20

8.5K 1.4K 148
                                    

Hari pertama di bulan Desember, salju justru turun begitu lebat.

Mark tengah berdiri di samping jendela di kamar yang pernah Haechan tempati ketika salju turun. Dia sedang melakukan kebiasaannya hampir sebulan ini, melamun dan merenung.

Carmen, yang memperhatikan dari celah pintu kamar yang terbuka, hanya bisa mengiba. Meskipun setelah beranjak dewasa, hubungan Carmen dan Mark merenggang, namun Omega itu tahu bahwa kakaknya tidak pernah sekacau ini. Keluarga kecil mereka pernah kehilangan sosok ibu sebelumnya, namun Mark justru menjadi satu-satunya yang merengkuh Carmen dan sang ayah sekaligus.

Si sulung dengan status Alpha-nya itu, selalu dituntut ini dan itu. Mark tidak dapat bebas mendapat hal yang ia inginkan, harus selalu ada campur tangan orang tua. Dia dididik dengan keras, begitu bertolak belakang dari Carmen. Mark diharapkan dapat tumbuh menjadi sosok yang dapat diandalkan, dengan bahu yang tegar dan punggung yang mampu menanggung beban. Serta, kebijaksanaan untuk menjaga nama baik Keluarga Lee.

"Mark," Carmen menghampiri dan meremat lembut bahu pria tersebut. "I'm sorry."

Mark sempat menoleh dengan tatapan kosongnya, lantas kembali menatap lurus ke depan.

"Aku merindukannya, Carmen."

"Aku tahu."

Suaranya terdengar begitu lirih dan putus asa. Hati Carmen seolah disayat karenanya.

"Mau tahu sesuatu?" Carmen menjilat bibirnya yang kering. "Waktu kita masih kecil, aku sangat iri padamu."

Mark menyeringai sedih. Bingung dengan pola pikir Carmen.

"Aku iri padamu juga," balasnya kemudian.

"Kau tahu? Kau adalah kebanggaan keluarga. Kau didambakan oleh semua Omega, kau membuat iri semua Alpha," Carmen berdeham. "Kau selalu menjadi yang terbaik. Semua orang tunduk padamuㅡkau sempurna."

Mark terkekeh miris. Carmen tidak tahu saja apa yang harus Mark lalui untuk mendapatkan itu semua. Betapa naifnya Carmen?

"Kau tahu, apa yang dapat membuatku lebih iri lagi?" Mark menghela napas. "Kau adalah permata keluarga yang tersembunyi, Carmen. Ayah dan ibu tidak pernah menuntut tapi kau selalu membanggakan mereka. Tidak butuh usaha yang besar bagimu, karena kau anak yang berbakat. Kau selalu membuat semua orang terkejut dan mengapresiasi karyamu."

"Itu karena mereka tidak pernah berharap padaku!" Carmen lepas kendali, air mata meluncur bebas ke pipinya. "Mereka tidak pernah menganggap aku ada. Karena aku hanyalah seorang Omega, statusku rendah dan tidak dipandang."

"Dan, apakah kau pikir, tidak sulit untuk menjadi kakak sekaligus Alpha?" Mark menghapus air mata sang adik. "Aku dituntut untuk sempurna dalam segala hal. Itu membuatku merasa tertekan."

Carmen tak pernah memikirkan itu. Dia hanya melihat apa yang telah Mark capai selama ini: nilai-nilai sempurna, kemampuan bersosialisasi, dan bakat bermusiknya yang luar biasa. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak Carmen tentang bagaimana perjuangan Mark untuk mendapatkan semua itu.

Berapa hari Mark tidak tidur agar nilai di rapornya bagus. Bagaimana Mark harus memaksakan diri berteman dengan orang-orang tertentu saja. Juga, ketika Mark terpaksa meninggalkan klub renang karena ayah dan ibu tidak setujuㅡdia justru dipaksa masuk klub musik.

Dan, dia melakukan semuanya demi memenuhi ekspektasi dan harapan orang tua.

"Sementara itu kau bebas melakukan apa saja," lanjut Mark. "You went to your friend's party when I was stuck in my room, studying for exams. You started to drink when you were not even seventeen yet. You even hit on your friend's juul when you were in college."

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang