21

8.1K 1.5K 207
                                    

Peti itu diturunkan secara perlahan ke dasar bumi. Langit kelabu berkabut turut hadir di sana, ikut menangisi kepergian Kwon Eunbin akibat kanker darah yang beberapa tahun terakhir telah menggerogoti tubuhnya tanpa ampun. Kidung kematian dinyanyikan. Burung gagak menyalak nyaring dari kejauhan, seolah ikut bernyanyi pilu. Para pelayat yang bernaung di bawah payung hitam, tak kuasa menahan kenestapaan.

Dari balik pohon, di mana kawanan gagak bertengger, ada Mark yang berdiri di sana. Dia adalah tamu yang tak diundang, bahkan tak diinginkan.

Tanggal dua puluh empat, bulan Desember ㅡdi malam yang seharusnya dipenuhi oleh sukacitaㅡKwon Eunbin yang berusia tujuh belas akhirnya pergi menuju peristirahatannya yang terakhir.

Di setiap malamnya, Mark berharap bahwa Eunbin tidak akan pernah pergi. Dia menginginkan kehadiran Eunbin untuk dirindukannya suatu saat nanti. Dia tidak ingin Eunbin pergi meninggalkan memori kebersamaan yang diciptakan keduanya, hanya untuk dikenang oleh seorang saja.

Mark membenci dirinya yang tidak pernah mau belajar tentang cinta. Mark membenci dirinya yang selalu angkat tangan, berserah pada bagaimana alam semesta menentukan takdir hidupnyaㅡtanpa menyadari sedikit pun bahwa, siapapun termasuk dirinya, dapat mengubah takdir kalau saja dia mau berusaha. Mark membenci dirinya yang selalu melihat ke belakang dan membuat masa depannya terbengkalai. Mark membenci dirinya yang selalu menjadi bajingan.

Mark membenci dirinya karena dia sadar, dia tidak pantas dicintai.

Dan, ketika air mata mengalir ke pipinya, Mark tidak tahu mengapa dia menangis. Apakah dia menangis karena kepergian cinta pertamanya untuk selamanya? Apakah dia menangis karena kebodohannya yang menyia-nyiakan cinta Haechan? Apakah dia menangis karena lelah, terus-terusan berlari dari kenyataan?

Selama dua puluh lima tahun hidupnya, Mark sudah menjadi bahu untuk semua orang bersandar padanya. Dia selalu menawarkan dekapan hangat bagi siapapun yang membutuhkan. Mungkin dia memang bukan pendengar yang baik, apalagi dalam memberi nasihat. Namun, Mark akan selalu berada di sana kapanpun mereka membutuhkannya untuk diam dan berkeluh kesah.

Mungkin sekarang, di titik paling terpuruknya, Mark membutuhkan seseorang untuk mengulurkan tangan mereka padanya secara sukarela.

Untuk membantunya keluar dari bayang-bayang yang menghantui tiap malam.

"I loved you too, Eunbin."

"Selamat Hari Natal!"

Di Malam Natal, Haechan dan Johnny memutuskan untuk berkunjung ke rumah ayah Haechan di Incheon.

Tahu bahwa ayahnya memang pandai memasak, Haechan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Sudah beberapa bulan sejak dia terakhir kali berpijak di rumah ini, yang artinya sudah lama dia tidak makan masakan ayahnya.

Terkadang, di malam hari, Haechan akan merenung di pinggir jendela kamarnya. Dia akan merenung tentang, bagaimana dia merindukan rumah dan kehidupan lamanya. Dia rindu melakukan perdebatan tidak penting yang hampir setiap hari dia lakukan bersama ayahnya. Dia rindu dengan ayahnya yang terkadang membentaknya dengan suara Alpha-nya, berharap agar Haechan dibuat takut karenanya. Dia juga rindu membolos kelas, main kejar-kejaran dengan guru piket di koridor sekolahㅡdan, yang terutama, menghajar Alpha bajingan yang berkeliaran di gang-gang sempit tiap malam.

Lucu rasanya ketika menyadari betapa galak dan beraninya Haechan untuk menghajar telak Alpha lain, sementara ketika berhadapan dengan Alpha-nya sendiri, dia justru menciut dan kembali ke kodrat asalnya. Lembek. Cengeng. Tidak punya harapan.

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang