Dua Puluh

70.8K 8.5K 841
                                    

Vote/voments ojo lali ya, Konco-konco. Matur nuwun. 😂

-----------

Sasi mengembuskan napas hingga mengerucutkan mulutnya. Sejak memasuki rumah ini, degub jantung gadis itu mendadak bertalu-talu. Ruangan di depannya ini mengingatkannya saat momen taaruf kala itu. Ketika dia ditolak lelaki menyebalkan bernama Arsal Aldiano Mahendra. Bahkan lelaki itu seakan tidak sabar untuk sesegera mungkin menolaknya.

Ffuuih .... Lagi-lagi Sasi membuang napas melalui mulut. Ditelannya ludah dalam-dalam. Dia tidak tahu dengan siapa sosok yang mengajaknya taaruf kali ini. Entah apakah lelaki itu datang atas inisiatif sendiri atau karena Ustaz Fauzan yang sengaja menjodohkannya seperti saat itu. Pagi tadi, dia sempat terkejut saat ponselnya tiba-tiba menampilkan nama Ustaz Fauzan. Guru ngajinya itu meminta bertemu di rumahnya. Kata Ustaz Fauzan, ada seseorang yang sudah menunggunya di ruangan ini.

"Langsung masuk saja, Dik! Ustaz Fauzan sudah nunggu di dalam, kok," pinta Ustazah Mimi, istri dari Ustaz Fauzan mengingatkan lagi.

Sasi tersenyum tipis. "Iya, Ust."

"Saya ke belakang dulu, ya. Nggak usah terlalu tegang. Yang ngajak ketemuan sama kamu, orangnya sudah jinak kok, Dik. Kalau dia mulai bertingkah ngeselin, tinggal dipelototin saja pasti dia sudah panik sendiri," kata Ustazah Mimi yang diiringi dengan tawa yang lebar. Wanita usia empat puluhan tahun itu segera beranjak pergi.

Sasi mengernyit heran. Dia jadi penasaran dengan seseorang yang sudah berada di dalam ruangan ini. Setahunya, hubungan Ustazah Mimi dengan ibunya Arsal memang lumayan dekat. Apa mungkin ...?

Lagi-lagi Sasi mereguk ludah. Mengingat nama itu kenapa perutnya saat ini terasa seperti disesaki sekawanan Lovebird yang mengepakkan sayapnya dengan sepasang kaki mereka yang seakan mencengkeram ulu hati? Sebuah pengandaian yang terlalu berlebihan. Sasi pikir, mungkin ini hanya reaksi spontan tubuhnya karena kinerja jantung yang berdegub semakin tak beraturan.

Sasi menarik napas. Dia mulai mengetuk pintu disertai salam. Begitu suara Ustaz Fauzan mempersilakan, segera dibukanya pintu pelan-pelan. Baru seperempat bagian yang tersibak, mata bulat gadis itu langsung terpaku pada sosok lelaki berkemeja biru navy yang duduk di balik sebuah meja besar berukuran persegi.

Seperti dejavu. Dulu, lelaki itu menatapnya dengan pandangan malas seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Lengan kemejanya yang panjang digulung hingga di bawah siku seakan menunjukkan jika dia bersikap masa bodoh dengan momen taaruf kala itu. Sekarang, lelaki itu memandangnya dengan tatapan yang berbinar cerah seraya tersenyum lebar. Saking lebarnya, kelopak mata sipit itu sampai membentuk garis lurus.

Sasi membeku. Penampilan lelaki itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang biasa dilihatnya di kantor. Rambut bergelombangnya masih ditata ke belakang menggunakan pomade. Hanya saja, mengapa kali ini dia tampak jauh berbeda? Apakah mungkin karena sunggingan senyum selebar daun jati—yang sebelumnya tidak pernah ditunjukkannya—itu? Atau ... karena kali ini lengan kemejanya tidak digulung seperti saat itu—seolah ini sudah cukup menunjukkan keseriusannya mengajak taaruf?

Sasi mengerjapkan mata ketika suara Ustaz Fauzan—yang meminta segera masuk—membuyarkannya. Langkah kaku gadis itu bergerak maju. Setelah duduk tepat di depan lelaki itu, Sasi sontak terbeliak ketika menyadari sesuatu. Sepertinya pucuk kerudung abu-abu yang dikenakannya ini sedikit miring ke kanan. Tadi, karena buru-buru, dia cepat-cepat melepas helm begitu saja tanpa punya waktu untuk membenahi khimarnya.

Pfff .... Kenapa momen taaruf yang ingin dilupakannya itu seakan seperti terulang kembali? Jika dulu, dia hanya merasa sedikit malu, kenapa sekarang rasanya dia ingin lari sebentar untuk sekadar membenahi kerudungnya yang miring?

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang