#31 Pedih

127 10 0
                                    

Mengapa saat sedih saja, kau mengigat Allah. Bukan kah Allah yang memberimu rasa kebahagiaan itu.

“ Kamu makan dulu yah.” Lembutnya suara itu yang berasal dari mulut seorang Azhar.

Windara hanya menatapnya ragu, sudah 5 hari semenjak ayah dan ibu meninggal Azhar memang tidak kemana-mana bahkan dia juga mengambil cuty dari rumah sakit untuk menemaniku.

“Windara, Aku ingin meminta maaf atas kesalahanku selama ini. Aku banyak menyakitimu—“ ucapan Azhar terhenti saat handphone-nya berdering dan bertengger nama Hilya disana. Windara sempat melihatnya.

“Angkat saja.” Suruh Windara.
Kondisi Windara sudah semakin tenang, Ia menerima bahwa ini adalah takdir Allah yang sudah tidak bisa ditawar, dia juga sudah memutuskan sesuatu yang sedikit lagi akan berdampak pada masa depannya.  Semoga keputusan ini Allah ridhoi.

“Maaf yah.” Ucap Azhar. Windara segera merebut mangkok berisi bubur dari tangan Azhar.

“Aku bisa sendiri, kamu mandi saja lalu ke rumah sakit.”

“Aku masih cuti.”

“Untuk apa?”

“Merawatmu.” Singkatnya.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kamu ke rumah sakit saja.”

Azhar mengangguk patuh.

--

Di rumah sakit Azhar sengaja dari tadi dirinya tak menjawab pesan atau pun telpon dari Hilya. Ia ingin merehatkan hati dan pikirannya saat ini.

Ia sadar terlalu banyak Ia menyakiti windara padahal Ia lah isteri sah-nya. Namun Hilya juga masih perlu bantuannya.

Entah mengapa kini hatinya sangat condong ke Windara, Ia selalu gelisah akan keadaan Windara. Sedari tadi Ia me-whatsapp Windara, namun tidak ada jawaban darinya.

Tapi kekhawatirannya ditutup saat tadi ia menelpon dan di jawab oleh windara. Ia bilang kondisinya baik baik saja dengan nada suara yang masih lemas.

Ini benar benar perasaan yang sangat dilema di hatinya, siapa yang akan Ia dahulukan Windara atau Hilya.

“Jika kamu meyakiti hati perempuan, sama saja kau menyakiti belahan jiwa ayah yaitu ibumu.” Kata kata ayah selalu terngiang di dalam pikirannya saat ini. Terutama saat waktu Ia dan Windara masih sma, bahkan Azhar menonjok temannya sendiri untuk melindungi Windara saat di bully, tapi lihatlah sekarang dirinya seperti tak punya pendirian yang kokoh seperti waktu dulu.

Tok tok.

“Selamat siang, Dokter Azhar ada jadwal operasi.” Panggil Suster.

Astagfirullahal'adzim. Baik, Sus. sebentar lagi saya ke ruang operasi.”
Azhar sudah memutuskan akan ada satu yang Ia pilih, hatinya tidak mau berbagi untuk siapa pun harus ada hati yang Ia tinggalkan dan Ia pilih. Tapi siapa Hilya atau Windara.

--

Azhar sudah dengan keputusannya mungkin malam ini Ia harus segera berbicara empat mata kepada Windara, karena ini juga menyangkut hatinya. Ia tidak ingin hati Windara terlalu terluka akan dirinya.

“Windara?” panggil azhar.

“Assalamual'aikum.” Windara mengoreksi Azhar.

“Waalaikumussalam.” Windara terlihat sibuk dengan pemasangan gorden di kamarnya. Ia ingin menggantinya dengan suasana gold sesuai kesukaan Azhar. Gorden biru yang dulu sempat di perdebatkannya dengan azhar karena Azhar tidak cocok pun kembali Ia lepas.

“Sini aku bantuin.”

“Makasih, mas.”

“Sama sama.”
Kini windara berada di atas sofa yang baru bertengger di kamarnya, diikuti dengan pergerakan Azhar.

“Aku ingin berbicara sesuatu padamu?” Ucap Azhar serius.

“Aku juga. Tapi boleh tidak kali ini aku duluan. Waktu itu kan kamu duluan tuh.” Azhar mengingat di mana Ia meminta izin kepada Windara untuk menikahi Hilya.

“Oh iya waktu itu kamu mau ngomong apa?’

“Mangkanya aku duluan.”

“Ya silahkan.” Azhar mempersilahkan.

“Segala puji bagi allah di segala keadaan. Aku sangat bersyukur aku memilikimu, kamu menuntunku, kamu menjagaku.—“

“Jangan berlebihan.” Potong Azhar.

“Intinya Aku sangat berterimakasih padamu, Hemm. tentang yang waktu itu aku pengen cerita itu tentang... sesuatu yang menurutku penting, tapi tidak tahu denganmu.”

“Apa itu?” tanyanya heran.

“Kamu akan menjadi seorang ayah.”

“Kamu hamil?” Tanya Azhar kaget.

“Sudah masuk 3 bulan, yasudah cuman itu aja. Selanjutnya masalah perizinanku, Aku mengizinkamu dengan syarat--- ”

Windara menarik napas dalam. “Cukup dengan ceraikan Aku.”

“Apa? Cerai, kamu hamil aku ceraikan. Kamu gila, Aku senang banget denger kabar ini. Tapi aku gak akan menceraikan kamu sampai kapan pun.” Tegas Azhar

“Kamu bisa menceraikanku setelah Aku melahirkan. Jadi gak perlu sungkan, mas. Aku yang akan urus surat perceraiannya nanti.”

“Enggak bi--- ” Omongan Azhar terputus.

“Oh iya mas, kayanya selama ini kamu risih sekamar bersamaku. Aku pindah kamar ke depan saja yah, gordennya sudah Aku ganti menjadi warna kesukaanmu. Semoga kamu bisa tidur nyenyak mulai malam ini. Makasih telah menemaniku.” Windara pergi dengan membawa selimut dan gorden biru kesayangannya.

--

'Kenapa Windara kamu berhenti ketika aku ingin memulai, sudah lelahkah kamu? Seberapa sering kau terluka terhadapku. Aku minta maaf Windara, ini semua salahku.' Kini tangis keluar dari mata Azhar sendiri. Sesal terus merutuki dirinya.

Aku tak habis pikir dengan keputusan isteriku, ya dia isteriku yang baik namun Aku bukan suami yang baik. Aku tak menunjukkan sikap suamiku bila di hadapannya.
Mengapa disaat Aku mencintaimu, kau tak lagi ingin mencintaiku.

--

Windara terduduk di bawah pintu, sakit benar-benar sakit hatinya. Keputusan ini bukanlah main main ini membawa pengaruh juga terhadap anak nya nanti. apakah Azhar mau menerima anak ini atau anak ini akan senasib denganku.

Windara mengelus perutnya
‘sayang nya ummi sampai kapanpun jika ada yang menyakitimu ummi gak akan terima, sekalipun itu abi mu sendiri. Ummi akan menjadi penopang disetiap kau mendapati masalah, yang kuat yah sayang di rahim ummi, kita bareng bareng tumbuh menjadi berlian yang berkilau sampai sekeliling kita mampu melihat kekilauan kita’

[WIND's 2] MUHASABAH CINTA WINDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang