Theo sampai di kantornya setelah menitipkan Ariel di daycare. Ia terlambat, dan gajinya terpotong 5%. Theo hampir menangis kala petugas bagian ketertiban di kantornya mencatat namanya. Itu nyaris saja, ia tiba di kantor 1 menit melewati jam masuk dan potongan gaji menjumpainya. Theo hanya bisa menghela nafas lelah, karena menangis bukan dia sekali.
Ketika memasuki ruang devisi mata semua karyawan yang berada di sana terpaku padanya. Mereka sungguh terkejut. Ini adalah hal yang baru. Seorang yang rajin seperti Theo terlambat lalu pakaian yang ia kenakan tidak rapi.
Ia lupa memperbaiki baju kerjanya saat masuk karena terlalu memikirkan gajinya yang terbuang karena 1 menit keterlambatannya. Dan kabar buruk lainnya menjumpainya. Baru saja ia duduk di kursi miliknya dan menyalakan PCnya seseorang datang padanya. Orang itu adalah wanita cantik yang berusia matang, ia bekerja sebagai sekretaris ketua devisinya. Theo menatap wanita itu was-was. Selalu ada bencana ketika wanita cantik yang selalu di elu-elukan pria jomblo di devisinya itu menghampiri seseorang secara personal. Wanita itu akan membicarakan tentang kesalahan secara akurat atau panggilan khusus atau bisa jadi peringatan. Sekretaris cantik yang biasanya hanya bekerja melaporkan banyak hal pada ketua devisi sekarang merangkap menjadi penyampai berita buruk untuk para karyawan.
Keringat di pelipis Theo menetes kala wanita itu tinggal 3 langkah di depannya, dan ketika wanita itu sampai Theo hanya menelan ludah. Bukan karena lekuk tubuh yang di miliki wanita itu, tapi karena apapun yang akan di katakan wanita itu.
Sesungguhnya ia takut.
"Theo Mc'Coline, anda di panggil oleh ketua devisi. Mohon segera memenuhi panggilannya" ujar wanita itu. Theo membatu sesaat. Wanita itu hanya berkata santai namun efek yang Theo terima sungguh luar biasa.
Ia hanya bisa mengangguk kaku sebagai jawaban. Crish yang berada di sebelahnya menggeleng seakan memberi isyarat tidak bisa membantu apa-apa. Teman di sebelahnya pun tahu apa yang saat ini Theo rasakan. Biasanya ketika seseorang di panggil secara personal oleh ketua devisi, orang itu akan keluar dengan berbagai macam kesialan. Ketua yang kaku itu seperti tahu bagaimana cara membolak-balikkan perasaan serta pemikiran para karyawannya.
Theo bangkit dari duduknya dengan sangat kaku, kakinya gemetar bukan main. Ia tidak langsung menuju ruangan bosnya itu melainkan ke toilet. Ia harus membasuh wajahnya serta memperbaiki tampilannya. Di dalam toilet pun ia di buat berfikir begitu keras. Apa kesalahannya bertambah lagi? Atau gajinya akan berkurang lagi?. Tuhan, banyak sekali cobaan yang datang.
Setelah di rasa penampilannya membaik, Theo keluar dari toilet dengan perasaan yang masih campur aduk. Ia melangkah dengan lamban menuju ruangan bosnya. Sesampainya di depan pintu ruangan itu Theo mengatur nafasnya. Mencoba berfikir positif dan berasumsi baik.
"Tidak ada kesalahan apapun, kau akan baik-baik saja Theo. Kau hanya telat tidak menghambur kantor, kau hanya mendapat potongan gaji bukan mendapat kesialan lainnya. Baiklah, tenang diriku, tenang!" gumam Theo pada dirinya sendiri.
Theo mengetuk pintu itu setelah di rasa siap. Ia mengigit bibir bawahnya ketika menunggu jawaban. Tidak lama jawaban dari dalam membuatnya sedikit menegang. Suara pria kaku itu terdengar begitu santai dan ringan. Hal yang biasa untuk seorang pria tanpa ekspresi.
Theo masuk setelah di persilahkan. Auranya jauh berbeda ketika ia masuk. Tatapan mata pria akhir dua puluhan itu begitu menusuknya. Theo hanya bisa menunduk, ia masih tidak berani menatap atasannya itu. Banyak alasan yang membuatnya menjauh dari tatapan itu. Yang pertama, lantai di ruangan atasannya itu begitu mengkilap dan menarik. Yang kedua, lantai ruangan itu begitu putih dan bersih. Yang ketiga, ia lebih damai melihat wajahnya sendiri di lantai itu daripada melihat atasannya. Yang keempat, atasannya memiliki wajah yang lebih manly darinya dengan kata lain Theo iri. Yang kelima, atasannya punya mata yang tajam seperti seekor elang dengan kata lain Theo masih iri dengan itu. Yang keenam, atasannya punya rahang yang tegas dan untuk kesekian kalinya Theo masih iri dengan hal itu. Jadi kesimpulan dari banyak alasannya adalah, ia iri dan lantainya menarik.
Jelas sekali atasannya itu mengerti dengan gestur menghindar itu. Padahal berita Theo telat belum sampai ke telinganya. Karena penyetoran nama pelanggar akan di sampaikan ketika para karyawan telah pulang. Alasan Russel memanggil bawahannya itu adalah masalah personal yang ingin ia bicarakan. Bukan masalah pekerjaan. Sungguh sebagai pemimpin ia juga bosan, ada kalanya seorang yang ber-uang juga ingin merasakan rasanya menjadi gembel.
Russel berdehem, Theo terkejut. Russel hampir saja tertawa melihat hal itu. Sebegitu kalutnya kah fikiran bawahannya itu sampai bisa terkejut hanya karena suara kecil seperti itu. Itu adalah hal yang lucu, jika saja hanya dia seorang mungkin saja Russel akan tertawa hingga perutnya keram.
Theo mendongakkan kepalanya ketika tidak mendengar apapun setelah atasannya itu herdehem. Ia memberanikan diri menatap bosnya itu. Lama mereka saling menatap, akhirnya atasannya mulai bertanya padanya. Bukan pertanyaan yang akan memojokkan karirnya sebagai seorang karyawan, tapi jenis pertanyaan yang tidak pernah ia fikirkan sebelumnya bisa keluar dari mulut bosnya itu.
Untuk kedua kalinya Theo terkejut.
"Bagaimana kabar bayimu ?" tanya atasannya itu. Theo mengernyitkan alisnya, tidak menjawab malah merasa aneh. Apa urusan atasannya itu dengan bayinya.
"Maaf, anda bertanya tentang kabar bayi saya?" tanya Theo ulang. Ia merasa bahwa mungkin saja telinganya agak sedikit rusak karena terlaku banyak fikiran.
"Ya, apa kabar dia?" jawab atasannya itu dengan wajah temboknya. Theo masih bingung, apa sekarang Ariel punya seorang maniak baru di dalam hidupnya yang baru 4 bulan?. Apa Arielnya punya kekuatan magis menarik perhatian banyak laki-laki dewasa?. Kemarin tetangga gilannya, sekarang bos kakunya. Siapa lagi selanjutnya. Kasir minimarket yang sering ia kunjungi? Atau tukang parkir di daycare?.
Theo jadi khawatir.
"Dia baik" jawab Theo singkat. Ia tidak ingin berbasa-basi terlalu banyak tentang putrinya itu. Terlalu bahaya, bisa saja atasannya punya niatan yang aneh tentang Arielnya.
"Begitu. Bagaimana dengan paket itu? Apa sampai ke tempat tinggalmu?" tanya bosnya. Theo mematung, paket mana yang di maksud?.
"Paket?"
"Ya, paket. Apa sampai?"
Theo memasang ekspresi paling aneh miliknya. Percaya atau tidak, perlengkapan yang banyak itu yang bahkan bisa menjadi persediaan hingga 3 bulan kedepan berasal dari atasannya sendiri. Yang bahkan tidak mengenalnya dengan baik, yang bahkan hanya tahu sedikit tentang dia dan juga putrinya. Apa semua karyawan yang memiliki bayi ia perlakukan sama? Atau hanya dia dan Arielnya?.
Theo bingung sangat bingung.
"Bilang saja padaku jika kurang. Aku akan memberi subsidi tambahan"
Tidak, sungguh Theo tidak butuh. Ia bisa menghidupi bayinya sendiri dengan uang gajinya yang memang tidak banyak. Tapi setidaknya dengan tabungannya yang ada ia mampu bertahan. Ia tidak butuh bantuan dari manapun. Ia bukan gembel yang harus di beri sumbangan.
Tanpa menjawab apapun Theo sudah beranjak dari sana. Ia muak dengan orang yang menganggap dirinya butuh bantuan, jikapun Theo memang butuh ia tidak akan meminta dengan mudah. Ia memang baru di kehidupan Papanya ini. Tapi setidaknya ia berusaha. Ia berusaha menjadi Papa yang baik, Papa yang memenuhi kebutuhan putrinya, Papa yang membagi waktunya antara bayinya dan kerjanya.
Ia berusaha, dan ia tidak butuh di kasihani.
TBC...
Bantu saya memperbaiki kesalahan dalam pengetikan.Terimakasih untuk vote yang kalian berikan. Saya akan berusaha lebih lagi untuk kalian. Sekian, semoga kalian menikmati..
P.s : untuk sementara update masih tidak menentu. Saya masih berusaha untuk terus update walaupun tidak tahu waktu pastinya. Jadi, jangan bosan menunggu. Saya berterima kasih kepada kalian.
Salam sayang Mizu..
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...