PAPA [28] - Sorry! -

5.1K 488 35
                                    


Theo menarik nafas dalam sebelum masuk ke dalam cafe. Ketika ia masuk suasana klasik menyapanya, matanya bergerak mencari kedua orang tuanya.

Theo meringis ketika melihat kedua orang tuanya sedang menunggunya di daerah paling ujung cafe. Tempat yang sangat cocok untuk menjadi arena kalau kalau sang ayah membubuhkan pukulan di pipinya.

Theo berjalan dengan langkah yang berat. Ia sudah sangat positif tadi. Tapi ketika melihat kedua orang tuanya nyalinya seperti bermain petak umpet dengannya. Lihat sekarang nyalinya bersembunyi entah di mana.

Ariel bergerak lincah di gendongannya. Seperti tahu keadaan sang Papa. Theo tersenyum melihat bayinya. Lalu melangkah mendekat ke arah orang tuanya.

Theo duduk di kursinya. Ia melepaskan tautan gendongan kain itu dari belakang punggungnya. Memposisikan Ariel untuk duduk di pangkuannya, memberikan mainan Ariel yang berada di tas miliknya lalu meminum minuman yang telah di pesankan orang tuanya.

Ayah dan ibunya setia menunggu sampai Theo selesai dengan kegiatannya. Theo menatap kedua mata orang tuanya lalu melihat Ariel setelah itu tersenyum lembut.

"Maaf membuat kalian kecewa. Ayah, ibu entah apa yang harus ku katakan. Aku tidak tahu kata apa yang paling tepat antara selamat berbahagia atau malah berduka karena kalian telah memiliki cucu" kata Theo, bibirnya bergetar. Ia berharap orang tuanya cukup menerima Ariel meskipun ia di benci ia tidak masalah, tapi Arielnya, kebahagiannya jangan sampai di benci.

"Maaf merahasiakannya, aku hanya mencoba mencari waktu yang tepat. Memang agak terlambat karena Ariel sudah hampir berusia 6 bulan. Ia hampir berhasil untuk tengkurap, hampir tidak menangis ketika penuh dan haus" lanjutnya. Matanya terasa sangat perih. Ariel di pangkuannya terlihat sangat senang dengan mainannya, ia tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.

Theo tertunduk. Tangannya mengusap kepala bayinya pelan, ada senyum getir di bibirnya melihat anaknya kini telah sebesar ini. Padahal 5 bulan lalu ia hanyalah bayi merah yang hanya bisa menangis.

"Maaf, maaf, maaf sudah menjadi anak yang buruk. Maaf karena menjadi anak yang tidak berguna. Maaf karena aku bermain terlalu jauh. Tapi aku senang" lanjutnya, setitik air mata menetes di ujung matanya.

Ini kali ketiga ia menangis ketika bersama Ariel, pertama ketika Ariel lahir, kedua ketika Ariel sakit, dan ketiga ketika pengakuannya saat ini.

"Aku senang dan bahagia, sangat senang ketika ia lahir. Tubuhnya sangat kecil dan merah, tangisannya sangat berisik, pupnya sangat bau bu. Pipisnya banyak sekali bu, ia bisa menghabiskan 5 popok dalam sehari dulu. Ia bisa membuatku pusing karena terbangun ketika tengah malam. Ia bisa membuat ku sangat khawatir ketika sakit. Ia bisa sangat menghibur ku ketika ibu ibu komplek mempermasalahkan ibunya. Ia sangat merepotkan bu, ia membuatku terlambat pergi ke kantor, ia membuatku mempercepat sidangku, ia membuatku harus belajar dalam kelas menjadi ayah, ia membuatku menerima cakaran dari ibunya ketika melahirkannya, ia membuatku menerima tamparan dan pukulan dari ibunya ketika melahirkannya, ia membuatku kewalahan ketika ibunya mengidam. Tapi aku bahagia yah, bu" adunya. Theo tidak bisa menahan buncahan haru ini, air matanya keluar dengan sendirinya. Mengiringi setiap kalimat yang ia ucapkan. Tangan besarnya menggenggam tangan mungil bayinya.

Theo tidak mampu untuk mendongakkan kepalanya. Ia takut terlihat lemah oleh sang ayah, ia takut terlihat sangat menyedihkan di hadapan orang tuanya. Ia takut, sungguh takut.

"Maaf, aku sungguh minta maaf. Jika aku terlahir kembali, aku akan membahagiakan kalian lain kali. Aku berjanji. Tapi bisa kah kalian tidak membencinya hanya karena kesalahan ku. Yah, bu ia benar benar tidak berdosa. Ia hanya buah dari kesalahan ku. Kalian boleh membenciku, tapi ku mohon jangan benci dia. Dia anakku yah, bu. Dia bayiku, dia putriku, dia buah hatiku, dia kesayangan ku. Ku mohon ijinkan ia memanggil kalian nenek dan kakek. Ku mohon!" jelasnya. Theo menunduk dalam, tangannya makin mengerat menggenggam tangan Ariel.

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang