Theo memotong sebuah wortel sambil menerawang jauh. Sisa air mata masih melekat di ekor matanya. Ia menarik nafas dalam sebelum akhirnya menatap potongan wortel itu tanpa ingin melanjutkannya. Ia masih dalam posisi haru beberapa saat yang lalu ketika sang ibu dengan lembut memeluknya. Mengeleng menolak bahwa apa yang Theo lakukan adalah hal yang salah.
Ibunya membenarkan semua perlakuannya tanpa berniat untuk menyalahkan pihak lain. Ibunya sangat paham posisi Theo dan wanita yang melahirkan cucunya. Mereka sama sama bingung dan terkejut. Sama sama masih begitu muda dan naif. Sama sama terlalu fokus dengan jalan mereka yang sekarang. Ibunya juga tidak ingin menuntut wanita yang melahirkan cucunya. Karena sebagai sesama wanitapun ia paham betul sebuah ambisi. Ia sangat paham bagaimana ambisi itu bergulung dalam kepalanya. Ia mencoba mengerti dan tidak ingin menjadi seorang yang jahat. Ia harusnya menjadi penengah antara sang anak dan wanita itu.
Ibunya sangat pengertian. Setelah memeluknya, sang ibu mengecup dahinya sambil berbisik, "Jika kau kesulitan, ambilah cuti dan pulang. Sama sama kita mengenalkan dunia baru untuk Ariel. Halaman rumah utama yang hijau tidak buruk untuknya kan?"
Theo menghela nafas, mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak lagi terjatuh. Ia menjadi sangat lemah dan cengeng bila menyangkut ibu dan bayinya.
Theo kembali melanjutkan aktivitasnya membuat makan malam. Orang tuanya akan menetap hingga makan malam nanti, selesai itu mereka akan kembali ke rumah utama. Sebelumnya sang ibu memberi tawaran untuk menghabiskan waktu liburnya di sana, namun Theo menolak. Bagaimanapun hampir sebulan Ariel tidak bertemu ibunya. Sebagai pria yang baik, Theo tidak ingin menjauhkan ibu dan anak itu. Dilihat dari manapun, meskipun Jessica terlihat sedikit kaku dalam berfikir ia tetaplah ibu dari anaknya. Theo tidak mungkin menjauhkan mereka selagi Jessica masih ingin bertemu dengan bayinya.
Setelah beberapa menit, masakan Theo sudah matang dan siap di sajikan. Ia menata meja makannya yang tidak begitu besar dengan apik. Ini adalah kali pertama dalam beberapa tahun ia bisa makan malam dengan keluarganya. Setelah memilih berpisah dan berkuliah di kota yang agak jauh dari kediaman utamanya.
Theo memanggil kedua orang tuanya untuk ke dapur serta menggendong bayi manisnya. Mereka mengambil tempat duduk masing masing dan mulai memakan makan malam yang Theo sajikan. Seperti biasa, Theo selalu makan dengan memangku Ariel di tangan kirinya. Bergumam pada bayinya tentang sayur yang ia masak. Sudah menjadi kebiasaannya sampai ia lupa ada dua orang di depannya yang menatapnya sendu penuh rasa bangga.
"Aku lupa sejak kapan anakku terlihat sangat luar biasa" gumam sang ayah. Kunyahannya terasa semakin manis kala melihat Theo tertawa dengan bayinya hanya karena candaan wortel.
Sang ibu tersenyum lembut, gerakan sendoknya melambat. Momen yang tidak pernah ia lihat seperti hampir buram karena genangan air mata yang tersendat di pelupuk matanya. Anaknya terlihat sangat penuh kasih sayang. Hal yang paling jarang di tunjukkan oleh pria seusianya.
Theo kemudian sadar oleh tatapan manis kedua orang tuanya. Ia terkekeh malu dan mulai melanjutkan makan malamnya.
"Theo, kau yakin tidak ingin pulang juga. Bukannya kau sedang libur? ayo bawa Ariel ke rumah utama" rengek sang ibu. Theo menggeleng dan tersenyum lembut.
"Bu, liburku hanya tinggal 2 hari. Jika aku ke rumah utama itu hanya akan memakan waktu di jalan. Aku janji, aku akan mengambil cuti dan berlibur bersama Ariel ke rumah utama. Tunggu saja aku bu" jelas Theo dengan lembut. Ayahnya merangkul sang ibu. Berusaha menjelaskan lewat tatapan. Ibunya mengangguk pelan dan mengiyakan.
"Baiklah Theo, jaga dirimu dan bayimu nak. Jika kau tidak sanggup mengurusnya sendiri, pergilah cari wanita yang bersedia menerimamu" ujar sang ayah, Theo mendengus sebelum akhirnya terkekeh dan mengangguk. Ayah ibu dan anak itu saling berpelukan sebelum akhirnya kedua orang tua Theo memasuki mobil mereka. Sebelum benar benar berpisah, sang ibu mengecup dahi bayi manisnya sangat lama begitupun sang ayah. Theo tersenyum lembut, lalu melambaikan tangannya hingga mobil yang di naiki ibu dan ayahnya hilang di balik tikungan. Rasanya lega sekali.
"Baiklah, ayo tidur dan besok bertemu mama~" gumam Theo seraya mengangkat bayinya tinggi dan tertawa setelahnya. Mereka memasuki unit apartemen mereka dan mulai tertidur dengan perasaan yang lega dan nyaman.
Paginya Theo sudah siap bersama Ariel. Bayi manisnya sama sekali tidak rewel selama semalam membuat Theo lebih mudah terbangun paginya.
Jarum pendek di jam ruang tamunya menunjukkan angka 8 pagi. Theo bergegas menyelempangkan tas Ariel di pundaknya. Mempernyaman Ariel dalam gendongannya. Setelah di rasa Ariel benar benar nyaman, Theo keluar dari unitnya, mengunci pintu apartemennya rapat sebelum melenggang pergi menuju parkiran gedung apartemennya.
Hampir 25 menit Theo habiskan ketika menyusuri jalan, sempat mampir di pertigaan untuk membeli beberapa potong roti tawar dan beberapa kudapan ringan untuk menjadi oleh oleh. Sesampainya Theo dengan tidak tahu diri memencet bel unit milik Jessica, bunyi bel pertama tidak memiliki jawaban, bunyi bel keduapun sama. Theo makin tidak tahu diri memencetnya sebelum akhirnya berhenti ketika mendengar suara gaduh dari dalam.
"Bedebah kurang ajar, siapa yang dengan tidak tahu diri datang kerumahku sepagi ini. Ah breng-" ketika pintu unit itu terbuka, Jessica terkejut melihat Theo. Sedangkan Theo menatap Jessica datar sambil menutup kedua telinga bayinya.
Theo dengan susah payah menahan segala umpatan ketika dengan bayinya sesulit apapun keadaannya. Dan Jessica dengan gamblang mengatakannya. Theo ingin menangis karena iri. Terakhir kali ia bisa mengumpat dengan bebas sekitar 5 bulan yang lalu. Ketika di kantorpun ia menahan agar tidak menjadi kebiasaan yang bisa ia bawa sampai rumah.
Jessica terkekeh sambil membuka lebar pintu apartemennya. Sadar jika mulutnya terlalu tajam di depan seorang bayi.
"Maaf, maaf aku tidak tahu kau berkunjung" katanya. Theo menghela nafas lalu masuk kedalam. Sebelum benar benar masuk, bokongnya dengan agak keras di tendang oleh Jessica.
"Lain kali beritahu aku sialan, kau merusak tidurku. Sumpah demi apapun aku baru bisa tertidur jam 4 pagi karena deadline bajingan itu. Jika ini terulang lagi, kupastikan bokongmu lebih sakit dari ini" bisik Jessica tajam. Theo meringis namun mengangguk juga, tahu jika ini adalah kesalahannya.
Jessica mengambil Ariel dari gendongan Theo membawa bayi manis itu ke dalam terlebih dahulu. Memeriksa apakah bayinya haus atau tidak. Ketika bibir Ariel mengikuti kemana gerak jari Jessica, Jessica dengan cepat mendudukan diri di sofa, menyambar remot televisi, mengaktifkan kotak elektronik itu lalu menurunkan separuh baju bagian depannya. Membiarkan bayi kecilnya meminum susu dari dadanya.
Theo yang melihat hal itu sedikit memerah dan memilih untuk pergi kedapur. Mendadak ia haus dan butuh lebih dari sekedar segelas air. Lagipula ia juga harus menghidangkan oleh olehnya untuk Jessica.
"Jess, apa kau sudah sarapan?" tanyanya dari dapur.
"Apa aku terlihat sudah sarapan?" tanya Jessica kembali.
"Ah, baiklah" jawab Theo canggung, untuk apa ia bertanya jika ia sudah tahu jawabannya. Theo merasa bodoh.
Pagi itu, Theo dan Ariel menghabiskan waktu di apartemen Jessica. Dengan Theo yang berakhir menyelesaikan beberapa makalah milik Jessica, dan Jessica yang dengan puas bermain bersama bayinya.
TBC..
Selama malam semuanya, selamat berbuka bagi yang menjalankan puasa. Maaf atas keterlambatan saya dalam update minggu ini. Semoga kalian menikmati dan terhibur dengan chapter ini.
Terimakasih untuk masukan yang kalian berikan di kolom komentar. Sedikit banyaknya itu membantu saya. Dan jangan bosan untuk terus mengingatkan saya atas kesalahan ketik yang saya lakukan pun kata kata rumit yang juga salah dalam penjabaran ketikan. Saya menikmati waktu saya dalam memperbaiki setiap kata yang salah ketik ketika kalian mengingatkan saya, saya merasa terbantu.
Tetap sehat semuanya, salam sayang
Mizu
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
Fiction généraleTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...