26

11.4K 1.4K 146
                                    

Gyeongju merupakan salah satu kota yang paling bersejarah di Korea. Dengan begitu banyak peninggalan yang ada, kota ini sampai-sampai dijuluki sebagai museum tanpa dinding. Suasananya damai dan asri, jika dibandingkan dengan hiruk pikuk Seoulㅡterutama pada bagian wilayah yang nyaris tak terjamah, seperti Cheonbuk-myeon, kampung halaman keluarga ibunya.

Haechan mungkin pernah tinggal di Jeju ㅡkebetulan perusahaan ayahnya memindahtugaskan beliau untuk beberapa tahunㅡ tetapi pemuda itu cukup sering dibawa ke kampung halaman asli sang ibunda. Alasannya klise, yakni kerinduan kakek dan nenek terhadap Haechan. Yah, meskipun Andrea Seo, ibunya, dan dua saudaranya yang lain lahir dan besar di Seoul, tetapi sebagian besar Keluarga Seo memilih untuk kembali dan menetap di Gyeongju. Kakek dan neneknya salah satunya. Mereka merantau ke Seoul, bekerja keras hingga mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri, dan kembali lagi ke kampung halaman untuk menikmati masa pensiun dengan udara segar serta ketenangan, yang tak bisa didapatkan di Seoul dan kota-kota besar lainnya.

Sejujurnya, hubungannya dengan kakek-nenek dari pihak ayah dan ibu bisa dikatakan terjalin dengan sangat baik. Terlepas dari status Omeganya, Haechan tetap cucu lelaki pertama yang telah diwanti-wanti oleh kedua belah pihak keluarga. Mereka menyayanginya lebih dari apapun, mereka bahkan memperlakukan Haechan seolah dia anak raja.

Di Cheonbuk-myeon sana, kakek dan nenek memiliki ladang luas dan peternakan kuda. Haechan jadi teringat ketika dia jatuh pada saat menunggangi salah satu kuda tersebut. Bahunya mengalami dislokasi dan dia mendapat benerapa memar di bagian tubuh yang lain. Padahal, umurnya baru sembilan tahun waktu itu. Kejadian ini cukup membuat Haechan trauma ketika melihat kuda, bahkan hingga saat ini.

"Menikmati waktumu, Haechan?"

Haechan tersentak dari lamunannya, menyadari bahwa suara sang nenek baru saja menyapa pendengarannya. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum mendapati neneknya tengah berjalan ke arahnya.

"Sangat," Haechan mengangguk. "Seoul terlalu sempit untuk menampung populasi yang begitu ramai. Aku merindukan ketenangan seperti ini."

Ketika angin berembus tiba-tiba, Haechan memeluk tubuhnya yang sudah dibalut hoodie kelabu. Angin terasa dingin dan lembab, membawa sisa uap air dari hujan tadi malam. Ini baru pukul lima pagi sehingga raja siang belum menunjukkan kehadirannya di langit. Haechan dapat merasakan tubuhnya yang bergetar pelan, menggigil karena tak terbiasa dengan lingkungan pedesaan.

"Sebaiknya kau masuk ke dalam," ujar neneknya sembari merangkul cucunya. "Omega yang sedang heat tidak boleh berlama-lama di luar."

Haechan menghela napas. Tentu saja neneknya tahu. Bau feromonnya pasti sudah tersebar kemana-mana sejak semalamㅡdia tahu kalau dia mungkin sempat membuat kakek-neneknya secara tidak langsung terbangun pagi buta begitu.

"Aku tidak apa, 'kok, Nek," balas Haechan, tersenyum pada sang nenek. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Kau tidak bisa berbohong padaku, anak muda," neneknya terkekeh geli. "Aku pun seorang Omega. Aku tahu bagaimana rasanya heat tanpa seorang Alpha."

Pada posisi yang tersudut seperti ini, Haechan hanya bisa menunduk dan mengulum senyum. Yah, dia memang tidak sepandai itu dalam berbohong, terutama pada orang yang lebih berpengalaman seperti neneknya ini.

"Aku sedang melarikan diri," lirih Haechan. "Nenek tahu, 'kan?"

"Tentu saja!" Sang nenek menjawil hidung Haechan gemas. "Kau pasti punya rencana karena kau menyuruhku untuk tutup mulut apabila sewaktu-waktu Jihyuk dan Johnny menanyakan keberadaanmu padaku."

Pemuda itu kembali mengangguk pelan. "Aku jenuh dengan kehidupanku, Nek."

"Apa ini tentang Alpha-mu?"

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang