14

11K 1.8K 254
                                    

Mark baru saja melangkah masuk ke dalam penthouse sewaktu dia menemukan Haechan yang tengah berbaring di sofa sambil menonton televisi. Omega manis itu rupanya menyadari kehadiran Mark dan spontan menyapa sang Alpha.

"Hey." Haechan melambaikan tangannya sebelum akhirnya kembali terfokus pada televisi di hadapannya.

Mark diam-diam tersenyum kecil. Suatu hal yang mungkin dianggap bukan apa-apa bagi orang lain ataupun Haechan, mungkin saja dianggap sesuatu yang cukup langka dan justru membuat suasana hati Mark membaik. Seolah semua beban yang ditanggungnya selama di kantor, sirna begitu saja dalam sekejap hanya karena Haechan.

Oh, sejak kapan Mark jadi head over heels begini?

Pria yang lebih tua memutuskan untuk menghampiri yang lebih muda setelah sebelumnya meletakkan tas kerjanya di meja ruang tengah. Haechan sontak mengubah posisinya semula menjadi duduk, memberikan spot bagi Mark untuk ikut duduk di sebelahnya.

"Harusnya kau tidur," kata Mark sambil melepas arloji mahal yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

"Ugh, aku tidak bisa tidur."

Haechan mengusap wajahnya kasar. Dia kemudian mengambil remot televisi dan mematikannya, tidak peduli jika dia harus membiarkan dirinya melewatkan serial kesukaannya. Lagipula, Mark juga sudah pulang. Setidaknya, Haechan tidak kesepian lagi.

"Memikirkan yang tadi siang?" Tebak Mark.

"Seratus untuk anda, Tuan Lee."

Haechan bersandar pada sandaran sofa dengan posisi malas. Kepalanya menghadap langit-langit, tetapi dia menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangan. Melihatnya, Mark beringsut mendekat.

"Apa kau menyesal?"

"Apa?" Haechan menyingkirkan kedua tangannya dan melirik Mark dari sudut mata.

"Apa kau menyesal melakukan ini?" Ulang Mark, tangannya beralih mengelus lembut surai Haechan.

Omega itu terdiam. Pertanyaan Mark menohoknya tepat di ulu hati. Apakah dia menyesal? Haechan tidak tahu jawabannya. Kalau memang tidak menyesal, kenapa masih memikirkan masalah itu seolah tidak terima? Bukankah seharusnya Haechan diam saja dan menerima fakta kalau dia tidak menyesal?

"Menyesal karena menolong Jaemin? Tidak," jawab Haechan.

"Kalau begitu, jawabannya adalah kau menyesal karena tidak memberi pembelaan untuk dirimu sendiri di ruang kepala sekolah tadi?"

Check mate.

"Tapi, kupikir itu semua tidak ada gunanya," Haechan menatap Mark sendu. "Jeno punya kawanan yang tentu saja membelanya sampai mati. Jeno juga punya bukti fisik berupa wajah jeleknya yang babak belur ituㅡkeberuntungan sedang tidak berpihak padaku saat ini."

"Lantas, apa yang kau khawatirkan, sayang?" Mark meraih wajah Haechan untuk ditangkup dengan kedua tangan besarnya. "Kau melakukan hal yang benar, and that's it!"

Haechan menatap Mark dengan sorot yang menunjukkan kekaguman luar biasa. Seumur hidup, belum pernah ada seorang pun yang sangat suportif terhadap dirinya. Tidak, bahkan ayah kandungnya sekalipun.

"Aku pernah menjadi remaja dan aku mengerti sekali apa yang mungkin kau khawatirkan," kata Mark sembari menatap Haechan dengan tatapan teduh. "Reputasi, hm?"

"Yah.." Haechan menggaruk kepalanya sendiri, bingung harus jawab apa karena Mark kembali menamparnya dengan realita.

"Dengarkan aku," Mark memegang kedua sisi bahu Haechan. "Reputasi itu bersifat relatif. Seperti roda kehidupanㅡkita tidak bisa menebak bagaimana akhirnya. All I want you to know is, I'm so fuckin' proud of you."

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang