Seminggu sebelumnya ...
Sasi menatap pantulan bayangan dirinya di balik cermin besar. Wajah oval itu tampak segar setelah penata rias membersihkan dengan micellar water menggunakan kapas. Selain wisuda, baru kali ini wajah naturalnya itu akan dirias. Sasi tidak suka make-up yang berlebihan. Dia lebih menyukai riasan minimalis saja.
Embusan napas melalui mulut dikeluarkannya panjang-panjang untuk mengurai ketegangan. Beberapa jam lagi, Sasi akan menjalani akad nikah. Entah bagaimana reaksi tubuhnya saat detik-detik menanti Satya mengucapkan ijab qobul. Baru mulai dirias saja, dia sudah setegang ini, apalagi saat akad nikah.
Sasi melirik seseorang yang duduk di sofa panjang warna merah melalui cermin. Alisnya bertaut tipis ketika mendapati gadis itu termenung menekuri ponsel. Air muka gadis itu tampak berbeda ketika beberapa menit yang lalu dia berusaha mengurai ketegangan dengan mengingat momen konyol masa kecil dulu saat mereka bertemu ketika lebaran tiba.
Sadar diperhatikan, gadis itu mendongak. Dalam sekejap wajah ayu itu sudah kembali cerah. Bibir tipisnya spontan tersungging ke atas. Sasi membalas dengan senyum yang tipis. Meski sudah berusaha ditutupi, sorot mata itu justru seakan membantahnya. Sasi jadi penasaran dengan apa yang dipikirkan saudara kembarnya itu. Apa dia ada masalah?
“Mbak Arimbi ...,” panggil Sasi ketika penata rias baru saja selesai meratakan foundation. “Tolong ambilin handphone-ku, dong. Ada di dalam tasku.” Sebenarnya ini hanya alasan Sasi untuk sekadar memastikan jika Arimbi tengah berusaha menutupi sesuatu.
“Nih!” Arimbi menyerahkan benda segi empat itu kepada Sasi.
Sasi berusaha menyelami sorot mata kecokelatan itu. Tidak salah lagi. Ada sesuatu yang tampak susah payah disembunyikan di baliknya. Entah apa itu. Meski mereka merupakan saudara kembar, sampai saat ini Arimbi memang tidak pernah terbuka dengan hal yang terlalu bersifat pribadi. Berbeda dengan Sasi yang bisa terbuka menceritakan semuanya kepada Arimbi.
“Hm, aku ke belakang dulu, ya? Kamu jangan tegang.” Arimbi tertawa kecil, lalu segera berbalik.
Netra Sasi masih mengekori bayangan Arimbi melalui cermin hingga sosoknya menghilang di balik pintu. Sasi berusaha menerka-nerka. Namun, tetap saja buntu.
Deringan ponsel tiba-tiba terdengar dari arah sofa yang sempat diduduki Arimbi. Lagu Sabyan berjudul “Ya Asyiqol Musthofa” itu terus mengalun merdu hingga seseorang membawanya ke arah Sasi.
“Ini handphone-nya Mbak Arimbi, kan? Ada telepon, lebih baik Mbak Sasi angkat dulu. Siapa tahu penting.” Asisten penata rias itu mengulurkan ponsel milik Arimbi kepada Sasi. Sepertinya saat Sasi meminta Arimbi mengambilkan ponselnya, dia meletakkan benda pipih itu begitu saja di atas badan sofa. Karena buru-buru ke luar, Arimbi malah lupa tidak membawa ponselnya sekalian.
Saat Sasi hendak menggeser tombol hijau ke kanan, deringan terhenti. Rupanya sang penelepon memilih mematikan telepon. Sasi tidak berniat menghubungi balik karena dari nama yang tertera di layar, sepertinya itu teman kuliah Arimbi.
Jempol Sasi spontan menggeser layar. Sepertinya Sasi harus mencari tahu masalah apa yang mendera Arimbi. Jika Arimbi terlihat termangu menatap layar ponsel, bisa saja jawaban dari rasa penasaran Sasi ada di sini.
Sasi sontak terenyak. Sekali ibu jarinya menggeser layar, seketika langsung memunculkan aplikasi buku diary yang belum ditutup Arimbi. Judul di bawah tanggal itu membuat Sasi bisa mengira-ngira apa isinya. Karena diliputi rasa penasaran, Sasi mulai membacanya.
Good Bye ....
Apa aku ini aneh?
Bagaimana bisa aku menyukai seseorang hanya karena sang nenek sering menyebut cucunya saat kutanya sesuatu kepadanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...