Bagus : Pak, makan siang buat Mbak Sasi sudah saya antar ke MCH tadi.
Lelaki itu tersenyum lebar begitu membaca pesan dari seseorang yang dimintainya mengantar makanan untuk Sasi. Senyumnya merekah sempurna memperlihatkan barisan gigi putih yang rapi. Selama tiga hari ini, dia memang meminta Bagus mengirim menu makan siang untuk gadis itu. Melihat Sasi yang tampak kurus akhir-akhir ini membuatnya mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Selama menjaga sang ibu di rumah sakit, sepertinya Sasi tidak benar-benar makan dengan baik.
"Bos ...," suara seseorang yang duduk di depan meja kerja membuyarkan kesadaran Arsal.
"Gimana menurut Bos dengan konsep iklan minyak kayu putih aroma terapi yang tadi kujelaskan? Apa Bos sudah setuju?"
Arsal mengerjapkan mata. "Setuju?" Pesan dari Bagus tadi memang mengalihkan perhatian Arsal. Dia tidak mendengarkan penjelasan Ilham dengan baik.
Arsal menegakkan posisi duduknya. Lelaki itu mengusap kening, mencoba mengingat kembali konsep iklan yang Ilham katakan barusan. "Oke. Hm ... aku setuju dengan konsepnya," kata Arsal sedikit ragu-ragu. Dia tidak tahu persis bagaimana konsep iklan yang diutarakan Ilham. Sepertinya perhatian lelaki itu menjadi pecah karena Sasi.
Alis tebal Ilham bertaut heran. "Bos setuju sama konsep iklan yang tadi kujelaskan?" Tidak biasanya Arsal langsung menyetujui. Biasanya lelaki itu akan menyela berkali-kali sebelum akhirnya mengatakan setuju.
Arsal mengangguk kecil. Lelaki itu meraih kembali gawai di atas meja. "Langsung suruh scriptwriter nulis skenario iklannya. Sebelum rekaman, tolong tunjukkan skenario iklan kepadaku dulu," pintanya sembari mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan Bagus.
Ilham mengerjapkan mata. "O-ke, Bos ...." Netra lelaki itu memandang Arsal dengan menelisik. Sepertinya ada yang salah dengan otak bosnya itu.
Wajah Arsal terangkat. "Kenapa masih di sini? Sudah selesai, kan?"
Ilham hanya mengangguk kaku. Air mukanya masih menyiratkan keheranan.
Arsal kembali melanjutkan ketikan pesannya yang akan dikirim ke Bagus setelah Ilham beranjak pergi.
Me : saya blm berniat ke restoran. Suruh Ari krm makan siang ke sini.
***
"Sepertinya hari ini akan tetap cerah sampai sore nanti." Satya menatap pada gumulan awan putih yang berarak pelan setelah sampai di dekat pintu lobi. Dua hari sebelumnya, langit Jakarta memang selalu memuram selepas diguyur hujan semalaman. Siang ini, matahari kembali menyeruakkan sinarnya yang terik.
Sasi mengikuti arah mata Satya yang memandang pada gumulan awan di atas sana. Gumulan awan itu seolah seperti kapas putih yang bertumpuk-tumpuk. Warnanya kontras dengan rona langit yang berwarna biru laut.
Satya melirik Sasi yang berdiri di sisi kanan sejarak satu meter darinya. Gadis itu masih terpaku pada kawanan awan putih yang tampak jelas meski dilihat dari dalam karena pintu lobi terbuat dari kaca transparan. "Kamu suka melihat awan?"
Sasi menoleh. "Ya?" Air muka Sasi tampak masih bingung.
Satya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu nggak benar-benar melihat awan."
Sasi hanya mengulum senyum kikuk.
Suara dehaman seseorang membuat mereka sontak mengalihkan perhatian. Seseorang tengah berdiri di depan pintu lift dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana bahan. Matanya yang sipit menatap tajam ke arah Satya.
"Bukankah siarannya sudah selesai? Kenapa masih dilanjut di lobi? Apa tadi pemancarnya mati sampai siaran dilanjut di sini?" sindir Arsal ketika sudah berjalan di dekat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...