Setelah memasukkan tas milik Ariel di bangku penumpang, Theo memutar dan masuk ke dalam bangku kemudi. Menghela nafasnya sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya.Mobil itu berderu ketika Theo menginjak pedal gasnya. Ia memundurkan mobilnya dari jajaran parkir lalu memutar keluar dari lapangan parkir apartemennya.
Theo melihat Ariel sebentar, lalu memfokuskan dirinya pada kemudi. Hari ini Ariel terlihat super lucu. Dengan dres pinknya, sepatu boot dengan renda dan warna senada lalu topi kupluk dengan buntalan bulu di puncuknya. Theo total gemas, ia bahkan tidak tahu sejak kapan ia mulai tertarik dengan style bayinya. Setiap harinya Theo selalu berusaha untuk membuat bayinya tampil cantik dan lucu.
Setelah 25 menit perjalanan, akhirnya Theo sampai. Ia segera menyelempangkan tas Ariel di pundaknya dan keluar dari mobil. Memasuki supermarket dan menarik satu troli untuk menampung belanjaannya.
Ariel terlihat bingung. Suasana ramai membuatnya sedikit pening. Matanya bergerak cepat mengikuti kemana beberapa pengunjung pergi. Lalu tangannya terangkat menunjuk hal hal yang baru di matanya. Mulutnya berdecak nyarik seiring dengan ramainya suasana. Theo terkekeh melihat ekspresi baru Ariel.
Selama beberapa bulan bersamanya ini memang kali pertama Theo membawa Ariel pergi ke tempat ramai selain di Daycare. Theo sedikit merasa bersalah karena jarang meluangkan waktu.
Theo meletakkan 2 kemasan besar popok ke dalam trolinya, beberapa tisu basah, beberapa botol bedak, minyak telon, dan bebrapa cologe. Setelah perlengkapan Ariel terpenuhi, kini ia harus memenuhi isi dapurnya.
"Ariel, Papa ingin coba memasak menu baru yang Papa temukan di internet. Dari tampilannya terlihat enak" guman Theo.
Ia mengambil beberapa rak telur, beberapa kantung roti, selai, sereal, daging, sosis, nugget, dan beberapa ikat sayur.
Setelah merasa bagian dapur selesai, ia pergi ke bagian camilan. Theo mengambil beberapa karton susu, 2 keripik kentang berukuran besar, 3 batang coklat, 5 chupacups rasa cola, 1 kotak macaroon, dan beberapa lainnya.
Ketika berbalik ingin melihat tumpukan yogurt dan keju Theo terkejut kala seorang wanita paruh baya menepuk pundaknya. Kelopaknya bergetar, kakinya terasa sangat lemas, pegangan tangannya pada troli menguat, dan pelipisnya terasa sangat basah.
Ia tidak tahu harus apa, hatinya getir, lidahnya kelu. Sungguh ia belum siap jika harus seperti ini. Theo berusaha menarik nafas walaupun sulit, seperti ada yang menekan dadanya kuat, ia hanya bisa mengambil nafas separuh.
Tatapan wanita paruh baya itu menyipit, ada ekspresi heran dan bingung di dalam kerutan wajahnya. Senyumnya tergantung, dan setelah beberapa menit wanita itu menghela nafas. Mencoba berfikir jernih dan bertanya.
"Theo anakku, ibu tidak menyangka kita bertemu di sini. Ayah dan ibu berencana untuk mengunjungimu hari ini, kami sengaja tidak memberi tahumu karena kami ingin mengejutkan mu. Baru saja ibu membeli 3 kotak macaroon dan sereal kesukaanmu. Ibu fikir kau terlalu lelah bekerja sampai lupa menelepon kami. Tapi selain itu, siapa bayi yang berada di gendonganmu nak? Ibu tidak ingat kau punya teman yang sudah menikah bahkan punya anak" ujar wanita itu.
Theo tergugu, lidahnya terlalu kelu untuk di gerakkan, bibirnya seperti mengunci rapat. Bukan seperti ini maunya, ia akan memberitahu ayah dan ibunya perihal Ariel. Tapi bukan saat ini, Theo tidak siap.
"Sayang, apa yang membuatmu begitu lama di-Theo tidak kusangka kita akan bertemu di sini. Kami fikir kau bekerja hari ini dan rencananya malam nanti kami akan mengunjungi mu-tunggu tunggu bayi siapa itu?" tanya sang ayah. Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang tak kunjung Theo ucapkan.
Ia hanya tersenyum getir, tangannya makin erat menggenggam pegangan troli. Ayah dan ibunya mengerutkan alis.
Apa yang harus Theo ucapkan saat ini. Ia tidak ingin di pukul di tempat ramai seperti ini. Ia tidak ingin ayah dan ibunya menginjak Ariel saat ini.
Theo tahu ia salah, dan Theo akan menjelaskan semuanya. Tapi tidak saat ini, tidak sekarang. Ia belum mengumpulkan keberanian.
"Ayah.. Ibu.. " hanya itu yang terucap. Theo berusaha meraup banyak udara ke paru parunya. Berusaha bersikap sesantai mungkin, berusaha untuk tidak terlihat menyedihkan di depan bayi dan orang tuanya. Ia berusaha sangat berusaha, sampai rasanya air matanya ingin jatuh.
Theo tahu ia seorang pria, ia seorang Papa sekarang. Tapi bukan berarti ia tidak bisa menangis. Di mata orang tuanya, ia masihlah Theo yang berusia 5 tahun. Di mata ibunya Theo masihlah bayi kecilnya. Di mata sang ayah Theo masihlah jagoan kecilnya.
Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan katakan. Mentalnya masih lemah jika di hadapkan dengan masalah seperti ini. Ia sangat lemah jika menyangkut ayah dan ibunya.
"Theo... nak kau baik baik saja?" tanya sang ibu. Ada gurat khawatir di matanya. Theo makin tidak bisa melawan ketika mata itu menumbuk penglihatannya.
"Theo ada yang ingin kau jelaskan sekarang?" tanya sang ayah.
Theo menghirup udara, banyak hingga diafragmanya menekuk. Ia mengangguk lemah sebelum akhirnya bergumam lirih. Sangat lirih.
"Iya"
"Baiklah, bayar belanjaanmu dan kita bertemu di cafe A. Aku dan ibumu akan menunggumu di sana" kata ayahnya dengan tegas. Sang ibu menggeleng, ia menggenggam tangan Theo yang terasa sangat lembab.
"Tidak sayang, kita temani di membayar belanjaannya. Lalu bersama sama ke cafe itu" keukeuh sang istri.
Pria yang berusia akhir 50 tahunan itu menatap istrinya tegas.
"Tidak Elein, ia sudah dewasa. Aku tahu itu" katanya.
Theo meringis mendengar ayahnya mene
kan kata dewasa. Dengan berat Theo memgangguk mengiyakan sang ayah. Pergi ke kasir membayar semua belanjaannya dan menyusul ke cafe yang di perintahkan sang ayah.Kakinya terasa berat selama perjalanan. Ia melihat Ariel yang berada di dalam gendongannya, Ariel tetap pada ekspresi awalnya. Seperti tidak terganggu dengan kedatangan nenek dan kakeknya. Bibir mungil Ariel mengoceh ria, matanya mengerjap penuh rasa penasaran.
Sejenak Theo merasa aman. Bayinya adalah tanggung jawabnya. Bahkan bila sang ayah memukulnya, itu adalah balasannya karena membuat Ariel tumbuh bersama Papa yang tidak berpengalaman. Jika saja Ariel bisa memilih Papa, mungkin Theo adalah orang kesekian yang akan di pilihnya.
Mau bagaimana pun Ariel adalah bayi yang pintar dan lucu, terlepas dari bagaimana ia bisa terbentuk ia adalah bayi yang tidak berdosa. Ia bukan sebuah kesalahan, ia hanya bentuk ketidaksengajaan yang Theo akui sudah sangat berharga dalam hidupnya.
"Ariel sayang, ayo bertemu nenek dan kakek. Papa harap mereka menerima mu sama seperti Papa yang mencoba menerima keadaan Papa sekarang. Ariel jangan menangis ya di hadapan nenek dan kakek, tersenyum ya sayang. Tunjukkan kalau Ariel adalah ciptaan paling sempurna yang Papa buat. Key! "
TBC..
Selamat siang semua, semoga hari kalian menyenangkan dan semoga chapter ini dapat menghibur kalian.
Saya senang, banyak dari kalian menunggu chapter baru yang akan datang. Saya merasa selalu di nantikan. Terimakasih banyak, karena kalian saya harus bisa membagi waktu saya agar bisa terus menghibur kalian.
Sekali lagi terimakasih, dan jaga terus kesehatan. Jujur, saya mulai bosan di rumah dan waktu berleha saya banyak tapi tidak ada mood untuk menulis. Semoga saja, kedepannya mood saya berlimpah untuk menulis.
Salam sayang,
Mizu
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPA
General FictionTheo adalah seorang single Papa. Kesalahannya yang membawanya pada keadaan tersebut. Sehari-harinya ia hanya mengurus bayinya dan bekerja. Tidak ada satu hari yang ia lewatkan selain melakukan dua hal itu. Ia tidak tahu kalau masa lalu menyeretnya...