Dua Puluh Satu (1)

65.2K 8.1K 342
                                    

Vote, jangan lupa, ya! Makasih. 😄

***

"Jadi, lamaran Oppa Korea rasa sinetron azab itu belum kamu jawab juga, Sas?"

Sasi hanya menggeleng tak acuh. Disantapnya bekal makan siang yang dia bawa dari rumah. Sejak tahu jika dirinya dilamar Arsal hari kemarin dari Ilham, Hania langsung memberondonginya dengan banyak pertanyaan.

Hania mendesah kasar. "Pantesan akhir-akhir ini aku lihat emosinya labil banget."

Sasi terus menyantap bekal makan siangnya yang hanya terdiri dari nasi putih, cha kangkung dan tempe goreng. Seolah dia tidak peduli dengan kegundahan Arsal karena menunggu jawabannya.

Sudah dua minggu berlalu sejak Arsal melamar Sasi. Namun, jawaban itu belum terucap juga. Sasi seakan ingin menguji bagaimana lelaki itu, apakah akan tetap bertahan atau memilih membatalkan lamarannya.

"Kemarin aku sempat kaget lho waktu Aa bilang kalau Oppa Korea rasa sinetron azab itu ngelamar kamu. Sebenarnya nggak terlalu terkejut juga, sih, karena aku pernah ngira dia yang selama ini ngirimin makan siang ke kamu." Hania mendesis pelan. "Aishhh .... Aku gemes sama Aa. Kenapa dia baru cerita sekarang, sih? Selama ini dia nggak pernah terbuka kalau si Oppa Korea rasa sinetron azab itu ternyata naksir kamu, Sas. Makanya, aku jadi kesel banget sama Aa."

Sasi meneguk air putih dari botol minum. Dia hanya mendengarkan ocehan Hania.

"Saking keselnya, aku sampai diemin Aa lho, Sas. Tapi, waktu Aa bilang kalau dia dapat transferan dari Oppa Korea rasa sinetron azab—yang ternyata cocok main sinetron reliji di bulan Ramadhan—itu aku nggak marahan lagi sama Aa," aku Hania yang diiringi kekehan pelan.

Sasi sontak menoleh. "Kalian disogok?"

Hania kontan menggeleng berulang kali. "Nggak. Uang itu emang mau dikasih Oppa Korea rasa sinetron reliji itu buat Aa sebelum ngelamar kamu, kok," bantah Hania. "Aa, kan, sudah baik dan selalu perhatian sama dia waktu patah hati karena mau ditinggal nikah sama kamu, Sas. Makanya, sebagai balasannya, dia ngasih makan gratis di restorannya selama sebulan. Tapi, sama Aa minta diuangkan saja. Gitu ceritanya. Jangan su'udzon dulu!"

"Aku nggak su'udzon. Cuman nanya doang," ralat Sasi cuek sembari mengemasi kotak makan siangnya ke dalam tas.

Hania mendengus pelan. "Ngomong-ngomong, kenapa sampai sekarang kamu belum jawab juga sih, Sas? Apa nggak kasihan sama dia? Pasti dia galau banget nungguin jawaban dari kamu." Hania mengerucutkan bibirnya ke kanan. Sejurus kemudian, wanita itu menyeringai lebar. "Apa kamu emang sengaja ngerjain dia? Kayaknya kalau dilihat gimana selama ini dia diam-diam ngasih perhatian ke kamu, nggak mungkin kamu sampai nolak dia."

Sasi memutar bola matanya ke atas. "Sok tahu."

Hania menatap Sasi jenaka. Telunjuknya menekan pipi gadis itu pelan. "Bukannya sok tahu. Pipimu ini buktinya. Nggak sampai memerah, sih. Tapi, kulihat ada rona-rona cinta di sini."

Sasi berdecak kesal. "Sok tahu." Namun, kali ini gadis itu tampak tidak bisa menyembunyikan senyum tipisnya.

"Ciye ... senyum. Berarti tebakanku bener dong?"

Sasi berdecak lagi seraya menghalau telunjuk Hania yang masih menusuk-nusuk pipinya.

"Kok, aku jadi setuju kalau kamu ngerjain dia ya, Sas? Kita lihat gimana galaunya dia nungguin jawabanmu," kata Hania menyeringai lebar. Padahal sebelumnya dia sengaja diberitahu Ilham agar bisa memberi saran kepada Sasi untuk segera menjawab lamaran Arsal. Namun, tampaknya dia malah setuju jika Sasi menundanya lebih lama lagi.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang