Vote dulu, ya. Makasih. 😁
***
“Sas ....”
Sasi yang baru selesai dirias seketika menoleh. Seseorang menyodorkan ponsel ke arah gadis itu.
“Calon suami kamu kirim WA lagi ke Aa,” beritahu Hania ketika Sasi menerima benda segi empat itu dari tangannya. Dengusan pelan keluar dari mulut Hania. “Padahal kurang dari dua jam lagi, kalian bakalan halal. Nggak sabar banget sih nunggu halal dulu. Sukanya gangguin orang terus,” gerutu Hania menatap Sasi, kesal.
Sasi hanya memandang sekilas. Netranya dialihkan ke layar ponsel yang menampilkan pesan dari Ilham. “Kalau ganggu kan bisa protes ke dia. Kenapa malah protesnya ke aku?” timpal Sasi cuek.
“Aku sudah protes, Sas. Tapi, si Oppa Korea rasa sinetron reliji itu bakalan neror Aa terus kalau WA-nya sampai nggak dikirimin ke kamu. Daripada Aa mimpi buruk, mendingan kan langsung lemparin ke aku, terus dioper ke kamu,” dengus Hania masih menampakkan raut jengkelnya.
Arimbi yang berada di sebelah Sasi terkekeh pelan. “Sabar, Mbak. Bentar lagi mereka halal. Hidup Mbak Hania bakal kembali tenang nanti,” kata Arimbi tersenyum geli.
“Iya, sih. Kudu sabar ngadepin Bos yang satu itu. Malah aku rencana mau balik gangguin mereka kalau nanti sudah halal.”
Kekehan pelan muncul beriringan. Sasi hanya menggelengkan kepala, malas menanggapi ocehan Hania dan kakak kembarnya. Dia lebih memilih membaca pesan yang dikirimkan Arsal—yang sudah di-copy paste oleh Ilham.
Aa Ganteng : Neng, yang ini 👇 kirimin ke Sasi.
Aa Ganteng : Nanti, kalo aku salah hafalan, kamu tetep semangatin aku, kan? Aku butuh semangat dari kamu.
“Aku yang baca saja mau mual, Sas,” nyinyir Hania begitu tahu Sasi mulai membaca pesan yang ditulis Arsal. “Kenapa nunggu kalian halal itu rasanya lama banget, sih? Bikin hidup orang jadi nggak tenang saja. Sukanya gangguin terus. Ngirim WA nggak kenal waktu. Heran aku, Sas. Dulu Tante Herdina kesedak apa waktu hamil Oppa Korea rasa sinetron reliji itu? Jangan-jangan kulit durian. Makanya, tajem kayak gitu.”
Arimbi lagi-lagi tertawa lirih. Dia memang tahu jika Arsal sering mengirimi pesan untuk calon istrinya lewat suami Hania. Sehabis Subuh tadi saja, Arsal sudah bertanya kepada Sasi, bagaimana cara agar dia tidak gemetar saat mengucap ijab kabul nanti. Arimbi yakin, pesan yang dikirimkan Arsal itu sebetulnya sekadar modus agar dia bisa bertukar sapa denga Sasi—meskipun tidak secara langsung.
“Nih!” Sasi menyerahkan ponsel berwarna putih itu kepada Hania.
Kening Hania mengernyit tipis begitu menatap layar. “Kok, nggak kamu bales sih, Sas?”
“Buat apa?”
Hania memutar bola matanya. “Aku yakin Oppa Korea rasa sinetron reliji itu bakalan gangguin Aa lagi. Balesin!” seru Hania galak seraya menyodorkan kembali ponselnya.
Sasi mendesah pelan. Mau tidak mau dia harus membalas pesan Arsal. Ibu jarinya menekan icon semangat.
Me : ✊
Sasi menganjurkan tangan, mengembalikan ponsel Hania. Begitu melihat apa yang ditulis Sasi, wanita berbadan lebar itu sontak tergemap. Diliriknya Sasi dengan sorot mata penuh kekesalan. “Cuman ini doang, Sas?”
“Bukannya dia butuh semangat? Dikasih icon semangat sudah cukup, kan?” balas Sasi dengan wajah datar.
Hania ternganga. Dia menggelengkan kepala jengkel. “Kayaknya kepalaku bakalan migrain lagi ngadepin kalian berdua. Yang satu kayak nggak sabaran banget, yang satunya lagi malah lempengnya kebangetan.” Hania sontak mendesis panjang. “Aishhh ... kenapa nunggu dua jam itu, serasa kayak dua bulan sih?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...