bareng Aku juga, yah." Azhar menyahuti. Windara hanya menatapnya sebentar setelah ia mendapati jawaban.

--

From : Azhar subuh


Nanti jam berapa mau ke bandara?

To : azhar subuh


Insha allah jam 12

From : azhar subuh.


Tunggu yah ;)

Sedikit senyuman tergores di pipi windara. Dengan emot sekecil itu saja bisa membuat hati ini sedikit bahagia.

"Hallo, assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam, Dara."

"Sis, izinin aku yah. Aku kayanya gak ngajar deh, mamah papah ku pulang dari Amerika, Aku harus jemput mereka nanti siang."

"Wah, nanti aku sama Mas Fadlan boleh main kerumah kamu ya. Nanti malam."

"Boleh dong, main aja. Biar kamu kenalan sama mamah dan papah."

"Oke deh Windara." Setelah mengucapkan salam pun sambungan terputus.

--

"Hallo Azhar."

"Iya, kenapa Hilya?"

" Zhar, aduh, duh." Teriakan kesakitan dari Hilya di balik telpon.

"Kamu kenapa Hilya?"

"Perutku sakit sekali Zhar, sakit sekali."

"Kamu kenapa?"

"Gak tau Zhar, kamu tolongin aku dong. Sakit banget Zhar." cukup lama Azhar mengambil keputusan karena Ia sudah ada janji dengan Windara untuk mengantarnya ke bandara.

"Ya Aku kesana sekarang." Tanpa pikir panjang Ia lebih mementingkan Hilya. Entah dia datang sebagai dokter atau datang dengan hatinya yang masih mencintai Hilya

--

Sudah pukul 12 lewat 5 menit Azhar belum datang juga, dan kondisi Windara juga sedikit lemah. Kehamilannya seperti memaksanya selalu terus muntah setiap saat. Dia seperti sudah tidak memiliki tenaga saat ini.

Panggilannya terus diabaikan oleh Azhar.


"Sebenarnya Azhar kemana sih, katanya mau jemput mamah dan papah."


Disisi lain windara terus gelisah ingin cepat bertemu dengan kedua orangtuanya. Di rumah juga sedang tidak ada orang, ayah bunda dan bibi sedang menghadiri pengajian komplek sebelah.

"Hallo, Mah. Mamah sama papah sudah sampai?"

"Iya sayang, baru aja sampai. Baru mau mamah telpon."

"Mah, maaf yah Windara gak bisa jemput kayanya. Azhar juga lagi sibuk di rumah sakit. Kepala Windara pusing banget, mah."

"Ya Allah, sabar yah nak memang kehamilan dibulan awal itu kaya gitu. Mamah sama papah naik taksi aja, sayang. Tunggu yah di rumah."


Tut tut tut..


Panggilan mendadak terputus.

"Yah handphone mamah lowbat, Pah." Ucap mamah.

"Yaudah ayo, cepet kita cari taksi."

--

"Pak ko arah nya beda sih?" tanya Ayah kepada supir taksi.

"Saya mengikuti GPS, Pak."

" Lebih dekat lewat kiri, Pak."

"Sudah lah yah, ikuti saja." mamah menenangkan papah.

Bukk... mobil tersebut menabrak sebuah pohon. Darah pun bercucuran di kepala keduanya.

"Pah, kamu gak papa kan." tidak melihat pergerakan dari papah, mata suaminya itu terus terpejam. Ia meminta tolong dengan suara lemas. Namun apadanya jalanan sangat sepi. Anehnya supir pun tak ada keberadaannya dimana.

Disisi lain Fadlan bersama Siska baru saja pulang dari makam teman SMA Siska.

"Dengan takdir yang tak bisa di lawan, inilah akhir kehidupan. Semua pasti akan sedih bukan?" Ujar Fadlan yang menceritakan temannya yang baru saja meninggal.

"Kehidupan dan kematiaan memang sudah tidak bisa ditawar tawar lagi yah, Mas."

"Itulah fungsi allah membuat kematian, agar kita senantiasa selalu ingat ada batas dalam kita melakukan sesuatu yang Allah tidak sukai, akan ada akhirnya semua di pertanggung jawabkan."

"Aku gak salah pilih calon suami." Cengir Siska.

--

Sampai sekarang mamah dan papah belum juga datang, ayah dan bunda dan bibi sudah pulang dari pengajian.

Windara terus gelisah, telpon mamah dan ayah tidak bisa di hubungi.


Telpon Windara pun berdering, Ia segera mengangkatnya.

"Selamat sore, dengan Ibu Windara?"

"Ya, Saya sendiri."

"Kami dari pihak Rumah Sakit Atmawati ingin mengabarkan bahwa Bapak Wijaya dan Ibu Sukmawati telah dibawa kerumah sakit dalam keadaan meninggal."


Windara sontak menjatuhkan telponnya dan dia tersungkur ke lantai menangis sejadi jadinya.

"Kenapa Windara?" Ucap Bunda.


Windara masih terus menangis sambil menutup mulutnya.

"Ada apa Windara?" ayah kini semakin khawatir.

"Pa-pah ma--mah meninggal kecelakaan." Semua sontak terkaget.

"Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Sabar sayang." Bunda memeluk tubuh windara erat.

--

Dua orang yang aku tunggu kedatangannya hari ini kini sudah datang dengan nyaawa yang tak lagi ada. Mengapa harus seperti ini? Kenapa kau harus ambil keduanya? Apa kau juga ingin aku kembali padamu, wahai tuhan?

Aku terus memeluk jasad kedua orang yang kusayangi itu.


Senja sudah makin melihatkan pertunjukannya, indah namun kini rusak sudah senja itu. Aku tak mau lagi menikmati senja, semua telah hilang.

Mah, Pah.. mengapa pergi, aku ada disini bersama janinku. Apa kalian tidak ingin menyentuh nya.

Air mata terus ku cucurkan dari mata ku. Aku tak peduli siapa yang datang sedari tadi, mau pengusaha papah, teman arisan mamah, pejabat sekalipun aku tak peduli.

"Windara?" seseorang mengelus pundakku. Aku menoleh kepadanya.

"Abang,,," aku memeluknya erat.

"Jangan sedih, mereka akan tenang."

"Ini jahat, bang kenapa harus keduanya." Ali tidak ingin menjawab pertanyaan Windara. Ia terus memeluk tubuh windara karena ini yang dibutuhkan windara bukan hanya sebuah jawaban.

Windara terus merenung di samping jasad kedua orang tuanya. Pikirannya kacau, mengapa tuhan jahat? Apa salah nya?

"Assaalamualaykum, Windara." Windara tidak menjawab salam dari suara yang selalu Ia ingat dan Ia rindukan.

Ini semua salah kamu, Zhar. kemana kamu, seharusnya kita yang menjemput papah dan mamah. Seakan tatapan windara mengisayaratkan seperti itu.

--

Azhar yang ingin memeluk windara langsung di tepis oleh tangan Windara.

Semua sudah siap untuk proses pemakaman. Windara masih terus menangis saat sampai pemakaman, Ia ditemani Siska dan Intan.

Azhar salah satu yang masuk ke dalam kuburan untuk segera menguburkan mertuanya.


Windara sangat histeris dan terus menangis saat kedua orangtuanya di masukkan ke dalam tanah. Sangat tak tega sekali saat wajah kedua orangtuanya tertutup oleh tanah.

Tanah pun sudah mengunduk melebihi permukaaan. Inilah akhir kehidupan, tak ada yang tahu.


Kali ini Windara sudah tak lagi menangis sehisteris di pemakaman. Ia masih terus duduk di pojokan dengan kepala yang menunduk ke lutut.

"Windara, ganti baju dulu yuk." Ucap bunda.


Windara tidak menjawab.

Sudah 2 jam windara tak bergerak dari posisinya, tatapannya kosong. Saat waktu azan berkumandang ia menagis lagi dan menutup kupingnya seakan Ua tak mau mendengar apa yang selama ini senandungan terenak menurutnya.

"Windara sampai kapan kamu seperti ini?" windara menatap Azhar secara intens.

"Sampai aku mati seperti orangtua ku."

"Jaga mulut kamu. Ka--."

"Apa? Kalau aku mati bukankah kamu menyukainya. Kau bisa menikahi dirinya." Ternyata sedari tadi Azhar memang datang bersama Hilya.

"Terserah kamu windara. Tapi kamu gak boleh melupakan kewajibanmu sebagai muslim kamu harus tetap sholat."Windara hanya terus menggeleng.

Azhar berisyarat kepada Hilya untuk pergi meninggalkanya berdua.


"Sholat dulu, Aku yang akan menjadi imammu." Ucap Azhar.

"Apa harus dengan orangtuaku meninggal kamu baru mau peduli denganku. Aku gak butuh lagi itu semua. Pergi kamu." Windara berteriak.

"Tapii- Windara." Seseorang menyentuh pundak Azhar agar menuruti perintah windara.

"Pergilah, biar aku yang mengurus adikku." Suruh Bang Ali.

"Dara, ini bukan ajaran papah sama mamah. Sebenarnya apa yang kau mau? Apa marah mu itu membawa mereka kembali? Apa semua akan normal kembali? Tidak, ini sudah menjadi takdir Allah. Apa kamu masih mau terus nyalahin takdir Allah. Apa kamu mau Allah tambah marah denganmu?"


Hati windara seketika melelah, apa marahku bisa membawa kedua orangtuaku kembali? Kenyataannya tidak, benar inilah takdir Allah yang sedari tadi aku terus menghakiminya. Ya Allah ampuni aku.

"Antarkan Aku ke kamar bang, Aku ingin sholat." Dengan derai airmata windara berucap.

"Aku akan mengantarmu."

--

GO VOTE BEYBB, ASSALAMUALAIKUM.


[WIND's 2] MUHASABAH CINTA WINDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang