"Aku hamil Theo" kata wanita itu, pria di depannya yang menyaksikan serta mendengar hal itu membatu. Tatapannya menjadi buram, ia berusaha mencerna apa yang wanita itu katakan.
Sungguh, ini sangat mengejutkannya.
"Kenapa?" jawabnya terbata.
Wanita itu menatapnya seakan dia adalah makhkuk paling tolol. Pria itu bertanya seakan janin yang ada di dalam dirinya adalah hasil improvisasinya sendiri. Sungguh bodoh.
"Tentu saja itu karena kau, dasar bodoh!" ujar wanita itu. Ia tidak terlihat menuntut, namun tatapannya seakan meminta kejelasan nasibnya. Bagaimanapun janin di perutnya bukan hanya miliknya, bukan karena perbuatannya sendiri. Ia tidak ingin salah mengambil langkah dengan bertingkah sendiri.
"Tapi.. aku hanya melakukannya sekali" bela pria itu. Tatapannya masih limbung, hatinya masih bimbang.
"Kau melakukannya sekali namun tanpa pengaman dan mengeluarkannya di dalam" jelas wanita itu. Pria itu limbung lagi, tatapannya jatuh pada perut wanita itu. Memang masih rata, seperti tidak ada yang terjadi di dalam perut itu. Tapi di dalam perut itu ada seorang janin yang hidup.
"Kau yakin itu aku?" tanyanya lagi. Berusaha untuk mengelak, ia masih tidak percaya bahwa coba-cobanya menjadi buah yang pahit untuk di telan.
Wanita itu menghela nafasnya, ia mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya pelan.
"Kapan terakhir kita bertemu Tuan Sempurna?" tanyanya. Pria itu menimbang, mencoba mengingat.
"Sekitar satu setengah bulan?" ujarnya tak yakin. Wanita itu mengangguk, ia meletakkan cangkirnya dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya di atas meja, menatap pria di depannya lekat-lekat.
"Kau tahu aku seperti apa kan?" tuntutnya. Tanpa pria itu sadari ia mengangguk mengiyakan.
Ia tahu jelas siapa wanita di depannya. Wanita elegan dengan prinsip hidup yang kuat serta tegas. Wanita itu adalah wanita yang hanya punya satu alasan dalam hidupnya, jika ia melenceng tandanya ia bosan.
Theo tahu, sangat tahu. Wanita itu termasuk teman kuliahnya dulu. Wanita yang bersaing dengannya untuk mendapatkan gelar paling sempurna seantero kampus, walaupun wanita itu tetap kalah dengan Theo namun Theo tahu bahwa wanita itu begitu tegas, prinsipnya jelas, dan pandangan hidupnya luas.
Theo hanya bisa menimang apa yang akan dia lakukan.
Ia jelas tahu bahwa wanita itu hanya main dengannya. Tidak ada seorang priapun yang mau bermain dengan wanita itu sebelum mereka punya sesuatu yang jelas dan dapat di banggakan, bisa di bilang wanita itu adalah pemilih. Sangat pemilih, dan siapapun yang mau dengannya harus jelas pemikirannya.
Dan pria yang paling beruntung yang dapat bermain dengannya adalah Theo, pria yang mengalahkannya dalam gelar sempurna di kampus. Wanita itu tidak merasa tersaingi, ia malah merasa sangat penasaran dengan Theo.
Sampai insiden itu terjadi, mereka merasa bodoh satu sama lain. Menyalahkan diri sendiri dan bingung harus apa.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Theo lirih. Wanita itu memiringkan kepalanya, tubuhnya ia sandarkan di sandaran kursi dan tangannya mengelus permukaan rata perutnya.
"Aku akan melakukan apa yang kau mau, aku tahu kau seperti apa Theo. Jika kau mau, aku bisa menggugurkannya. Dan jika kau mau, aku akan melahirkannya. Tapi tidak merawatnya, aku masih sayang dengan jenjang masa depanku. Mengurus anak akan merusak jalan lurusku" jelasnya. Theo di buat linglung dalam keadaanya. Ia tersenyum getir, tangannya gemetar ketika meraih cangkirnya.
Ia menyesap kopi dalam cangkir itu hingga tandas, berpikir keras membuat tenggorokannya kering.
"Aku.. Aku.. " ia tidak tahu apa yang akan ia pilih. Wanita itu setia menunggu.
Pilihan yang Theo punya hanya dua, menggugurkan janin tidak bersalah itu atau membiarkan janin itu tumbuh dan merawatnya.
Theo merenung. Menimbang bagian mana yang harus ia pilih.
"Kau ingin aku menggugurkannya?" tanya wanita itu. Kepala Theo tergerak dengan spontan, menggeleng keras sambil memejamkan matanya.
"Lalu, kau ingin aku melahirkannya dan kau merawatnya?" tanya wanita itu lagi. Kali ini Theo terdiam.
Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia jelas tidak ingin janin tidak bersalah itu mati sia-sia. Ia ingin janin itu tumbuh dan melihat bagaimana rupa janin itu.
Apa itu tandanya bahwa ia harus membiarkan wanita itu melahirkannya walaupun ia harus merawat janin itu?. Tapi mengurus bayi tanpa pengalaman hanya akan menjadi mimpi buruk. Ia bahkan tidak memiliki adik, bagaimana ia tahu bahwa ia harus apa dengan seorang bayi.
Jika orang tuanya tahu maka ia harus menikahi wanita itu. Itu juga bukan pilihan yang tepat, karena ia tahu bahwa wanita itu tidak akan mau. Selain menghambat karirnya, itu hanya akan memperburuk keadaan mereka sekarang.
Mereka sudah nyaman dengan status bermain mereka. Tidak ada orang tua yang ikut ambil andil, bahkan kedua orang tua mereka tidak ada yang tahu hubungan yang pernah mereka mainkan.
Theo kembali di landa rasa menyesal dan ingin menguburkan dirinya sendiri ke dalam tanah. Ia masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pengalamannya minim, dan keadaan tidak menuntut apapun yang terjadi.
Ia makin stres, kopinya sudah habis. Tidak ada sesuatu yang dapat menjadi pelampiasannya.
"Jadi, yang mana pilihanmu?" wanita itu menuntut jawaban.
Wanita itu tahu isi kepala Theo sekarang. Partner bermainnya sebulan lalu itu terlihat kusut, mata sipitnya menekuk ke bawah, kacamatanya agak melorot ke bawah namun ia terlihat tidak perduli dengan itu, bibirnya agak bergetar, hidungnya berusaha memasok udara.
Pria yang beberapa jam lalu terlihat sangat segar dan tampan itu kini menjadi gembel dengan satu kalimat. Tangannya saling meremat dan kepalanya tertunduk dalam.
Gestur yang berusaha menarik paksa keputusan.
Wanita itu terlihat santai walaupun di dalam hatinya juga berkecamuk. Ia membulatkan tekatnya bahwa apapun yang dipilih oleh pria di depannya harus ia lakukan. Termasuk mengaborsi janin yang baru berusia 3 minggu itu.
Wanita mana yang tega bila hal itu terjadi, wanita itu juga tidak ingin. Begitu tahu bahwa gejala muntahnya tiap pagi adalah seorang janin yang baru tumbuh ia merasa senang dan bingung. Senang bahwa ia mempunyai seorang anak dan bingung harus di apakan janinnya itu.
Wanita itu juga berpikir ia masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Ia masih ingin menginjak masa keemasannya sendiri. Ia ingin menjadi wanita yang sukses lalu menemukan pria yang tepat untuknya dan menikah, memiliki beberapa orang anak dan hidup bahagia.
Tapi tidak sekarang.
Itu terlalu cepat untuk mereka berdua.
Theo kembali bimbang, namun hanya ada satu keputusan yang dia ambil. Ia harus tegas, seorang pria tidak akan menjadi plin-plan, begitupun dia.
Ia menegakkan kepalanya, mengabil nafas dalam dan menatap lekat wanita itu.
"Lahirkan janin itu, aku akan merawatnya"
Keputusannya bulat, dan tidak akan berubah.
TBC...
Ingatkan saya bila ada kesalahan dalam pengetikan..
Sekian, semoga kalian menikmati..
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...