Kantor akan libur di hari sabtu dan minggu, dan jika karyawan bisa menyelesaikan proyek mereka dengan cepat di minggu itu maka libur mereka bertambah sehari. Entah semangat yang datang dari mana Theo mampu menyelesaikan semua pekerjaannya dalam waktu 4 hari. Mengingat rencananya yang ingin mendapat waktu luang berlimpah bersama Ariel ia seperti mendapatkan ilham untuk cepat menyelesaikan pekerjaanya.Setelah mengirim berkas terakhir ia tersenyum. Jarum pendek menunjukkan pukul 5, terlalu cepat untuk melangkahkan kaki dari meja kerjanya. Dengan itu Theo menghampiri Crish, berniat membantu sampai pukul 6 lalu menjemput Ariel di Daycare.
Crish terlihat kusut di kursinya. Rambutnya teracak tak karuan, wajahnya yang seharusnya bisa di bilang tampan itu tertekuk dalam. Theo mengernyit, memutar haluan menuju kantin kantor. Sesampainya, ia memesan satu americano dingin untuknya, dan americano panas untuk Crish.
Ia membawa dua gelas itu dengan santainya. Lupa jika waktu istirahat bahkan sudah berlalu lama. Yang Theo tahu, ia sudah selesai dengan urusan kantor hari ini, jadi ia bebas.
Asik menyeruput americano dinginnya hingga lidahnya kebas karena dingin ia tidak sadar berpapasan dengan atasannya. Tanpa menunduk, tanpa menyapa, hanya asik dengan sedotan hitamnya.
Sang atasan mengernyit heran, baru kali ini di abaikan karyawan. Apa karena masalah kapan hari yang membuatnya terusir dari rumah Theo, atau bawahannya itu menyimpan dendam karena ia datang tanpa memberi tahu. Tapi itu masalah luar kantor, jika di dalam kantor maka ia harus bersikap profesional.
Sang atasan sedikit kesal karena di abaikan, terlebih oleh bawahannya.
Theo masih asik dengan gelasnya yang tinggal separuh isi. Baru menyadari ketika deheman berat menyapa indra pendengarnya. Tersentak, ia menggigit ujung sedotannya, masih untung bukan ujung lidah yang tergigit.
Ia memutar badannya, atasannya memicing tajam ke arahnya. Ia menurunkan gelasnya dan menunduk berniat menyapa.
"Tahu ini jam berapa?" suara berat beralun ringan dan sinis mengampiri daun telinga Theo. Theo dengan yakin menjawab cepat.
"Jam lima lewat, Sir"
"Kenapa begitu santai?" lanjutnya. Theo tersenyum sebelum menjawab, tentu ia sadar. Sadar jika ini bukan waktunya berleha, tapi tugasnya telah rampung semua. Ia bebas hingga proyek selanjutnya.
"Laporan terkahir untuk bulan ini dari proyek kemarin telah saya kirim ke email anda. Silahkan di cek, mana tahu saya membuat kesalahan dalam penyusunannya" jelasnya. Alis pria di depannya menukik. Anak rambut yang lari dari barisan rambut klimisnya ia satukan dengan sekali sapuan tangan.
"Kau menyelesaikannya? Bahkan dengan deadline tiga hari kedepan?" tanyanya bingung. Helaan nafas berhembus di antara cela bibir atasannya itu. Theo dengan sopan mengangguk.
"Kenapa begitu cepat?" tanyanya kembali. Theo terkekeh. Kenapa atasannya begitu ingin tahu, bukannya bagus jika salah satu di antara ratusan karyawannya ada yang serajin dirinya.
"Ariel butuh saya lebih banyak dari biasanya, sayapun sama. Kami butuh banyak waktu untuk bersama" jelasnya ringan tidak sedikitpun menurunkan sunggingan bibirnya. Wajah atasannya melunak, ia menghela nafas ringan dengan tatapan yang memaku Theo. Ia lupa, bawahannya yang satu ini sedikit berbeda.
"Aku lupa kau punya pawang sekarang. Lanjutkan lah begini, cepat selesaikan kerjamu dan beri anakmu waktu bermain denganmu. Jika perlu undang aku. Aku sudah merindukannya lagi, bahkan ini tak sampai dua hari aku terakhir bertemu dengannya" ujarnya lalu berlalu. Theo mengangguk sambil menatap punggung atasannya itu yang perlahan menghilang di belokan pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...