Delapan Belas

62.9K 8.4K 761
                                    

Suara deburan ombak yang halus mengalun merdu bersama desiran angin laut dari arah barat. Suaranya seakan seperti lirihan yang membisiki senyapnya malam. Lurus ke depan, bukit-bukit berlatar langit gulita yang dihiasi kemerlap gemintang seolah memoles pulau kecil tak berpenghuni ini menjadi semakin menakjubkan.

Arsal memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie hitam. Udara di sekitar Gili Kedis ini serasa mencubiti kulit. Mungkin ia hanya tidak terbiasa berada di tempat seperti ini saat malam hari. Tak jauh darinya, ada tiga lelaki muda yang tiduran di atas hamparan pasir putih—ditemani api unggun, hanya mengenakan kaus oblong. Saat berkunjung ke pulau seluas lapangan futsal ini, ada rombongan lain yang juga bermalam di tempat ini. Arsal bersyukur, mereka bukan sepasang suami istri yang ingin berbulan madu di sini. Mungkin kemesraan dua sejoli itu akan mengganggu pandangan Arsal, apalagi jika mereka belum terikat pernikahan.

Sudah enam hari ini, Arsal berkeliling ke pulau-pulau eksotis di Kepulauan Gili Lombok. Dia butuh menjauh sementara waktu dari penatnya Ibu Kota. Dari sekian pulau-pulau kecil yang dikunjunginya, dia paling menyukai tempat ini. Tenang dan menentramkan.

Dengan mentadaburi alam, pelan-pelan mampu menyembuhkan luka batinnya. Merenungi semesta ciptaan-Nya menjadi penawar yang manjur sebagai obat lara hati. Bagaimanapun, dia tidak mungkin terus-menerus terkungkung dalam perasaan yang semu. Memilih merelakan adalah pilihan yang tepat. Berdamai, lalu membuangnya sejauh mungkin.

Selama enam hari ini, Arsal memang  benar-benar tidak ingin diganggu. Dia meninggalkan ponselnya di Jakarta. Sebagai gantinya, dia membawa ponsel lain berisi nomor yang hanya diketahui keluarganya saja. Ibunya pasti akan mengkhawatirkan keadaannya jika dia tidak memberi kabar selama hampir seminggu ini. Meski membawa ponsel, Arsal hanya mengaktifkan saat berada di tempat yang sinyalnya bagus.

Arsal menghela napas panjang. Besok dia sudah kembali ke Jakarta. Ini artinya, dia harus bisa menjadi sosok yang baru. Dia tidak ingin menjadi lelaki lemah yang kesulitan melupakan seseorang yang sudah menjadi istri dari pria lain.

***

“Barakallah, Dok.”

Arsal meneguk saliva saat netranya menangkap beberapa kru Media Cahaya Hati mengucapkan selamat kepada Satya begitu pintu lift terbuka. Saat akad nikah seminggu yang lalu memang tidak semua kru diundang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapat undangan.

“Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah ya, Dok.”

“Aamiin. Terima kasih doanya.”

Arsal melangkah pelan menuju lobi. Air muka Satya tampak bersinar cerah. Ada rona bahagia yang terpancar dari seraut wajah tampan itu. Netra mereka seketika bertemu. Arsal menundukkan kepala seraya tersenyum tipis sebagai salam hormat. Tanpa sepatah kata pun, lelaki itu memilih berlalu meninggalkan lobi. Rasanya lidah Arsal masih terasa berat jika dia ikut mengucapkan selamat untuk pernikahan Satya dan Sasi. Bukan berarti Arsal belum menerima kenyataan. Dia hanya tidak ingin suaranya menjadi  terputus-putus lantaran lingua mendadak kelu.

Arsal menghentikan langkah saat dia berpapasan dengan perempuan berkhimar abu-abu yang dipadu atasan gelap seragam Media Cahaya Hati di luar lobi. Mata mereka bersirobok. Hanya sekilas saja, karena Arsal memilih menundukkan pandangan lebih dulu. Lelaki itu menganggukkan kepala sebelum berlalu menuju tempat parkir.

Ketika sampai di dekat mobilnya, Arsal kembali menoleh. Sasi sudah memasuki lobi. Pintu berbahan kaca itu sudah tertutup rapat.

Arsal mengalihkan pandangan. Dia mendesah pelan. Pasti pasangan pengantin baru itu akan dilimpahi ucapan selamat dan doa dari para kru yang minggu lalu tidak hadir saat akad nikah mereka. Sejak tahu Sasi dilamar Satya, Arsal memang meminta kepada Program Director agar Sasi bisa siaran lagi di talk show "Kita Sehat".

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang