Dua Puluh Empat (2)

96.6K 8.6K 519
                                    

Vote, Man Teman. Makasih. 😄

***

Arsal baru saja keluar dari kamar mandi ketika netranya terpaku pada sosok yang berdiri di dekat ranjang berukuran king size. Sosok itu sudah mengganti baju pengantinnya dengan pakaian biasa. Riasan minimalis yang tadi memulas wajahnya sudah dibersihkan. Meski tanpa riasan sedikit pun, sosok itu justru tampak menawan di mata Arsal. Khimar yang menutup kepalanya sudah dilepaskan. Rambut lurus sepunggung yang hitam legam itu justru membuat wanita halalnya ini terlihat dua kali lipat lebih cantik ketimbang saat dia mengenakan kerudung.

Sasi masih berdiri kikuk. Diusapnya lengan untuk mengusir debar. Pandangan gadis itu tetap tertunduk hingga sebuah tangan besar meraih sebelah tangannya. Dengan canggung, dia mengangkat wajah perlahan—memberanikan diri menatap lelaki itu.

"Mama sudah pulang?" tanya Arsal sekadar basa-basi.

"Hm." Sasi hanya menjawab itu seraya mengangguk samar.

Tadi, ibu Arsal memang ke kamar ini untuk membantu Sasi mengganti ball gown warna pink pucat—yang dikenakannya saat resepsi pernikahan—dengan pakaian panjang biasa. Saat Sasi berganti baju, Arsal memilih ke kamar mandi, membersihkan badannya yang terasa gerah setelah berdiri berjam-jam menyalami para tamu.

"Kamu ... cantik."

Pipi Sasi seketika merona. Mata bulatnya bergerak ke kiri, lalu mengerjap pelan. Dia berusaha menutupi rona di kedua pipinya agar tidak ditangkap Arsal.

Setelah dirasa mampu menguasai diri, gadis itu kembali menatap suaminya. "Masa'?" Sasi bertanya dengan raut datar. Dari ekspresinya, tampak jelas jika gadis itu mati-matian memasang ekspresi sebiasa mungkin.

Arsal terkekeh. Lelaki itu membingkai wajah istrinya. Tinggi Sasi yang hanya sebatas leher membuat gadis itu sedikit mendongak. "Kamu pingin tahu nggak, Yang? Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu?" Arsal tersenyum lebar. "Mungkin karena aku terlalu penasaran dengan wajah yang kelihatan datar ini." Arsal memberi jeda sejenak untuk menyelami sorot hitam kecokelatan itu, lalu mengulum senyum lagi. "Tapi ... sekarang aku tahu kelemahanmu, Yang."

Sasi hendak melepas tangan Arsal yang merangkum kedua pipinya, namun lelaki itu malah menariknya ke dalam pelukan.

"Aku bahagia karena kamu menjadi istriku. Bersyukur sekali rasanya karena Allah mengabulkan doaku." Arsal mengendurkan pelukan, lalu menatap lekat istrinya. Wajah lelaki itu tampak serius. "Aku nggak tahu bagaimana perasaanmu untukku. Tapi, buatku, kamu selalu ada di sisiku itu sudah cukup."

Sasi tertegun. Hatinya mencelus. Dia sedikit menyesali kenapa dia masih berusaha memasang ekspresi datar padahal mereka sudah menjadi suami istri. Dengan ekspresi biasa seperti tadi, Arsal bisa saja salah mengartikan bagaimana perasaannya untuk lelaki itu.

Kedua sudut bibir Arsal berkedut menahan tawa. "Padahal aku sengaja meluk kamu kayak gini biar aku tahu gimana kinerja jantungmu, Yang. Ternyata jantungmu berdegub kencang. Itu artinya kamu juga cinta sama aku, kan?"

Raut wajah Sasi sudah merah padam. Rasanya dia seperti tengah terpegok karena mengutil bakwan di kantin sekolah. Lalu, berpasang-pasang mata menatapnya penuh dengan penghakiman. Ini jelas memalukan sekali. SA-NGAT ME-MA-LU-KAN!

Sasi berusaha melepas tangan Arsal yang melingkar di pinggangnya. Namun, lelaki itu malah menarik tubuhnya hingga terhuyung, lalu jatuh di atas pangkuan suaminya.
Mata Sasi mengerjap pelan ketika Arsal memandangnya lekat. Jarak mereka sangat dekat. Aroma shampo terhidu dari rambut hitam berombak yang masih basah. Sasi menelan ludah saat Arsal semakin mendekatkan wajah. Tubuh gadis itu menegang. Dia buru-buru memejamkan mata.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang