3

14.9K 2.4K 100
                                    

Haechan tersinggung. Tentu saja.

Apa maksud pria itu? Tiba-tiba datang ke kehidupan Haechan, kemudian mengatai dia pembangkang secara tidak langsung. Yah, walau memang faktanya begitu. Tapi, 'kan, Haechan tidak suka kalau ada orang asing yang main hakim saja terhadap dirinya. Rasanya aneh dan janggal. Seolah ada seseorang menyuruhnya. Seseorang yang mengenal dan dikenali Haechan.

Makan malam itu berlangsung cukup baik. Makanannya lezatㅡHaechan belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi, tidak ada percakapan lagi diantara mereka setelah Mark berucap demikian. Haechan langsung membuang muka dan merotasikan matanya malas. Sejak saat itu, Haechan berjanji pada dirinya sendiri untuk membatasi kontak dalam bentuk apapun terhadap Mark. Pria itu ternyata menyebalkan dan gampang merendahkan orang lain. Dan Haechan tak butuh orang seperti itu di hidupnya.

"Bagaimana makan malamnya?"

Haechan melirik Mark sinis. Pria itu masih berani bicara padanya ternyata. "Menurutmu saja."

Saat ini, mereka tengah berjalan-jalan di sekitar restoran. Ada sebuah taman dengan kolam ikan kecil dan sebuah air mancur mini di sana. Mengingat belum akhir pekan, restorannya tidak seramai yang seharusnya. Jadi, suasana taman pada saat ini cukup sepi. Hanya ada sinar bulan redup yang menyinari wajah mereka, beserta suara percikan air dari pancuran yang menjadi saksi bisu percakapan canggung dua insan tersebut.

Mark mengajak Haechan duduk di sebuah kursi taman yang cukup panjang. Mark duduk di tengah, sementara Haechan mengambil tempat di paling pinggir, dimana pegangan kursi berada. Melihat tingkahnya, Mark pun mulai jengkel.

"Kau ini sebenarnya kenapa?"

"Pikir saja sendiri, smart ass," umpat Haechan.

"Aku lebih tua darimu," kata Mark, berusaha untuk tetap tenang. "Tidakkah kau pikir itu perilaku yang buruk?"

"Apa pedulimu, orang asing?"

Haechan menoleh dan menatap Mark tajam. Di bawah paparan sinar rembulan dan minimnya penerangan, wajah Mark bahkan beribu-ribu kali lebih tampan daripada aslinya. Haechan ingin menyerang Mark, namun ketika pria itu menatapnya dengan tajam juga, entah kenapa ada secuil rasa takut yang mencuat dari dalam hatinya. Tapi, pria ini sudah menodai harga dirinya yang lebih tinggi daripada langit. Haechan tidak bisa mundur begitu saja.

"Kau kira ayahmu bilang begitu padaku tanpa alasan?" Mark mengerutkan hidung. "Lihat saja dirimu saat ini."

"Aku memang tidak bisa ramah pada orang asing, dan kelihatannya kau juga begitu. Dan bukannya terjebak dalam percakapan canggungㅡkau," Haechan menunjuk Mark tepat di wajahnya. "Kau malah memperkeruh suasana. Apa sudah jelas bagimu untuk tahu siapa yang salah disini?"

"Haruskah aku juga menunjuk semua sikap kekanakanmu, Lee Haechan?"

Haechan mengerutkan kening, alisnya menukik tidak suka. Bibirnya tercebik dan tatapan matanya bahkan lebih tajam daripada mata pisau. Dia menatap Mark dengan nyalang. Haechan benar-benar sudah kalah berargumen saat ini.

"Sejak awal aku memang tidak menyukaimu."

"Suka atau tidak, kaulah yang tetap membutuhkanku nantinya."

"Bagaimana?"

Sepertinya sang ayah mendengar deru mesin mobil di luar dan buru-buru menghampiri anaknya yang baru saja menutup pintu rumah. Haechan merotasikan matanya dengan malas. Wajahnya sekusut kemejanya. Dia mendecih sebal sewaktu melihat ekspresi sang ayah yang antusias.

"Apanya?" Tanya Haechan sinis.

"Makan malamnya."

Haechan melonggarkan dasinya dan mendengus kasar. "Bedebah sinting itu menyebalkan."

Omega tersebut menghempaskan diri ke atas sofa. Wajahnya terlihat semakin masam entah karena apa. Sang ayah pun menyusul, mengambil tempat tepat di sebelah anaknya. Alpha yang sudah menyentuh kepala lima itu mengernyit bingung melihat suasana hati Haechan yang kelihatannya buruk.

"Apa yang terjadi?"

"Aku tidak mau bertemu dengannya lagi," tukas Haechan. "Dia penuh dengan omong kosongㅡsemua Alpha sama saja rupanya."

Ya, Haechan akan tarik ucapannya beberapa jam yang lalu. Dia kira Mark akan berbeda. Dia kira Mark hanya seseorang yang memang susah ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Rupanya, keramahan itu semuanya hanya berasal dari manner. Kalau dia tidak punya, Haechan rasa, Mark akan sama sepertinya. Karakternya tidak akan sebaik peringainya, dan semua orang tidak akan memujanya dan menjadikannya panutan.

"Dan, ayah," Haechan memutar tubuhnya menghadap sang ayah. Tatapannya seolah menghakimi. "Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba kau memintaku untuk bertemu dengannya?"

"Dia tidak bilang alasannya?"

Raut wajah Haechan berubah seketika, "tidak."

"Aku takkan memberitahu sebelum dia membolehkan," tukas sang ayah.

"Cih, sok penting," Haechan kembali mendengus. "Tapi, omong-omong, Yah, apa dia keturunan luar?"

"Mark?" Sang ayah mengerutkan hidung. "Tentu saja bukan."

Haechan kini mengerutkan kening, bingung dengan jawaban ayahnya. Lantas apa-apaan manik cokelat terang yang dilihatnya tadi? Warnanya yang terang membuatnya terlihat sangat jelas dan sulit diabaikan begitu saja. Haechan juga tidak mungkin salah lihat.

Memilih untuk tidak ambil pusing, Haechan pun mengangkat bahu tak peduli dan beranjak ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

ga nyangka responnya bakal bagus, thank you so much guys!❤

29 November 2018

obeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang