Dua Puluh Satu (2)

64K 8.7K 455
                                    

Ojo lali vote juga. Makacih. 😂

***

Arsal melipat tungkainya yang jenjang, lalu duduk di pinggir kolam renang. Dimasukkannya sebagian kaki putih itu ke dalam air. Cahaya dari lampu sekitar yang memantul pada permukaan air seakan terkoyak pelan karena gerakan kaki Arsal.

Embusan napas panjang keluar dari mulut lelaki itu. Arsal memang sengaja menjauh dari keluarganya yang tengah bersantai di ruang tengah. Memilih duduk sendirian di tempat ini setidaknya akan terhindar dari pertanyaan sang ibu, apakah Sasi sudah menjawab lamarannya atau belum.

Arsal mendesah pelan. Sudah sebulan—lebih satu hari—berlalu. Namun, jawaban yang ditunggunya itu belum diterima juga sampai sekarang. Sasi seakan tengah menguji kesabaran Arsal. Entah sampai kapan gadis itu akan tetap bergeming.

Ponsel di dalam saku celana hitam sebatas lutut itu bergetar. Arsal segera merogohnya, lalu menggeser layar ke atas. Ternyata pesan dari Ustaz Fauzan. Jantung Arsal mendadak berdegub kencang setelah tahu isi pesan tersebut. Dalam instant message itu ada kiriman file dari Sasi. Jempol Arsal dengan tak sabar membuka file Microsoft Word berjudul "Jawaban dari Saya".

Assalamu'alaikum, Pak Arsal ....

Arsal mendengus pelan. Sebenarnya dia tidak nyaman dipanggil Sasi dengan sebutan "Pak". Arsal bisa memaklumi jika Sasi masih memanggilnya "Pak" saat berada di kantor. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena gadis itu mungkin saja akan mengancam untuk menolaknya jika dia meminta Sasi untuk memanggil "Abang", "Mas" atau "Aa" di luar kantor.

Sebelumnya saya minta maaf karena baru memberikan jawaban sekarang. Saya tidak pandai menulis surat yang puitis, jadi lebih baik to the point saja.

Setelah menimbang-nimbang, merenung dan memohon petunjuk pada Allah, pada akhirnya saya sudah mentok dengan jawaban ini ....

Saya nggak punya alasan untuk menolak Pak Arsal.

Arsal sontak berdecih tipis. "Jawaban macam apa itu? Sudah mentok? Nggak punya alasan untuk menolakku?" Pun begitu, kedua sudut bibir lelaki itu terangkat ke atas. Beban seberat seribu ton seakan tersisa setengahnya.

Arsal kembali melanjutkan membaca surat Sasi.

Malah, kalau saya pikir-pikir. Ada banyak alasan andai saya menolak Pak Arsal.

Pertama, mungkin Pak Arsal akan memilih pergi ke pulau terpencil. Kalau Pak Arsal pergi ke sana lagi, saya yang justru nggak tega sama Tante Herdina. Mungkin beliau akan semakin direpotkan sama Pak Arsal saat pulang nanti.

Arsal terkekeh. "Kenapa dia pintar sekali menyindirku?" Arsal bergumam seraya menggelengkan kepala.

Kedua, mungkin Bang Ilham disuruh ngembaliin uang yang sudah ditransfer sama Pak Arsal.

Arsal tergemap. "Kenapa dia bisa tahu soal ini juga, sih?" Arsal tebak, Hania-lah yang sudah menceritakannya kepada Sasi. Lelaki itu sontak mendesis kesal. Pasangan suami istri itu memang sulit menutup mulutnya, terutama kepada Sasi.

Ketiga, puluhan kotak makan milik Pak Arsal sudah memenuhi lemari di rumah saya. Jika kita sudah halal nanti, saya nggak perlu repot mengembalikan kotak makan itu karena saya yang akan minta Pak Arsal untuk mengambilnya sendiri.

Arsal sontak tergelak. Dia baru menemui jawaban lamaran sekonyol ini. Sama sekali tidak ada manisnya. Arsal pikir, Sasi sengaja menulis surat yang penuh sindiran seperti ini untuk membalas sikap semena-menanya dulu. "Apa dikira aku nggak bisa membalasmu? Tunggu saja pembalasanku saat kita sudah halal nanti." Arsal menyeringai lebar. Derai tawa muncul setelahnya. Kekehan pelan itu baru terhenti saat ekor matanya menangkap bayangan seseorang yang duduk bersila tak jauh darinya.

"Sejak kapan kamu duduk di situ?" tanya Arsal dengan raut terkejut.

"Sejak ada orang setengah aneh yang ketawa sendirian di sini," jawab Gavin memasang ekspresi bosan.

Arsal mendengus tipis.

"Jadi, dia sudah nerima Bang Arsal? Syukur alhamdulillah kalau iya, karena aku bakalan segera terbebas dari manusia menyebalkan kayak Bang Arsal."

Arsal tertawa tanpa suara. "Apa dikira cuman kamu saja yang bersyukur? Jangan dipikir aku nggak bahagia karena bakal segera dijauhkan dari adik tengil kayak kamu," balas Arsal lengkap dengan senyum penuh kemenangan.

Gavin tertawa bosan. Remaja SMA itu memilih segera beranjak pergi. Namun, saat akan menegakkan tungkai, lagi-lagi Arsal berhasil merebut buku LKS yang tadi dibawa Gavin.

Arsal membuka bagian tengah LKS Biologi itu, lalu mengambil buku yang terselip di dalamnya. Arsal terpaku. Buku yang dikiranya komik Boruto itu ternyata hanya buku tulis biasa.

Gelakan tawa berderai memecah malam yang bergerak di pukul delapan. Gavin memberi isyarat tembakan ke arah Arsal. "Skor kita imbang sekarang." Sejurus kemudian, dia mengeluarkan komik Boruto dari balik celana selututnya. "Aku nggak mungkin mengulang kesalahan yang sama, Bang," ungkapnya seraya menunjukkan komik Boruto dengan senyuman miring.

Arsal mengatupkan giginya kuat-kuat. Direbutnya komik Boruto dari tangan Gavin. Namun, gerakan tangan Gavin yang lincah justru membuat Arsal hilang keseimbangan saat adik tengilnya itu mendorong tubuhnya ke dalam kolam renang.

Byuuuuurrrr ....

Gavin terpingkal. Mata sipitnya memandang puas rutukan kekesalan yang diluapkan Arsal. "Dua satu skor kemenangan buat aku, Bang." Tawa Gavin masih berderai. "Kayaknya bakal seru kalau aku videoin Bang Arsal, terus kirimin ke dia. Badewai, Mama punya nomornya, kan?" lanjutnya dengan seringaian jahil.

Tbc

--------------

Ketawa ngukuk boleh. Ngikik silakan. Ngakak pun nggak dilarang. Asal mingkem. 😝😝

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang