Matahari baru saja bergeser dari puncak ketika Sasi sampai di gedung Media Cahaya Hati. Hari ini, siang begitu terik. Panasnya terasa menyengat seakan menembus kulit. Sasi sudah biasa disuguhi dengan keadaan seperti ini. Jam siar gadis itu memang tidak tentu. Terkadang dia harus menembus dinginnya pagi yang masih diselimuti embun, menerobos ke sela-sela kendaraan yang memadati jalanan Ibu Kota, bahkan sampai nekat menerabas derasnya air hujan yang turun tiba-tiba.
Apa pun kondisi yang dihadapi Sasi sepanjang perjalanan dari rumah menuju studio siar selalu dijalaninya dengan suka cita. Broadcasting boleh dikatakan adalah bidang yang diminati Sasi, selain dia juga hobi merajut. Sedari dulu, Sasi memang suka berbicara di depan umum. Gadis itu akan menerima dengan senang hati ketika dia dipercaya sebagai MC di acara sekolah atau moderator saat seminar. Inilah mengapa saat kuliah dulu dia mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Sasi menghentikan ayunan kakinya saat menyadari cincin emas polos pemberian almarhum ayahnya masih tersemat di jari tengah tangan kirinya. Sasi biasa memakai cincin di jari kanannya. Tadi, cincin itu sempat dilepas dan dipakai di jari kiri karena dia harus mengulek bumbu untuk membuat soto. Beberapa hari ini, Sasi memang menggantikan tugas ibunya memasak di dapur karena tidak ingin tekanan darahnya naik lagi.
Sasi tersentak ketika sesuatu menyentuh ujung roknya. Seketika cincin yang hendak disematkan ke jari tengah tangan kanannya terlepas. Cincin itu menggelinding, meninggalkan bunyi gemerincing. Sasi mendesah lega saat mengetahui sesuatu yang mengoyak ujung rok jinsnya itu hanya seekor kucing.
Sasi mendengus pelan ketika menyadari cincinnya terjatuh. Entah cincin itu menggelinding ke mana. Matanya berusaha menyisir ke bawah. Nihil. Tungkai berukuran sedang itu lantas bergerak maju. Tubuhnya sedikit merunduk. Dicarinya cincin itu di bawah mobil yang terparkir. Tidak ada. Dia kemudian berpindah ke mobil yang berada di sebelahnya. Ketemu!
Sasi berjongkok. Dirapatkannya rok itu agar dalamannya tidak kelihatan. Meski memakai celana panjang sebagai dalaman, Sasi tidak mau jika rok itu terbuka.
“Kamu ngapain di situ?” suara baritone yang muncul dari arah kanan membuat Sasi mengurungkan niatnya untuk mengambil cincin. Gadis itu mendongak menatap tubuh yang berdiri menjulang di sebelahnya.
“Cincin saya jatuh.” Sasi hanya menjawab singkat. Dia kembali merunduk. Tangannya berusaha menggapai untuk mengambil cincin. Tidak sampai.
“Bagaimana bisa cincin jatuh di bawah mobil?” tanya Arsal keheranan sendiri.
Sasi melirik sekilas. “Ya, begitulah.” Sasi enggan menerangkannya. Bisa saja lelaki menyebalkan itu semakin mencemoohnya karena cincin terlepas begitu saja saat ada kucing yang mendekatinya. Ah, jangan lupakan juga alasan dia melepas cincin dan memakainya di jari kiri. Mungkin lelaki itu akan menganggapnya ketinggalan jaman karena Sasi memilih mengulek bumbu di cobekan ketimbang menggunakan blender.
Sasi tak mengacuhkan keberadaan Arsal. Tangannya kembali menggapai-gapai untuk mengambil cincin. Dia sedikit merundukkan badannya. Namun, tetap saja tangannya tidak sampai.
Arsal berdecak pelan ketika melihat gadis itu masih saja belum menyerah. “Berdirilah!”
Sasi mendongak lagi. “Kenapa?”
“Tolong kamu geser! Cincinnya biar saya ambil.”
Sasi tercengang. Apa dia tidak salah dengar? Lelaki yang suka memperlakukannya dengan semena-mena itu mau membantunya mengambil cincin di bawah mobil?
“Cepatlah geser! Saya keburu ada urusan lain.”
Sasi mengangkat tubuhnya. Dia bergeser ke sebelah kiri.
Arsal menyingsingkan lengan kemejanya sebatas siku. Dilipatnya tungkai jenjang itu hingga berjongkok. Lelaki itu lantas merunduk. Tangannya berusaha menggapai cincin yang terjatuh di bawah mobil. Tidak sampai. Lutut Arsal spontan menyentuh konblok. Dia kembali merunduk. Segaris senyum tersungging dari bibirnya ketika cincin sudah berada dalam genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...