2

17.2K 2.6K 171
                                    

Musim gugur adalah satu dari sekian banyak hal yang Haechan benci. Dia tidak pernah menyukai ketika angin dingin musim gugur menerpa lembut setiap inci kulitnyaㅡitu akan membuatnya terserang flu. Dia tidak pernah tahan akan dingin. Namun, kalau disuruh membandingkan, Haechan tetap akan memilih musim dingin. Banyak yang akan bertanya, kenapa? Bukankah musim dingin jauh lebih dingin dibandingkan musim gugur?

Ya, karena musim gugur adalah saat dimana sang ibu hadir sekaligus pergi dari dunia ini.

Senja kali ini, Haechan menghabiskan beberapa menit yang tersisa dengan berada di atap sekolah. Sendirian, tetapi dia sangat menikmati waktunya. Dia sempat merokok, tetapi hanya satu batang saja karena kepalanya sudah sangat pusing. Banyak yang membuat pikirannya penuh akhir-akhir ini, dan Haechan bingung harus melampiaskannya kemana. Yang jelas, bukan merokok jawabannya. Haechan sebenarnya ingin pergi ke arena balapan, tapi mengingat kepalanya sudah mulai berdenyut tak karuan, dia pun mengurungkan niatnya.

Pukul enam sore, dan Haechan baru sampai di rumah. Dia merogoh saku celana, mengeluarkan kunci rumah yang ada di dalam sana. Kepala kunci dimasukkan ke dalam lubang, kemudian dia memutarnya, tapi sepertinya tidak bisa. Haechan mengernyit, menarik kuncinya dan memeriksa apakah dia memasukkan kunci yang benar. Aneh, kuncinya benar, tetapi pintunya tidak mau terbuka.

Dan hanya ada satu kemungkinan mengapa: ayahnya sudah pulang. Apabila sang ayah sudah pulang, kuncinya berarti sudah tercolok dari dalam. Karena itulah Haechan tak dapat membukanya. Tentu saja.

Haechan pun mundur selangkah, kemudian telunjuk kanannya menekan bel yang terletak tepat di sebelah pintu. Tombol itu bergetar di bawah kulitnya dan samar-samar, dia dapat mendengar suara bel yang berbunyi di dalam rumahnya sendiri. Haechan menarik tangannya, dan kali ini, bunyi bel yang samar tersebut digantikan dengan derap langkah kaki seseorang yang sayup-sayup menuju ke arah pintu.

Kunci diputar dan pintu pun terbuka, menampilkan ayahnya yang masih memakai baju kerja. Dasinya sudah ditanggalkan, menyisakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga ke sikut saja. Sang ayah menggeser tubuh, membuka akses bagi anaknya untuk masuk ke dalam.

"Tumben pulang cepat, Haechan," kata sang ayah seraya menutup pintu dan menguncinya kembali.

Haechan yang sedang melepas sepatu, mengernyit sinis ketika mendengar ucapan sang ayah. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu pada ayah."

Haechan melepas ransel dan melemparnya ke sofa di ruang tengah. Sang ayah yang sudah mendahului ke dapur, hanya bisa bergumam kecil, memperingatkan anaknya agar tidak sembarang membanting barang. Omega itu mendengus, kemudian menyusul ayahnya ke dapur.

"Haechan," sang pemilik nama hanya bergumam seraya menuangkan air ke dalam gelasnya. "Mumpung kau pulang cepat hari ini dan besok sudah akhir pekan, aku ingin kau ikut makan malam denganku bersama klien."

Haechan merotasikan matanya malas, "mereka klien ayah, kenapa aku harus ikut juga."

"Dia ingin bertemu denganmu."

"Dia?" Haechan mengernyit bingung. "Dia siapa?"

"Pria yang kemarin."

Oh, damn.

Prediksi Haechan terhadap acara makan malam bersama 'klien' sang ayah ternyata tidak berjalan seperti yang diperkirakan. Pada awalnya, Omega itu mengira akan ada beberapa pria berpakaian formal dengan feromon khas Alpha yang menguar dari tubuh mereka, berkumpul dalam sebuah bundaran meja, dan menikmati obrolan mereka tentang bisnis lebih daripada makanan yang dihidangkan. Dan ketika mereka sampai di tempat yang telah ditentukan, prediksi Haechan langsung buyar hingga ke akarnya.

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang