Dua Puluh Dua (2)

65.8K 7.9K 318
                                    

Vote, Manteman. Makasih. 😅

***

Arsal menautkan jemari kukuhnya untuk mengurai debar. Mahendra, ayahnya, baru saja mengutarakan maksud kedatangan mereka ke rumah keluarga Sasi di Klaten. Meskipun,  Sasi sudah memberitahu jika keluarga Arsal akan datang ke sini—termasuk lamaran yang sudah diterima Sasi, namun tetap saja tidak cukup memperlambat ritme jantungnya yang berdegub kencang.

Mahendra seakan menguji nyali Arsal. Dia hanya bertindak sebagai ayah yang mendampingi putranya. Selebihnya, pria paruh baya itu menyerahkan semua kepada Arsal. Sebagai lelaki sejati, Arsal harus berani meminta ijin sendiri kepada ayah Sasi untuk menikahi putri bungsunya.

“Ini pertama kalinya saya bisa berbicara dengan Bapak. Saat di pemakaman waktu itu, saya hanya menyapa dan menyalami Bapak saja.” Arsal memulai pembicaraan seraya mengulum senyum, canggung. Dia sebenarnya bingung harus mulai dari mana. Debar jantung yang berdetak semakin keras seakan mengaburkan rentetan kalimat yang sudah disusun sebelumnya. Rasanya, tidak seperti saat dia melamar Sasi—ditemani Ustaz Fauzan—waktu itu. Kala itu, Arsal begitu lancar mengucapkan kalimat demi kalimat tanpa kesalahan sama sekali. Apa karena saat itu dia sudah berkali-kali mempraktikkannya pada malam sebelumnya? Sementara untuk lamaran ini, dia baru memikirkannya saat berada di dalam pesawat.

Semalam, Arsal memang tidak sempat menyusunnya. Dia terlalu berbunga-bunga karena lamarannya diterima Sasi.

“Saya juga ndak nyangka, Nak Arsal bisa datang ke sini. Malah, Nak Arsal ke sini sebagai calon suaminya Nduk Sasi.”

Sasi memang sudah bercerita jika Arsal telah melamar Sasi. Sebelum memutuskan pun, dia sudah meminta pertimbangan kepada ayah, ibu dan juga kakak-kakaknya. Saat Sasi menerima Arsal lewat surat, gadis itu juga memberi tahu ayahnya.

Arsal tersenyum tipis. “Saya mengenal putri Bapak itu sebagai sosok yang baik hati. Dia wanita yang pintar dan juga kreatif. Sejujurnya, saya diam-diam mulai mengaguminya saat dia mengantar tas rajut pesanan Mama waktu itu. Saya baru tahu, ternyata dia juga pintar merajut. Saya semakin kagum dengannya karena dia juga menularkan ilmu merajutnya itu untuk para penyandang disabilitas. Bahkan, ada seorang gadis remaja yang mulanya begitu rapuh karena kehilangan kedua kakinya. Tapi, karena Sasi mengajarinya merajut, gadis remaja itu jadi semangat untuk menjalani hari lagi.”

Sasi tertegun. Dia duduk di sofa panjang paling ujung di bagian kanan bersama Hania. Dari posisi duduknya saat ini dia bisa menatap Arsal yang duduk di sofa bagian kiri di depannya.

Setelah mengetahui Arsal adalah seseorang yang diam-diam mengiriminya makanan—termasuk pernah membuntuti hingga menolongnya saat ban motor kempes, bahkan sampai lelaki itu mengungkapkan jika dia ingin menjadi bagian dari hidupnya dalam ikatan yang halal, Sasi sesungguhnya begitu penasaran. Apa yang membuat Arsal—lelaki yang dulu pernah menolaknya itu—menyukainya?

Sasi bukan gadis yang cantik. Matanya belo—berkebalikan dengan Arsal yang sipit. Hidungnya juga tidak mancung—meski juga tidak pesek. Kulitnya kuning langsat, tidak seperti Arsal yang putih bersih. Dan penampilan gadis itu pun sederhana. Hanya gigi gingsulnya yang kata orang-orang akan tampak manis jika Sasi tengah tertawa atau tersenyum lebar.

“Putrinya Bapak itu wanita luar biasa yang pernah saya kenal. Saya bersyukur sekali karena dipertemukan Allah dengannya. Dialah wanita yang saya cari selama ini.”

Arsal menghela napas pelan. Berpasang-pasang mata yang mengarah kepadanya tidak membuat lidah Arsal menjadi kelu untuk mengutarakan maksudnya.

“Saya sudah sangat yakin memilih Sasi sebagai pendamping hidup saya. Untuk itu ....” Arsal memberi jeda sejenak. “Ijinkan saya menikahi putri Bapak. Saya berjanji akan menjadi suami yang selalu menjaga dan melindunginya. Saya juga akan menjadi suami yang bertanggung jawab untuk keluarga. Saya berharap Bapak berkenan merestui kami.”

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang