19

8.6K 1.5K 181
                                    

Haechan akui, kelemahan terbesarnya adalah untuk beradaptasi di lingkungan baru. Meski Johnny sangat menerimanya, tetapi Haechan tetap merasa tidak enak. Di sisi lain, ini sudah minggu ke-2 dia membolos sekolah. Padahal, ini sudah tahun terakhirnya. Haechan seharusnya mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas.

Untuk saat ini, satu-satunya orang yang Haechan percayai selain Johnny adalah Jaemin seorang. Haechan pada akhirnya luluh dan memberitahu Jaemin dimana keberadaannya saat ini, setelah sahabat karibnya itu terus-terusan menyerbunya dengan berbagai macam pertanyaan, saking khawatir.

Siang itu, Haechan melesat keluar dari kamarnya begitu mendengar bel apartment dibunyikan. Pintu dibuka dan Na Jaemin memeluknya erat.

"Ya ampun, kau tidak tahu betapa khawatirnya aku."

"Aku tahu."

Haechan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Jaemin. Rindu akan bau feromon manis milik sahabatnya.

"Masuklah," ujar Haechan. "Omong-omong, kenapa kau bisa kemari siang-siang?"

"Aku baru saja selesai lomba debat," ujar Jaemin. "Yah, memang seharusnya kami kembali ke sekolah. Tapi, yang lainnya memilih untuk membolos. Jadi aku pergi menemuimu."

"Benarkah? Apakah juaranya sudah diumumkan?"

"Belum. Mungkin nanti sore."

Dan dua sejoli itu menghabiskan waktu hingga menjelang petang dengan mengobrol sambil makan camilan milik Johnny. Haechan bercerita pada Jaemin tentang alasannya untuk tidak menemui Mark, setidaknya sampai hatinya siap.

Jaemin tidak menemukan kesedihan di sorot mata sahabatnya sama sekali. Dia jadi bertanya-tanya, butuh berapa lama latihan bagi Haechan untuk menyembunyikannya dengan lihai? Bahkan ketika Jaemin mencoba untuk merangkul pundak Haechan, Omega itu buru-buru menepisnya lembut. Dia berkata, dia sudah tidak apa. Meski Jaemin tahu apa yang sebenarnya.

"Jadi, kapan kau akan kembali?"

"Entahlah, Jaemin. Aku tak bisa menjamin ituㅡuntuk saat ini."

"Kami semua merindukanmu," ujar Jaemin. "Bahkan Jeno pun menanyakanmu."

Haechan menyeringai geli. Dia tahu betul Jeno bukan orang yang suka basa-basi dan selalu masa bodoh terhadap urusan orang lain.

"Bedebah itu bisa peduli denganku juga?"

"Aku pun sama bingungnya denganmu," kekeh Jaemin.

"Tapi, Jaemin, berjanjilah padaku kau bisa menjaga dirimu sendiri selama aku tidak ada."

"Tenanglah, Haechan. Jeno tidak seburuk yang kau pikirkan."

"Kau tidak bisa bilang begitu," Haechan mengangkat bahu. "Yah, kau lihat saja bagaimana Mark pada akhirnya."

Jaemin menghela nafas. Dia meraih tangan Haechan untuk ditautkan dengan miliknya.

"Deep down, I know both Mark and Jeno are good guys," kata Jaemin. "We just.. don't know them yet."

"Tapiㅡ"

"Kita semua tahu Jeno dicap sebagai Alpha terbajingan di muka bumi ini. Tidak ada satu pun Omega yang ingin menjadi mate-nya. Dan, aku, adalah orang tersial karena aku belahan jiwa yang ditakdirkan untuknya. Awalnya memang sulit menjalani apa yang takdir kehendaki, tapi lihat, pada akhirnya aku tahu kalau Jeno tidak seburuk itu. Aku tahu ini juga berlaku sama bagi Mark dan Alpha lain yang dicap serupa seperti Jeno.

"Jeno hanya tidak pandai dalam menunjukkan afeksi, yang memberi dia kesan egois dan arogan. Aku tahu Mark justru sebaliknya terhadapmu. Tapi mungkin masalahnya terletak pada dirinya yang sulit mengekspresikan diri. Kalau Carmen bercerita tentang Mark telah menjalani masa lalu yang sulit di hidupnya, mungkin ada sesuatu yang belum terselesaikan sampai sekarangㅡyang tidak Mark ceritakan padamu. Bukan karena tidak mau, tapi karena dia tidak terbiasa atau malu menceritakan tentang dirinya sendiri kepada orang lain."

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang