4

14.6K 2.5K 358
                                    

"Bagaimana makan malamnya semalam, Mark?"

Pintu ruangan dibuka, bau apek lembaran buku-buku usang menyeruak masuk ke indera penghidu. Mark mempersilakan Alpha paruh baya itu untuk masuk terlebih dulu, barulah dirinya menyusul setelah menutup pintu. Ayah Haechan duduk di kursi dekat rak buku geografis. Tangan kanannya tergerak untuk menuangkan teh ke dalam dua cangkir yang telah disediakan. Sementara itu, Mark berjalan-jalan di sekitarnya, mengamati barisan-barisan buku yang berjejer rapi di rakㅡyang umurnya mungkin lebih tua dari dirinya sendiri.

"Berjalan dengan cukup baik."

"Sebelumnya, aku minta maaf atas kelakuan buruk putraku," ujar Tuan Lee dengan nada menyesal.

"Bukan masalah besar," Mark membalik badan dan mengarahkan tungkai jenjangnya ke kursi yang kosong.

"Nikmati tehnya," Tuan Lee menyodorkan secangkir kepada sang Alpha muda.

Mark menggumamkan kata terimakasih sembari menerimanya. Dia menghempaskan bokongnya ke atas kursi, sebelum akhirnya menyesap teh hangat tersebut. Ekor matanya melirik ke arah Tuan Lee. Menunggu pria itu untuk mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun, karena beberapa detik mereka dihabiskan untuk tenggelam dalam keheningan, maka Mark berusaha untuk berbasa-basi.

"Apa Haechan pernah kesini sebelumnya?"

Mendengar nama anaknya, Tuan Lee tersenyum. "Belum, dia menolak kemari."

"Kenapa?"

"Entahlah," jawab Tuan Lee. "Dia lebih suka berada di rumah lama kami."

"Ada banyak kenangan yang sulit baginya untuk ditinggalkan begitu saja," ujar Mark berpendapat. "Barangkali tentang ibunya."

Tuan Lee tersenyum getir. Semua yang Mark katakan memang benar apa adanyaㅡmeskipun pria itu hanya berusaha menjaga sopan santunnya dengan berbasa-basi. Inilah salah satu alasan mengapa Tuan Lee sangat menyukai seorang Mark Lee dan berniat menjadikan pria itu sebagai pendamping hidup anaknya. Karena Mark mengerti bagaimana caranya bersikap.

"Dia memang tidak pernah bilang, tapi siapapun akan tahu."

"Benar," balas Mark, mempertimbangkan untuk menyudahi topik sensitif ini saja.

Tuan Lee menangkap sinyal dan merasa bangga akan Mark. Dia pun mengubah topik. "Bagaimana menurutmu?"

"Dia anak yang cerdas dan manis. Andai sikapnya berubah, semua orang akan menyukainya."

"Lalu, bagaimana perihal mate?"

Pertanyaan itu dibiarkan mengambang di udara untuk sejenak. Ada sekelebat ingatan yang melesat ke dalam benak layaknya petir yang menghantam cakrawala hanya dalam sepersekian detik. Sebuah senyuman tipis yang ditujukan tak kepada seorangpun terukir di wajah tampannya. Mark lalu mengadah, menatap Tuan Lee yang kebingungan karena tingkahnya.

"Pertemuan kami bukanlah suatu ketidaksengajaan," Mark meletakkan cangkir tehnya dan menyilangkan kaki. "Bukan juga karena sekedar perencanaanmu, Tuan Lee."

"Apa maksudmu, Nak?"

"Aku takkan mengambil Haechan sebagai mate-ku," Mark mengukir senyuman tipis. "Tapi, kami memang mate."

Haechan berlari melintasi koridor sekolah. Adrenalin terpacu di dada, nafasnya pendek karena paru-parunya mulai kehabisan pasokan. Derap langkah kakinya terdengar cukup nyaring dan mengganggu akibat sol sepatu yang bergesekan langsung dengan lantai. Suaranya menggema, terdengar dari ujung ke ujung lorong.

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang