Dua Puluh Tiga

69.4K 8.2K 571
                                    

Vote, jangan lupa, ya. 💖💖

***

Arsal berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya sembari menempelkan ponsel di telinga kiri. Sudah ketiga kalinya dia menghubungi nomor ini. Namun, seseorang yang tengah dihubunginya itu belum juga mengangkat telepon.

Arsal mengalihkan ponsel ke telinga kanan. Tangan kiri lelaki itu dimasukkan ke dalam saku celana drawstring warna hitam. Dia menunggu seakan sudah tidak sabar lagi. Mungkin saat nada dering ke lima, lebih baik dia akhiri saja. Bisa jadi seseorang yang dihubunginya ini memang sudah tidur.

"Bik Lastri ke mana saja, sih?" sembur Arsal ketika seseorang yang dipanggil Bik Lastri itu mengangkat telepon.

"Maaf, Mas Arsal. Tadi, saya lagi ke belakang," terang suara di ujung telepon dengan nada ketakutan.

Arsal menghela napas. Dia kembali memindahkan benda segi empat itu ke telinga sebelah kiri. Lalu, beralih memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. "Apa dia sudah tidur?" tanya Arsal kemudian.

"Belum, Mas. Mbak Sasi masih sibuk merajut tas di ruang tamu."

Arsal sontak terkesiap. Dia kembali memeriksa jam di layar ponsel. Sudah pukul sepuluh malam. Arsal memang baru pulang selepas mengantar ibunya ke resepsi pernikahan anak dari salah satu temannya. "Sudah jam segini dia belum tidur juga?"

"Tadi, sudah saya ingetin, Mas. Tapi, Mbak Sasi bilang kalau orderan yang lain sudah banyak yang mengantri. Makanya, Mbak Sasi harus lembur."

Arsal memijit keningnya pelan. Gadis itu memang terlalu memaksakan diri. Apa dia tidak memikirkan kesehatannya? Bagaimana kalau dia malah jatuh sakit?

"Suruh dia cepetan tidur, Bik. Ini sudah malam. Merajutnya bisa lanjut besok. Nanti saya telpon Bik Lastri lagi. Assalamu'alaikum," pungkas Arsal menutup telepon.

Arsal mendesah pelan. Sejak tiga hari yang lalu, Bik Lastri, asisten rumah tangga-yang sudah bekerja di rumah keluarga Arsal selama lima belas tahun-itu memang diminta Arsal untuk menemani Sasi selama menunggu hari pernikahan mereka yang baru digelar dua bulan lagi. Arsal tidak mungkin membiarkan Sasi sendirian berada di rumahnya. Arsal sebetulnya sudah mengusulkan agar Sasi tinggal di rumah mereka saja. Namun, ibunya langsung tegas menolak.

"Mama jelas nggak setuju dong, Sal. Kamu pasti cari-cari kesempatan kalau Sasi tinggal di sini," kata ibunya ketika mereka sudah kembali ke Jakarta selepas melamar Sasi beberapa hari lalu.

"Nanti aku bisa tinggal di apartemen, Ma." Arsal tetap keukeuh.

"Mama tetep nggak setuju. Mau tinggal di apartemen sekalipun, Mama yakin, kamu pasti bakal sering ke sini. Mungkin malah habis subuhan langsung ke sini. Saking nggak sabarnya kamu biar cepet-cepet ketemu Sasi."

Arsal membuang napas kasar. Pada akhirnya, dia tidak bisa membantah keinginan ibunya. Herdina tetap menginginkan akad nikah dan resepsi di hari yang sama. Bila melihat berapa tamu undangan mulai dari kerabat, teman kenalan maupun relasi bisnis dari perusahaan milik ayahnya, tidak mungkin resepsi hanya diadakan secara sederhana. Untuk mempersiapkan acara sebesar itu butuh waktu hingga hitungan bulan. Tidak cukup dua atau tiga minggu saja. Pun mereka sudah menyewa jasa Wedding Organizer.

"Dua bulan itu sudah cepet banget lho. Sal. Yang lain malah lebih dari itu," ungkap ibunya tempo hari.

Arsal hanya bisa pasrah saja. Dia tidak mungkin nekat menikahi Sasi tanpa melibatkan kedua orangtua. Sekalipun tanpa mereka, pernikahan tetap sah, Arsal jelas tidak akan menjadi anak seperti itu.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang