Kedua tamu tak di undang itu pulang dengan wajah tertekuk. Baju mereka penuh noda bekas minuman yang tumpah. Saking terkejutnya pemuda itu, smooties di tangannya terbalik hingga mengenai kemeja abu-abunya. Sedangkan pria itu, wajah dan bagian kerahnya penuh noda kopi.
Theo tidak perduli. Meskipun yang menjadi salah satu tamunya saat ini adalah atasannya. Ia akan beralasan bahwa urusan kantor tidak ada sangkut pautnya. Kini Theo bisa bersandar dengan santai. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil menghirup nafas dalam-dalam. Sepagian ini ia di buat bekerja batin. Mulai dari peringatan atasannya, sampai tingkah kekanak-kanakan atasan dan tetangganya.
Theo bisa maklum jika itu Erland, pemuda yang baru menginjak usia 20 tahun itu baru di legalkan dengan semua urusan dewasa, jejak labilnya belum hilang sepenuhnya. Tapi pria yang menjadi atasannya ini juga ikut terlibat yang parahnya usia dan penampilannya sangat tidak cocok.
Televisi di hadapan Theo masih menyala, namun Theo kehilangan nafsu menontonnya. Ia hanya ingin berbaring sampai ia bosan.
Tidak lama Theo terbangun dari baringannya, ia mengambil jus alpukat yang belum tersentuh sama sekali. Menyesapnya pelan sambil melihat televisi sebentar, sebelum akhirnya ekor matanya menangkap sesuatu.
Theo tidak ingat menaruh kantung plastik di ujung meja TVnya. Ia mendekat dengan jus masih di tangannya. Begitu sampai ia mengintip dari atas sebelum akhirnya berjongkok dan membukanya sedikit.
Di dalam kantung plastik itu berisi beberapa kantung roti, selai, dan sereal. Theo mengernyit. Ia meninggalkan plastik itu tetap di tempatnya. Berjalan cepat menuju meja di samping sofa dan meletakkan gelas jusnya lalu menaiki tangga dengan sedikit berlari.
Kalau tidak salah ponselnya masih di atas meja nakas. Ia bergegas mengambil ponselnya yang tergeletak tak jauh dari jam duduknya. Membuka layar kuncinya dan banyak mendapati pesan di media sosialnya yang hanya di namai nomor ponsel. Tandanya ia tidak menyimpan kontak itu. Ia membuka roomchatnya dan melihat beberapa pesan yang mengatakan bahwa orang pemilik nomor ini akan datang berkunjung. Theo mengerutkan alisnya. Lalu dengan yakin ia menekan ikon dengan bentuk telpon geganggam.
Bunyi tut yang terputus putus terdengar. Setelah beberapa detik berlalu, suara tut putus itu tidak lagi terdengar, di gantikan dengan suara hallo dari sebrang sana.
"Hallo" suara dari sebrang sana terdengar agak terburu-buru. Theo mengerutkan alisnya, lalu bertanya langsung pada intinya.
"Apa kau meninggalkan sesuatu di rumahku? Kantung plastik?" tanyanya. Suara itu bergumam di ujung sana. Seakan sedang menerawang pada beberapa waktu lalu, mengingat kembali apa yang ia tinggalkan.
"Ah, itu. Ambil saja" katanya. Theo mengernyit sambil melihat ponsel di telinganya. Seakan apa yang baru didengarnya adalah hal yang aneh.
"Ha!" jawab Theo. Orang itu terkekeh di sebrang sana. Lagi-lagi Theo di buat mengernyit.
"Ambil saja, aku memang sengaja membawanya. Rencananya memang untuk sarapanku beberapa minggu kedepan tapi terlanjur tertinggal di tempatmu. Buatmu saja, biar aku beli yang baru. Lagipula kau jarang sarapan kan? Anggap saja oleh-oleh dariku" jelasnya. Theo menghela nafas, antara ingin menerima dan tidak.
"Biar aku antar kembali ke rumahmu, kirim alamatnya ke nomor ini saja" jawab Theo. Suara di ujung sana menderu, seakan yang memegang ponsel sedang menghela nafasnya.
"Buat apa?" tanya suara di telpon yang terdengar datar.
"Mengembalikan sarapanmu, aku tahu kau terlalu sibuk sampai harus berbelanja terlebih dahulu sebelum kemari" jawab Theo. Pria itu berdehem.
"Ambilah Theo, aku memaksa. Lagipula aku juga sudah berada di depan swalayan saat ini. Jadi percuma jika kau mengembalikannya, aku yakin itu hanya akan terbuang. Untukmu saja, dan jangan lupa sarapan dan menghabisinya" ujar pria itu diakhiri dengan suara tut panjang.
Theo menjauhkan ponselnya dari telinganya, menatap ponsel itu yang sudah menghitam. Ia menghela nafas lalu meletakkan ponsel itu kembali di atas nakas. Beranjak dari sana dan turun ke ruang tamunya.
Ia berjalan ke arah bungkusan yang berada di samping meja TVnya. Duduk bersila di depan bungkusan itu lalu menatap bungkusan itu lama.
Atasannya itu sengaja melakukannya dengan alasannya itu, atau memang tidak sengaja meninggalkannya. Theo di buat bingung dengan sikap atasannya yang sulit di tebak. Pria itu begitu kaku jika di balik meja kerjanya, dan begitu santai di balik pakaian kasualnya. Theo menghela nafas, berfikir terlalu berat membuatnya bingung sendiri.
Tangannya terulur ke arah bungkusan itu. Ia membuka bungkusan itu pelan dan melihat kembali ke dalamnya. Ujung bibirnya terangkat. Ia merasa aneh di perhatikan dengan orang lain, terutama dengan atasannya sendiri. Ia tahu, ia adalah satu di antara manusia yang malas sarapan. Tapi apa harus seperti ini. Theo menggeleng, lalu dengan sekali gerak ia mengambil bungkusan itu dan berdiri lalu berjalan ke dapur.
Sambil berjalan ke dapur Theo bergumam. Lumayanlah, aku jadi mengirit pengeluaran untuk bulan ini. Setidaknya uangnya bisa kugunakan untuk popok Ariel dan keperluan lainnya. Hah, terimakasih atasanku.
Begitu sampai dapur, ia meletakkan bungkusan itu di atas meja dan beranjak dari sana. Kembali ke sofanya dan menikmati waktu santainya. Kapan lagi ia tidak di ribeti urusan kerjaan dan Arielnya, ini waktunya mengisi tenaga sebelum kembali ke kegiatannya yang biasanya.
Lewat beberapa jam Theo mulai bosan, berbaring di sofa dengan kepala yang di sanggah oleh bantal sofa ke arah televisi membuat lehernya sakit. Ia bangun dari baringannya dan bersandar pada sandaran sofa. Samar ia mendengar suara tangisan. Reflek Theo melompat dari atas sofa dan berlari menaiki tangga. Memasuki kamar Ariel dengan terburu-buru.
Arielnya berada di dalam box bayinya dengan tangan yang menggapai. Suara tangisan terdengar nyaring. Theo terkekeh melihat bayinya yang seakan mencarinya. Ia mendekat, mengulurkan tangannya dan mengangkat bayinya.
"Oh, lihat bayi Papa yang mencari Papanya" gumamnya sambil menepuk bahu Ariel ringan.
"Kau bosan tidur ya?, ini hampir sore ayo kita jalan-jalan sebentar di luar" gumamnya lagi. Ia mengambil jaket milik Ariel, mengenakannya pada anaknya lalu turun dari lantai dua.
Theo membuka pintu apartemennya sambil menggendong Ariel. Sesekali ia menciumi pipi gembil anaknya ketika berjalan menuju lift untuk turun ke taman yang berada di dekat apartemennya itu. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menyapanya dan menanyakan perihal bayi di gendongannya.
"Wah, aku tidak tahu kau punya anak Tuan. Aku fikir kau hanya pekerjaan kantoran biasa yang hidup sendiri" kata salah seseorang yang berpapasan dengannya. Pria yang mengenakan jarsey merah dengan lambang sebuah klub di belakangnya itu menyapanya sambil bertanya tentang bayinya. Theo terkekeh ringan sambil mengusap tengkuknya.
"Ya, begitulah" jawabnya singkat. Pria itu tertawa melihat gelagat Theo yang seakan menjaga sesuatu.
Theo sendiri merasa harus mengurangi beberapa orang yang tahu tentangnya dan juga Ariel. Terakhir ia bercerita tentang kehidupannya, ia mendapatkan tetangga yang maniak. Ia tidak mau hal itu terulang.
"Ingin kemana?" tanya pria itu lagi. Theo menoleh sekilas lalu menjawab.
"Ke taman didepan apartemen, anakku bosan dengan suasana rumah. Jadi aku mengajaknya keluar" jawab Theo. Pria itu merangkul Theo sambil menyeretnya maju.
"Baguslah, aku juga ingin ke bawah. Kita sekalian saja" jawab Pria itu masih sambil merangkul Theo dan melangkah bersama.
Dalam hati Theo hanya bisa berdoa agar orang ini bukanlah orang yang aneh atau semacamnya.
TBC...
Selamat malam, saya kembali dengan chapter baru. Terimakasih sudah bersedia membaca, memberi komentar, bahkan bintang untuk cerita ini.Maaf jika jadwal update tidak menentu. Saya berusaha menyesuaikan kegiatan di rl saya dengan menulis cerita ini . Saya berusaha sebisa mungkin untuk terus update, untuk terus menemani kalian. Mohon di maklumi ya, jika sempat saya akan update jika tidak tolong mengerti.
Sebelumnya, jangan bosan untuk mengingatkan saya jika kalian menemukan kata dengan penulisan yang tidak tepat.
Salam sayang,
Mizu
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...