Ariel terbangun dan menangis kala Theo baru saja meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia terperanjat dan langsung terbangun. Tangisan Ariel semakin kencang sedangkan Theo baru saja sampai di depan kamarnya. Theo menghembuskan nafas beratnya, ia sungguh lelah. Dan keadaan ini sangat tidak menguntungkannya.
Theo mengangkat Ariel di dalam pelukannya, menepuk bayi mungil itu pelan namun bayi itu tak kunjung berhenti menangis. Theo makin resah dengan keadaannya, saat ini ia mengantuk, tubuhnya hampir ambruk, tapi anaknya menangis. Ia harusnya tahu, bahwa menjadi single papa bukan hal yang mudah. Keadaan ini akan terjadi cepat atau lambat atau bahkan akan sering terjadi. Harusnya mentalnya siap, tapi ternyata ia masih belum terlalu siap.
Theo menepuk Ariel di dalam gendongannya sambil bergumam menyanyikan lagu-lagu tidur, mengucapkan kata penenang, mengayunkannya pelan. Segala cara yang ia pelajari di kelasnya ia coba terapkan. Namun, Ariel kecilnya masih saja menangis.
"Anak Papa yang cantik, diamlah, Papa di sini" bisik Theo di sela rasa kantuknya.
Arielnya masih saja menangis, Theo memcoba cara lain agar Arielnya bisa tenang dari tangisnya.
"Twinkle twinkle little star... " Theo mulai bernyanyi pelan, tidak perduli seberapa serak suaranya saat ini. Di sela nyanyiannya ia menguap, ia sungguh mengantuk.
Ia kembali mengingat apa yang ia pelajari, keadaan mengantuk membuatnya lupa. Ia terus mengingat sambil menepuk tubuh Ariel pelan.
Alisnya berkerut, matanya hampir tertutup namun tangannya belum juga berhenti menimang Ariel. Sampai ia menyadari dan berhasil mengingat apa yang membuat bayi rewel di tengah malah.
Theo mengintip di sela popok Ariel, popok itu agak berat. Berarti ia harus menggantinya menjadi popok baru agar Ariel nyaman dalam tidurnya. Dalam gerakan cepat ia meletakkam Ariel di box bayinya dan mempersiapkan segala kebutuhan Ariel. Popok dan bedak bayi ia letakkan di sisi Ariel. Theo melucuti celana yang Ariel kenakan, melepas perekat di kedua sisi popoknya dan menarik popok itu pelan. Di lemparnya popok yang telah penuh itu ke tempat sampah dan Theo kembali membaluri bagian pantas Ariel dengan bedak lalu memasangkan popok baru kemudian memakaikan kembali celananya. Popoknya sudah terganti namun Arielnya masih menangis, walaupun tangisannya tidak sekencang tadi.
Theo mengambil persediaan asi di lemari penghangat, memasangkan dodot di bagian atas botolnya lalu membawanya ke Arielnya. Ia menggendong Arielnya lagi, lalu memberikan dodot itu ke Arielnya. Arielnya mulai menyedot, di situ Theo kembali menepuk tubuh Ariel. Tidak lama tangisan bayi itu berangsur mendiam dan mata Ariel kembali terpejam. Theo menghembuskan nafas lega.
Ia meletakkan Arielnya perlahan di dalam box bayinya itu. Menyelimutinya dan mengecup kening buah hatinya itu. Rasanya sulit, namun ia senang. Kala anaknya itu menangis, tandanya anak itu sedang berbicara padanya.
Papa aku sudah penuh.
Papa aku haus.
Papa aku kedinginan.
Papa..
Papa..
Papa..
Rasanya Theo seperti mendengar suara anaknya berbicara ketika anaknya itu menangis. Ia meminta banyak hal lewat tangisannya. Mungkin ketika anaknya itu bisa berbicara nanti, anak itu akan melakukan hal yang sama. Berbicara, menyampaikan semua yang ia rasakan.
Theo mengusap kepala anaknya itu pelan, meresapi wajah cantik anak itu. Walau agak merepotkan, tapi anak itu adalah miliknya, darah dagingnya, dan kebahagiaan barunya.
Arielnya adalah hatinya. Theo menyadari hal itu ketika tangisan pertama bayi itu terdengar. Ia tidak merasa terganggu melainkan merasa haru, kebahagiaannya membuncah. Ia senang, anaknya sehat, tanpa cacat, dan sangat cantik.
Bagaimanapun masa depan bayi mungilnya ini, Theo akan selalu di sisinya. Memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayang. Mungkin di sana juga ada Jessica yang memberikan hal serupa. Namun, Theo akan memberikannya lebih banyak dari yang Jessica berikan. Seorang ayah akan menganggap putrinya adalah sebuah permata yang harus ia jaga, ia simpan, ia sayang. Permata yang mahal harganya, permata yang luar biasa berharganya.
Theo akan menganggap bahwa Ariel adalah harta karunnya, permatanya, berliannya, emasnya, dan segala bentuk barang berharga lainnya. Itu hanya perumpamaan, karena Arielnya bukan barang. Arielnya adalah bentuk sempurna dari segala bentuk keindahan yang ia punya.
Arielnya adalah buah hatinya. Hal yang paling ia prioritaskan saat ini.
Saking mengantuknya, Theo sampai lupa berpindah tempat, ia tertidur di ambal beludru yang lembut di kamar Ariel. Menjaga bayi itu dari kehausan, menjaga bayi itu dari kedinginan. Sayangnya Theo lupa, ia tidak bisa tidur di lantai. Tubuhnya akan sakit saat bangun nanti terutama di bagian punggungnya, parahnya lagi ia tidak menggunakan bantal di bawah kepalanya.
Itu terjadi begitu saja, Theo yang mengantuk tidak perduli di mana ia berada ia langsung merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Lupa bahwa alarmnya jauh dari tempat berbaringnya saat ini. Theo tertidur dengan tidak nyaman, tubuhnya membola, dan dengkurannya terdengar putus-putus.
Single Papa itu seperti acuh dengan keadaannya sendiri.
Paginya ia di buat kelabakan oleh dirinya sendiri. Sedari tadi Ariel sudah bangun namun bayi mungilnya itu hanya diam sambil memainkan gantungan di box bayinya. Theo terkejut kala jarum pendek pada jam dinding menunjukkan pukul 6. Ia sudah sangat terlambat, dengan itu ia segera berlari menuju kamar mandi setelah memastikan bahwa Arielnya baik-baik saja .
Ia mandi dengan cepat bahkan lupa mencuci bersih wajahnya. Ia terlalu terburu buru. Begitu keluar dari kamar mandi ia hanya menggunakan handuk yang membalut pinggang dan bagian bawahnya lalu ia kembali berlari ke kamar Ariel. Mengambil tas anaknya itu dan mengisinya dengan keperluan Ariel. Semua yang ia lakukan itu menggunakan kecepatan yang luar biasa.
Semua kegiatan pagi yang biasanya menghabiskan 1 setengah jam itu selesai dalam waktu 25 menit. Theo keluar dari apartemen dengan keadaan yang mengenaskan. Ia menenteng dua tas di tangan kanannya, tangan kirinya memegang mantelnya, dan bagian dadanya ada Ariel yang sedang dalam gendongannya. Bajunya tidak masuk di dalam celana dengan rapi, dasinya belum terpasang sempurna, rambutnya belum di beri gel dan di sisir, kacamatanya pun melorot di hidungnya mancungnya. Itu adalah tampilan paling mengerikan yang pernah Theo tunjukkan.
Ia mengunci pintu apartemennya dengan susah payah, hampir menjatuhkan mantel yang ia tenteng di tangan kirinya. Untungnya pemuda tetangganya itu berpapasan dengannya. Pemuda itu tertawa saat melihat papa muda tetangganya begitu kesulitan dalam mengunci pintu.
"Kau telat Papa ?" tanya Erland bergurau. Theo berdecih, malas menjawab.
"Ouh.. Lihat Princess cantik ini. Ia bangun" ujar Erland seraya mendekat. Theo makin berdecih, tidak sadarkah mahasiswa ini bahwa Theo sedang kesulitan.
"Diamlah dan bantu aku!" tekan Theo. Pemuda itu terkekeh dan mulai mengulurkan kedua tangannya. Gestur untuk menggendong Ariel. Theo mengerut bingung lalu meletakkan kedua tas yang ia bawa serta mantelnya di masing-masing tangan pemuda itu.
"Terimakasih" ujar Theo lalu dengan leluasa mengunci pintu apartemennya lalu mengantonginya. Kemudian ia mulai berjalan agak tergesa-gesa, mengingat sempitnya waktu yang ia punya.
"Aku tidak ingin membawa barangmu, aku ingin membawa Arielku" balasnya sambil berusaha mengejar Theo.
"Siapa yang kau sebut Arielku? ha!" Theo mendelik seraya menatap tajam. Pemuda itu menggeleng sambil tersenyum canggung lalu mengikuti Theo menuju lantai dasar.
"Tidak, bukan siapa-siapa. Aha.. ha.. ha.. ha"
TBC...
Bantu saya memperbaiki kesalahan dalam pengetikan. Sekian, semoga kalian menikmati..
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...