Cahaya kuning keemasan sudah mengumpul di langit bagian barat saat Sasi memakirkan motornya di pinggir jalan sebuah kompleks perumahan. Sasi tidak membelokkan motornya memasuki pekarangan kecil di depan rumah minimalis tipe 36 itu karena dia hanya mampir sebentar.
Senyum terkembang menyambut Sasi begitu dia berjalan menuju pekarangan mungil yang dipenuhi tanaman dalam pot. Sesosok gadis remaja dengan kursi rodanya sudah berada di bibir pintu. Mata bulatnya berbinar-binar. Air wajah gadis itu tampak berseri-seri.
"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih," celetuk Sasi dengan senyumnya yang lebar.
Gadis berambut lurus sebahu dengan poni menutupi dahinya itu nyengir kuda. "Kelihatan banget ya, Kak, kalau aku lagi bahagia?" Kepala gadis itu mengangguk-angguk pelan. "Iyalah. Jelas aku lagi bahagia. Karena aku akhirnya bisa buatin sesuatu yang spesial untuk guruku tersayang."
Sasi tertawa pelan memperlihatkan gigi gingsulnya di kedua sisi. Dia tadi memang sudah diberitahu lewat WhatsApp (WA) jika gadis remaja ini akan memberinya kejutan. Makanya, setelah siaran—masih bertandang ke tempat lain juga—Sasi mampir ke sini sebentar. Rumah Sasi tidak terlalu jauh dari tempat ini. Hanya berjarak sekitar 40 meter saja.
Gadis remaja itu bernama Ruby. Usianya baru 14 tahun. Saat masih duduk di kelas 6 SD, Sasi pernah menjadi guru lesnya. Sudah setahun ini, Ruby memilih homeschooling setelah sempat duduk di bangku SMP selama 1 tahun.
Jika mengingat apa yang pernah menimpa Ruby kala itu, Sasi terkadang akan menitikkan air mata. Setahun lalu, sepasang kaki Ruby terpaksa harus diamputasi akibat kecelakaan motor. Saat itu, dari arah belakang ada mobil yang tengah melaju ugal-ugalan hingga menabrak motor yang dikendarai ayahnya. Pengemudi mobil mewah itu dalam pengaruh alkohol. Kaki Ruby bahkan sampai terlindas ban mobil. Karena lukanya yang terlalu parah, sepasang kaki Ruby terpaksa harus diamputasi hingga sebatas lutut. Sementara ayahnya langsung meninggal saat itu juga.
Ruby begitu rapuh waktu itu. Dunianya serasa hancur. Dia tak lagi menjadi gadis yang percaya diri seperti saat masih dianugerahi fisik sempurna. Ibunya berusaha menguatkan Ruby. Sasi pun—yang jarak rumahnya tak jauh dari rumah Ruby—juga akan selalu menyempatkan berkunjung ke rumah gadis itu sehingga dia tidak merasa sendiri.
Sampai suatu ketika, Sasi bertanya, "Apa Ruby mau Kakak ajari merajut?"
"Merajut?" Kening Ruby berkerut.
Sasi mengangguk. "Tas punya Kakak ini hasil rajutan Kakak lho."
Air muka Ruby berubah cerah. "Oh, ya?"
Saat itu juga Ruby ingin diajari merajut. Sasi masih ingat bagaimana mimik wajah Ruby ketika gadis itu menunjukkan clutch rajut buatannya yang akan diberikan kepada ibunya. Meski rajutannya belum sempurna, Sasi tetap memujinya dengan raut bangga. Kini, teknik rajutan Ruby sudah rapi. Dia bahkan bisa menggabungkan beberapa warna benang sehingga membentuk motif tertentu.
"Aku sebenarnya pingin kayak Kak Sasi, bisa jual barang-barang rajutannya di Instagram. Pasti rasanya bangga banget kalau mereka mau menggunakan karya kita, kan, Kak? Sayangnya ... Bunda belum ngebolehin," ungkap Ruby dengan mimik manyun, sore itu.
Sampai saat ini, hasil rajutan Ruby memang hanya diberikan kepada orang-orang yang dia sayangi. Namun, suatu saat nanti Ruby juga ingin menjadi pengusaha produk rajutan yang sukses.
"Ruby, Kak Sasi suruh masuk ke dalam dong," suara wanita berusia 37 tahun muncul dari dalam rumah. Wanita itu mendekati Sasi yang masih berada di emper rumah.
"Ayo, masuk, Sas!" ajak wanita itu sembari mempersilakan Sasi duduk di ruang tamu. Sasi sebenarnya tidak masalah mengobrol dengan Ruby di emper rumah. Toh, dia hanya sebentar saja di sini. Keburu azan Maghrib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...