PAPA [31] - Serious Conversation and an Apology -

5.8K 461 33
                                    

"Kemarin orang tuaku mengunjungi ku" gumam Theo di sela ketikan jarinya pada keyboard. Matanya masih fokus menatap deretan kalimat di layar, namun fikirannya terbang jauh di hari kemarin.

Jessica menegang dalam duduknya. Tangannya yang tadinya bermain bersama Ariel mendadak berhenti. Ia menoleh cepat dan matanya menatap Theo dengan pupil yang bergetar. Persis Theo di supermarket kemarin.

"Tenang saja, mereka tidak seperti yang kau bayangkan. Mereka menerima Ariel dengan baik, jauh seperti yang kuduga selama ini. Awalnya mereka terkejut, bahkan ketika aku melihat wajah ayahku itu sedikit mengeras. Hahaha, dan ibu juga sama. Matanya membola dengan sempurna. Setelah berbicara, mereka menerima Ariel dengan sangat baik. Bahkan menawarkan ku untuk kembali kerumah utama. Sayang aku masih punya pekerjaan disini, jika tidak aku pasti sudah berada di sana dan mengenalkan Ariel suasana baru" ujarnya panjang. Jessica menghela nafasnya lega lalu melemaskan badannya.

"Kufikir mereka akan kasar pada mu dan Ariel. Hah, lega rasanya" gumam Jessica.

Theo menoleh ke arah Jessica, menatap wanita itu dalam dan berdehem berusaha mengambil alih perhatiannya. Jessica menoleh ke arah Theo kembali dengan tangan yang masih sibuk bermain bersama bayinya.

"Jika kau lulus nanti, apa yang kau lakukan?" tanya Theo. Jessica terkekeh dan menggelengkan kepalanya, menanggapi pertanyaan Theo sebagai angin lalu dan membalasnya singkat.

"Tentu saja mencari pekerjaan dan menjadi wanita kaya. Kau lupa, aku punya orang tua yang masih susah di pinggir kota" jawab Jessica. Matanya jatuh menatap dalam manik Ariel. Pupil yang bulat sempurna itu hitam, sehitam jelaga. Jessica selalu jatuh cinta dengan manik mata itu. Manik mata yang juga di miliki pria di depannya, manik mata yang membuat Jessica tertarik pada dua manusia yang terikat secara halus dengannya. Jessica tidak bisa menolak, ia jatuh cinta.

"Setelah kau dapatkan semua, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Theo kembali bertanya. Kacamatanya yang melorot ia tarik turun kemudian ia lipat. Meletakkan kacamata itu tepat di sebelah laptop milik Jessica. Jessica tergugu, tidak biasanya Theo bertanya sedemikian dalam. Theo selalu tahu batasan. Ia selalu tahu apa yang patut ia ambil sebagai bahan obrolan. Ini tidak biasa.

Layar laptop itu menghitam, atmosfer di ruang tamu Jessica terasa sangat berat. Hanya ada suara decakan bayi mungil di atas ambal tebal milik Jessica. Jessica bersandar pada sofa dan menatap Theo dalam. Jessica tahu, ketika Theo melepas kacamatanya tandanya ia sedang tidak ingin melihat ekspresi lawan bicaranya. Jessica tahu jika sudah seperti ini bukan ranahnya untuk bercanda.

"Untuk apa kau bertanya?" tanya Jessica setelah diam cukup lama. Theo menghela nafas berat. Jessica bisa melihat tubuh pria itu tegang didalam duduknya. Tangan pria itu sedikit bergetar namun ia berusaha keras untuk tidak begitu terlihat. Theo menyembunyikan gugupnya. Sayangnya Jessica sudah cukup hapal dengan pria kaku di hadapannya. 3 bulan sempat bersama di tambah 9 bulan rajin bertemu itu bukanlah waktu yang sebentar.

Jessica pernah melihat reaksi Theo yang sekarang pada waktu itu. Waktu di mana aroma kopi dan kremer menyatu. Waktu dimana ia tahu di dalam tubuhnya ada kehidupan lain. Dan waktu dimana pria itu memutuskan untuk menghidupi kehidupan makhluk kecil yang tumbuh didalam perutnya. Jessica tahu, akan ada keputusan lain yang mereka ambil hari ini.

"Memastikan, apa aku bisa menunggu atau pergi mencari yang baru" guman Theo. Hampir terdengar seperti cicitan jika saja suasananya tidak sepi seperti ini maka Jessica total tuli dibuatnya.

Jessica terkekeh lagi, menyapukan rambutnya yang berantakan kebelakang. Memutar dan menggulung rambut itu sebelum akhirnya mengikatnya.

"Kau mau menungguku?" tanyanya penuh canda. Geli rasanya melihat pria kaku didepannya dengan terang-terangan mengungkap kegundahan hatinya.

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang