27

11.9K 1.3K 276
                                    

notes:
1. chapter yg cukup menguras emosi apabila narasi dan dialog dihayati. harap dibaca ketika suasana hati sedang baik
2. ada semi explicit content. please suit yourself
3. sangat sangat sangat disarankan untuk mendengar Moondust by Jaymes Young (on repeat) sembari membaca chapter ini

__

Menjelang pukul empat pagi, Haechan terbangun oleh suara petir yang menyambar. Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat hujan memang sering turun di Seoul akhir-akhir ini. Mumpung kesadaran yang baru terkumpul masih seperempat, Omega itu pun berusaha untuk menutup mata dan kembali tidur. Masih ada sekitar satu atau dua jam lagi sebelum mentari benar-benar muncul ke permukaan kaki langit. Namun, harapannya dibuat pupus ketika ia mulai mendengar suara gemuruh yang bersahut-sahutan di luar.

Haechan mengerang, menarik selimutnya hingga ke atas kepala.

Rintik yang turun mulai mengetuk-ngetuk kaca jendelanya, menandakan bahwa hujan sudah semakin deras. Haechan menghela nafas, menarik turun selimutnya lagi. Kain bodoh ini justru membuatnya kehabisan pasokan oksigen karena pengap, dan bukan menghalau suara bising dari luar.

Pemuda itu membuka mata ketika perut bagian bawahnya mulai bereaksi lagi, disusul dengan bau feromonnya yang tiba-tiba menyerbak memenuhi kamar tidur. Haechan mengusap pucuk hidungnya. Rasanya tidak nyaman. Ia selalu benci saat-saat menjelang puncak heat seperti ini.

Menghampiri sang Alpha di kamarnya mungkin terdengar seperti opsi yang tepat. Namun, Haechan tidak mau mengganggu tidurnya. Semalam, mereka memutuskan untuk berpamitan pada kakek dan nenek Haechan untuk kembali ke Seoul. Mark berkendara selama tiga jam, dan ia yakin bahwa pria yang lebih tua pasti merasa lelah.

Ia menyibak selimut tebalnya, kemudian turun perlahan dari tempat tidur dengan kedua tangan memeluk perut bawahnya. Dengan langkah tertatih, Omega itu meraih tas punggung miliknya yang berada di atas meja. Butuh usaha yang cukup besar baginya untuk mengobrak-abrik isi tas dan mengeluarkan sebotol supresan yang ia beli pekan lalu, dalam perjalanannya menuju Gyeongju.

Ketika cairan lubrikasi itu mulai mengalir ke bagian paha dalamnya, Haechan menggigit bibir dengan kuat. Hawa di sekitar tubuhnya meningkat, kontras dengan suhu rendah di ruangan yang tengah ia tempati. Bulu kuduknya meremang; ia menggigil. Haechan memaksa tangannya, yang telah bergetar hebat, untuk membuka botol plastik itu. Saat ini, hanya ada satu hal yang berada di pikirannya: meminum supresan secepatnya.

Haechan berjengit, menjatuhkan pil supresannya ke lantai ketika pintu kamarnya dibuka secara kasar. Mark berdiri di daun pintu, menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Apa yang kau lakukan?"

Haechan menutup mulut dengan sebelah tangannya. Bila dia tidak dapat menahan air mata yang jatuh ke pipi, setidaknya, jangan biarkan Mark mendengar isakannya. Adalah suatu kebodohan sama sekali bila Haechan mengira dirinya dapat mengatasi heat sendirian, tanpa sepengetahuan Mark yang notabene merupakan Alpha-nya.

"A-aku tidak tahu."

Di satu sisi, Haechan sedang menahan Omega di dalam dirinya yang tengah meraung karena feromon pria yang lebih tua itu. Dadanya sesak dan kepalanya mulai pening. Pandangannya samar-samar mengabur, nyaris dibutakan oleh hasratnya sendiri. Omega di dalam dirinya begitu menginginkan Mark untuk menyentuh setiap inci tubuhnya saat ini juga. Namun, di sisi lain, dengan kewarasannya yang tersisa, ia takut Mark akan marah padanya perihal supresan itu. Padahal, ia tidak bermaksud untuk meremehkan atau mengabaikan eksistensi sang Alpha sama sekali.

Helaan nafas lolos dari bibirnya. Mark mendongak, menatap sang belahan jiwa dengan sorot mata teduh dan tatapan yang lembut.

"Bolehkah aku masuk?" Pintanya.

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang