PAPA [36] - 100 Years -

2.1K 249 6
                                    

"Selamat tinggal sayang, sore nanti Papa akan menjemputmu" Ujar Theo seraya mengecup dahi bayinya lalu melambai ketika akan berlalu dari muka daycare. Sang suster yang menggendong Ariel menggerakkan tangan Ariel untuk membalas lambaian sang Papa sambil bergumam, "Selamat tinggal Papa" dengan suara yang diperlemah agar menyerupai suara anak. Theo terkekeh melihat Suster Diana yang melakukan hal itu.

"Suster, tolong jaga Ariel ya. Aku akan menjemputnya seperti biasa" kata Theo seraya mengenakan sepatunya kembali, dan memberi anggukan sopan pada suster yang menjaga resepsionis.

Theo kembali memasuki mobilnya, memutar haluan agar bisa keluar dari parkiran daycare tempat ia menitipkan bayinya. Jam digital di mobilnya berganti menit, membuat Theo agak panik karena takut terlambat mengingat jalanan sudah hampir ramai dan para pengemudi yang dominan pekerja berlomba lomba ingin cepat sampai membuat jalanan pagi sedikit berisik dan padat.

Theo berhenti ketika lampu di atas jalan menampakkan warna merah, detik digital di sampingnya berganti angka secara mundur. Theo mengetukkan jarinya di atas kemudi, bentuk dari gestur agar ia tidak begitu panik. Di dalam kepalanya terus terngiang suaranya sendiri untuk meyakini diri jika ia akan sempat.

Begitu lampu jalan berganti menjadi hijau, Theo dengan cepat dan hati hati menekan pedal gas di bawah kakinya. Mobilnya melaju dengan intens di tengah jalan raya, menyelip beberapa mobil dengan lihai dan hati hati.

Tepat ketika menit berganti pada jam digital di mobilnya, 3 menit sebelum jam seharusnya. Theo menghela nafas lega ketika mematikan mesin dan keluar dengan agak terburu. Pintu lobi terbuka otomatis, bau furnitur baru yang membaur dengan pendingin ruangan menyambut Theo. Keringat yang berpeluh di dahi bahkan membasahi beberapa helai rambut hitam pekat Theo menjadi kering karena pendingin ruangan tersebut.

Theo masuk lebih dalam, menaiki lift untuk menuju kantor devisinya. Karena kenaikan jabatan, Theo tetap bekerja di devisi yang sama namun bukan sebagai karyawan biasa. Bisa di bilang posisinya kini satu tingkat di atas pekerjaannya yang dulu.

Begitu Theo memasuki pintu kantornya, bahunya sudah di tepuk cukup keras oleh Crish. Crish terkekeh ketika mendengar Theo mengaduh.

"Ku fikir kau akan telat" katanya. Theo menggeleng sambil berjalan ke arah mejanya yang berada di pojok ruangan, dengan sekat tersendiri yang memisahkan dengan meja meja karyawan lain.

"Itu tidak akan mungkin" balasnya. Crish tertawa sebentar sebelum menjawab.

"Katakan itu padaku dua hari yang lalu" katanya. Theo berdecak ketika di ingatkan oleh hal itu.

"Kan sudah ku bilang kalau alarmku tidak berbunyi sama sekali, Ariel juga tumben sekali masih tertidur. Jadi aku tidak tahu kalau jam masuk kantor terlewat" jelasnya. Theo duduk di kursinya, ia meletakkan tasnya di pojok meja. menyalakan komputernya dan mengelap keringat yang masih berpeluh di dahi selagi menunggu komputernya memproses nyala.

Crish bersandar pada muka sekat sambil mengaduk kopi di gelas andalannya. Gelas keramik berwarna merah muda lembut dengan corak wajah kucing di badan gelas tersebut. Sungguh, pertama kali Theo melihat gelas itu, ia tidak bisa menahan tawanya. Crish tidak merasa malu, ia malah bangga karena dapat membeli gelas tersebut waktu ia tengah di sibuki oleh urusan dinas di jepang. Katanya, gelas itu adalah bentuk perjuangannya di negri sakura. Para karyawan sekantor mereka pun seperti maklum sekali dengan tingakah Crish, bahkan yang wanita merasa gemas sekali dengan Crish.

"Ya ya ya, kau sudah mengatakan hal itu lebih dari 4 kali. Aku bosan mendengarnya. Mau kopi?" tanyanya. Theo menggeleng sembari menggerayangi mousenya, menekan tombol bagian kanan benda serupa tikus tersebut beberapa kali sebelum menjawab.

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang