Sejak itu, sejak ia mengucapkan kalimat itu hidupnya berjalan agak konyol. Ia mulai berfikiran luas, mempergiat kegiatan kampusnya, menyegerakan sidangnya dan mempercepat kelulusannya.
Ia harus segera mencari pekerjaan, setidaknya demi bisa menghidupi darah dagingnya nanti tanpa harus mengemis pada orang tuanya. Ia menjadi sering bertemu dengan wanita itu, membawanya ke dokter untuk chek up atau memenuhi kebutuhan wanita itu selama kehamilan.
Tidak ada pemikiran bahwa mereka akan melanjutkan hubungan rumit mereka, hanya sekedar saling menjaga janin itu. Setelah di lahirkan maka hubungan mereka akan merenggang, kecuali bila anak itu bertanya siapa ibunya. Theo tidak akan berbohong atau membuat semacam kebohongan bahwa ia lahir dari kesalahan sang ayah. Ia akan jujur dan kalau perlu berkisah panjang pada buah hatinya nanti.
Dalam waktu 8 bulan ia telah menyelesaikan kuliahnya, begitu mendapatkan sartifikat kelulusannya ia langsung melamar kerja di perusahaan terdekat. Dan dalam waktu 2 minggu ia di terima, tidak sulit mencari pekerjaan baginya karena nilai yang cukup itu. Ia menjalani hari-hari kerjanya dengan giat, sepulang kerja terkadang ia pergi untuk menengok calon anaknya yang sudah semakin tumbuh di perut wanita itu.
Sesekali wanita itu mengeluh karena harus berjuang sendirian. Theo selalu meminta maaf karena tidak bisa menemaninya, ia harus punya uang. Setidaknya untuk tunjangan kehidupan anaknya.
Ia memang bukan calon ayah yang sempurna, namun ia selalu mencoba menjadi ayah yang berguna. Ia tidak ingin anaknya terlantar tanpa kasih sayang, ia akan menjadi ayah yang baik sebisanya. Wanita itu pun mendukung, ia hanya bertugas melahirkan anak itu dan menjaganya setidaknya sampai 4 bulan untuk asi. Lalu setelah 4 bulan bayi itu akan bersama dengan Theo.
Itu keputusan mereka. Wanita itu akan tetap memberikan asinya untuk anak itu selepas 4 bulan, mengirimkannya lewat botol-botol kaca steril untuk di minum oleh anak itu. Dan kegitan seperti itu akan berlanjut sampai anak itu benar-benar lepas dari asi. Theo menyetujuinya.
4 bulan waktu yang diberikan olehnya ia gunakan untuk belajar menjadi ayah, di sela waktu kerjanyapun ia mengikuti kelas pendidikan untuk menjadi seorang ayah. Bukan kelas yang luar biasa, hanya kelas yang mengajarkan bagaimana mengganti popok anak, memandikannya, merawatnya, dan menidurkannya, bahkan pendidikan mendasar tentang bagaimana manangani anak yang rewel atau sedang dalam masa sakit.
Kelas itu hanya menyita 3 jam dari waktu liburnya di hari sabtu, setiap seminggu sekali ia akan datang untuk mengikuti kelas. Wanita itu tertawa ketika mendengarnya, namun ia jelas sedikit bangga. Pria yang beberapa bulan lalu itu sangat arogan kini berubah menjadi pria yang lembut dengan segala kekurangannya dalam mengurus anak.
Theo bercerita ketika ia mengikuti kelas, ia pernah sekali terlalu kasar pada boneka tiruan. Pengajar mengatakan bahwa ketika memandikan anak setidaknya harus dengan rasa sayang dan penuh kelembutan juga dilakukan dengan perlahan. Namun kala itu Theo yang fikirannya masih berada di kantor dengan tidak sengaja memutar kepala boneka tiruan terlalu kuat sampai kepala boneka itu lepas. Theo terkejut bahkan agak meringis ketika sadar apa yang dia lakukan. Pengajar menegurnya bahkan pengajar itu berkata, "Tuan ini memang hanya boneka tiruan, tapi tolong lembutlah. Ketika anda benar-benar memegang anak anda mungkin kasusnya akan berbeda. Tolong pelan-pelan lah", begitu katanya.
Theo meminta maaf dan mengubah fokusnya kepada boneka tiruan itu. Ketika wanita itu mendengar kisahnya, ia tertawa terbahak-bahak sampai tidak sadar menekan perutnya agak keras. Theo menegurnya dan wanita itu menyelesaikan tawanya. Sungguh, wanita itu ingin menyaksikan langsung kejadiannya.
Waktu berlalu dan hari kelahiranpun tiba. Theo pulang agak cepat dari kantor ketika wanita itu menelpon. Theo dengan cepat berlari keluar kantor ketika mendapat ijin. Ia segera menaiki mobilnya dan melesat ke apartemen yang wanita itu sewa.
Hampir menghabiskan waktu sekitar 10 menit di jalan akhirnya Theo sampai. Ia kembali berlari ke apartemen wanita itu tanpa repot menutup pintu mobilnya, bahkan mobil itu di parkir di sembarang tempat. Begitu sampai ia langsung membuka pintu apartemen wanita itu. wanita itu menunggu sambil memegang kuat kain sapu tangan di tangannya. Bibirnya ia gigit kuat, dan air matanya mengalir di pipi. Theo sakit melihat wanita itu menahannya sedirian.
Dengan cepat ia menggendong wanita itu dan agak berlari untuk sampai di mobil. Memasukkan wanita itu perlahan dan langsung mengemudikan kerumah sakit.
Theo khawatir, sangat khawatir. Khawatir pada wanita itu dan khawatir pada calon bayinya. Ia dengan kalap mengemudi di jalan. Banyak klakson yang ia dengar di sepanjang jalan, mungkin karena sangat khawatir ia jadi begitu tidak perduli.
Di tengah ringisan wanita itu tangannya terulur ke arah bahu Theo. Ia dengan gemetar berkata,
"Pelan saja.. kau tidak ingin.. membunuhku juga.. bayimu kan? Tolong pelan.. saja"
Theo mengendurkan bahunya perlahan, injakan pedal gas di bawah kakinya juga ikut mengendur. Benar juga, menyetir dengan kalap akan beresiko. Theo dengan perlahan menyetir menuju rumah sakit.
"Maafkan aku, aku hanya khawatir" ujarnya. Wanita itu mengangguk sambil mengatur nafas. Seperti tidak ada lagi tenaga untuk menjawab. Theo tahu dan dengan kata-kata ia menenangkan.
"Sabarlah, tahan sedikit lagi ini hampir sampai" ujarnya. Wanita itu lagi-lagi mengangguk pelan. Keringat membasahi dahinya dan rematan tangannya pada sapu tangan itu makin erat bahkan sampai buku-buku jarinya memutih.
Mereka sampai dalam waktu sekitar 8 menit perjalan karena Theo yang mengemudi seperti kesetanan. Ia langsung berteriak di depan pintu rumah sakit sambil memapah wanita itu. Para perawat langsung membantunya dan membawa wanita itu keruang bersalin. Theo hampir di landa kegilaan mendadak kala ia menemani wanita itu di ruang bersalin.
Wanita itu menarik dasi kerjanya selama proses persalinan, tangannya sesekali merambat naik ke kemeja kerjanya dan menarik kerah itu kuat, tangan yang lain menggenggam tangan Theo sampai kukunya tertancap di dalam dagingnya. Theo menggeleng kesakitan, namun ia tidak ingin menyerah karena wanita itu juga kesakitan.
Para perawat melihat Theo agak miris, pasti sulit menjadi pria itu pikir mereka. Theo masih mengenakan setelan kerjanya, tanpa merapikan rambut atau membenarkan kacamatanya ia kembali menenangkan wanita itu.
Wanita itu menggeram kesakitan, tangannya merambat rambut Theo, menariknya sebagai bentuk pelampiasan. Hampir sekitar 30 menit itu terjadi akhirnya bayi mereka keluar. Wanita itu mengendurkan pegangannya dan jambakannya pada rambut Theo. Ia terengah-engah begitupun Theo, mereka seperti habis berlari jauh. Suara rengekan bayi membuat bibir mereka terangkat sempurna.
Dokter membawa bayi itu ke hadapan mereka setelah membersihkan bayi itu serta menyelimutinya dengan kain putih.
"Dia perempuan, sangat cantik seperti ibunya" kata dokter itu seraya memberikan gadis kecil itu kepada ibunya. wanita itu memeluk bayi mungil itu di tangannya dan mendekapnya.
Theo mengawasi dari samping dan bibirnya terangkat di kedua sisi. Ia bahagia. Pilihannya sangat tepat, ia beruntung tidak memilih pilihan yang pertama. Pilihan untuk membunuh gadis kecil tidak berdosa itu. Air mata Theo menggenang di pelupuknya. Kacamata yang hampir melorot itu ia dorong dan dengan segenap hati ia memeluk wanita itu juga bayi kecilnya.
"Terimakasih, aku berhutang padamu" bisik Theo. Wanita itu menggeleng seraya mengecup bayi itu pelan.
"Tidak perlu, jaga saja dia. Aku akan sangat berterimakasih dengan itu" jawabnya. Theo memgangguk yakin.
"Aku akan menjaganya, pasti!" tegasnya.
TBC...
Bantu saya menemukan kesalahan dalam pengetikan.
Terimakasih, semoga kalian menikmati..
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...