6

15.2K 2.4K 648
                                    

"Omong kosong," desis Haechan, geram karena tingkah pria di hadapannya itu.

"Sudah kubilang sebelumnya," Mark menyeringai. "Cobai aku, dan kita lihat bagaimana kau akan menyesalinya."

"Aku tidak akan menyesal atas pilihanku sendiri," kata Haechan penuh penekanan.

Pusing yang menyerang tak kunjung pudar memang, apalagi dalam keadaan seperti iniㅡdimana leher Mark berada beberapa senti di depan hidungnya. Tapi, Haechan sedang dalam suasana hati yang buruk begitu mengetahui apa yang akan Mark lakukan padanya. Mengatur, menghukum jika melanggar, dan tentu saja, memaksa Haechan untuk mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya selama ini.

Ayahnya sendiri bahkan tak berani bertindak sampai sejauh ini. Yang dilakukannya hanyalah marah-marah sendiri, menyebarkan ancaman yang sebenarnya hanyalah omong kosong semata, atau separah-parahnya dia akan membentak Haechan dengan suara Alpha-nya. Itu saja, tidak pernah lebih. Tapi, dari situ saja, Haechan sudah menganggap sang ayah membenci dirinya.

Lantas, Mark akan dianggapnya apa?

Pembunuh kebebasan?

"Well, let's see." Mark melangkah mundur, kemudian mengulas senyum lebar yang dipaksakan, sebuah upaya untuk menyindir Haechan.

Haechan menggeram pelan. Kedua tangannya terkepal lebih kuat lagi di masing-masing sisi tubuh, pada bagian pinggir telapak tangan tercetak bekas kukunya sendiri. Membuktikan bahwa Haechan tengah bersusah payah menahan emosi untuk tidak meluap dan menghajar Mark Lee yang kurang ajar itu.

Sang Alpha muda membalik badan, kemudian setengah beranjak dari ruang tengah sebelum suara Haechan kembali menginterupsi.

"Aku tidak akan membiarkan bajingan sepertimu masuk dengan mudah ke dalam kehidupanku, Mark."

Mark berhenti melangkah lebih lanjut ketika suara indah itu mengalun. Sebuah seringaian tipis terlukis di wajahnya meski tidak dapat dilihat Haechan. Pemuda itu baru saja melanggar dua poin peraturannya sekaligus. Yah, karena baru hari pertama, maka Mark akan berbaik hati sedikit dengan berpura-pura tidak mendengarnya.

"Selamat malam, Haechan."

Punggung tegap itu menghilang dari pandangan. Rasa lapar Haechan juga menguap entah kemana.

Keesokan harinya, suasana hati Haechan bahkan belum juga membaik. Justru kelihatannya memburuk, karena dia tidak dapat mengontrol emosinya dan hal tersebut berhasil menimbulkan perdebatan diantara teman-temannya yang lain. Haechan jadi sangat sensitif. Terkadang marah-marah karena hal kecil atau bahkan tanpa penyebab. Itu membuat beberapa dari mereka merasa jengkel dan menyulut pertengkaran.

Dan, disinilah Haechan, pergi ke salah satu bar terkenal di kota dengan tujuan merokok di rooftop-nya. Haechan jujur saja sudah menjadi langganan bar ituㅡbeberapa bartender tetap maupun paruh waktu sudah banyak yang mengenalnya. Haechan sering kesana karena ajakan teman-temannya, tentu saja. Namun, untuk mencoba minum-minun dan berpesta ria, masih setitik keinginan untuk angkat tangan. Haechan tahu dirinya belum siap jika dibandingkan teman-temannya.

Omega itu membanting bungkus rokok kosong ke lantai balkon, kemudian sepatunya menendang benda tersebut sejauh mungkin. Haechan menyesap rokok terakhirnya, membiarkan nikotin itu singgah ke paru-parunya dulu, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafasnya keluar, bersamaan dengan asap yang mengepul di udara malam musim gugur yang dingin.

Sudah tiga batang yang Haechan habiskan malam ini. Kepalanya juga mulai pening sejak dia menyulut tembakau kering terakhir. Tapi, belum ada rasa ingin berhenti sama sekali. Haechan mencoba untuk melampiaskan segalanya melalui tiap batang yang dia hisap.

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang